Perubahan Kewenangan Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Bookmark and Share

Sebagaimana kita ketahui bahwa di negara kita terdapat empat macam badan peradilan yaitu Peradilan umum, Peradilan Militer, Peradlan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama. Keempat macam badan peradilan tersebut mempunyai kompetensi sendiri dalam menangani perkara. termasuk peradilan Agama. Keberadaan peradilan agama di Indonesia merupakan salah satu upaya untuk menegakkan keadilan,kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum. Peradilan Agama dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan Agama mempunyai kewenangan mengadili perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Ketentuan mengenai Peradilan Agama di Indonesia pada awalnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Namun dalam perkembangannya Undang-Undang tersebut ternyata sudah tidak dapat lagi menampung aspirasi masyarakat dikarenakan oleh semakin kompleks dan berkembangnya tuntutan masyarakat. Oleh karena itu maka pemerintah Negara Indonesia mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Perubahan tersebut dimaksudkan untuk menampung segala aspirasi disesuaikan dengan kondisi atau keadaan masyarakat yang beragama Islam terutama di bidang ekonomi syariah,karena sekarang system ekonomi syariah cukup berkembang pesat di Indonesia,Padahal dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tidak datur mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah. Beberapa perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menunjukkan bahwa Peradilan Agama mempunyai kewenangan Khusus dalam menangani perkara perdata tertentu. Dengan bertambahnya kewenangan tersebut maka Peradilan Agama dapat menjalankan fungsinya sebagai badan peradilan dengan baik serta menjamin terselengaranya keadilan bagi para masyarakat.

Adapun beberapa Perubahan strategis yang dapat kta lihat pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 apabila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 diantaranya ialah sebagai berikut :


A. Mengenai Kewenangan Pengadilan Agama

Pengaturan tentang kewenangan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dimana disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;

c. wakaf dan shadaqah.

dari pasal tersebut dengan jelas kita ketahui bahwasanya Pengadilan Agama hanya mempunyai kewenangan mengadili di tiga bidang saja. Apabila kita lihat pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ternyata kewenangan Pengadilan Agama di perluas menjadi sembilan bidang dimana disebutkan Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari'ah.

Kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu itu. hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat,

khususnya masyarakat muslim Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Penyelesaian sengketa mengenai ekonomi syariah tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya kemudian yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.


B. Mengenai Hapusnya Hak Opsi tentang Waris

Hak Opsi yang dimaksud ialah hak untuk memilih hukum mana yang akan dipakai apabila terjadi sengketa mengenai warisan dimana antara para ahli warisnya terjadi ketidaksepakatan tentang hukum yang dipakai atau terjadi perbedaan agama antara para ahli waris. Pada Undang-Undang yang lama yang tersebut ada untuk menyelesaikan perkara tentang waris. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 secara tegas dinyatakan bahwa tidak ada lagi pilihan hukum bagi penyelesaian sengketa mengenai waris. Apabila terjadi sengketa milik yang subjek hukumnya beragama Islam maka objek sengketa tersebut harus diselesaikan dan diputus oleh Pengadilan Agama. Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Pengturan ini bertujuan untuk menghindari upaya memperlambat penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan lainya tersebut sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di pengadilan agama. Namun, sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau hak keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek sengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, pengadilan agama tidak perlu menangguhkan putusannya. Hapusnya hak Opsi ini menurut penulis juga memberi efek positif bagi kepastian hukum antara para pihak yang bersengketa dimana memberi kejelasan tentang kewenangan badan peradilan mana yang akan memeriksa dan memutus perkara tentang sengketa hak milik atau hak keperdataan lainnya. Jenis perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama sendiri ada dua macam yaitu :

1. Permohonan

Dalam permohonan ini tidak terjadi sengketa antara para pihak, tetapi para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Pengadilan Agama yang dianggap lebih memahami tentang pembagian harta waris menurut hukum Islam dan dirasa lebih adil dalam menentukan bagian harta warisan.

2. Gugatan Warisan

Pada gugatan ini terjadi apabila para pihak merasa tidak puas atas pembagian harta warisan baik itu yang dilakukan sendiri oleh para pihak atau yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

Dalam hal ini Pengadilan Agama mempunyai kewenangan untuk :

a. Menentukan siapa yang menjadi ahli waris

b. Menentukan harta peninggalan/warisan

c. Menentukan bagian ahli waris

d. Melaksanakan pembagian harta warisan

Semua tersebut di atas mutlak menjadi kewenangan Pengadilan agama apabila terjadi sengketa mengenai hak milik atau hak keperdataan lain yang mana subjeknya beragama Islam dan menutup kewenangan bagi badan peradilan yang lain.



C. Mengenai Itsbat dan Rukyat

Salah satu perubahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ialah penambahan Pasal 52A dimana disebutkan bahwa Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah.. Perlu dikatehui bahwasannya dengan penambahan pasal ini pengadilan agama dapat diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan agama dapat memberikan keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Kewenangan ini merupakan kewenangan baru yang dimiliki oleh pengadilan agama. Dengan adanya kewenangan ini diharapkan masyarakat tidak lagi dibingungkan dengan adanya perbedaan penentuan awal tahun Hijriyah dimana selama ini sering terdapat perbedaan antara golongan satu dengan yang lain atau antara daerah yang satu dengan yang lain. Namun, penetapan dari Pengadilan Agama ini tidak bersifat mengikat artinya masyarakat masih tetap boleh memilih ketentuan mana yang ingin diikuti, hanya saja penetapan dari Pengadilan Agama inilah yang akan dipakai secara nasional.


D. Adanya Peradilan Khusus ( Mahkamah Syariah) di NAD

Adanya peradilan khusus atau Mahkamah Syariah di NAD ini diatur pada Pasal 3A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yaitu tertulis bahwa Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama yang dimaksud adalah pengadilan syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang oleh Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: "Peradilan Syari'ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangan-nya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum". Keberadaan dari Mahkamah Syariah ini sebagai pelaksanaan dari Otonomi Khusus di NAD yang memang menghendaki penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam hal ini menunjuk pada perkara perdata. Diharapkan fungsi Mahkamah Syariah di NAD lebih efektif karena berda di lingkungan yang menerapkan syariat Islam secara penuh.


Setidaknya keempat hal itulah yang merupakan perubahan mendasar dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang pada intinya memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada Pengadilan Agama melaui penambahan kewenangan untuk memenuhi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat terutama yang beragama Islam dalam rangka mencari keadilan untuk menyelesaikan perkara yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Dari penambahan kewenangan yang telah disebutkan pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 pada dasarnya kewenangan tersebut ialah sama dengan kewenangan yang ada pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 hanya saja diadakan spesifikasi tentang kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah dipilah pilah tersendiri satu sama lain. Kewenangan baru yang paling terlihat ialah mengenai kewenangan menangani perkara ekonomi syariah yang dewasa ini berkembang. Sebelumnya kewenangan ini ada pada Pengadilan Negeri tetapi seiring dengan pesatnya perkembangan system ekonomi Islam maka kewenangan itu lebih sesuai apabila diberikan kepada Pengadilan Agama guna memenuhi kepentingan masyarakat khususnya yang beragama Islam.






{ 0 comments... Views All / Send Comment! }