KONSTITUSI DAN HAK ASASI MANUSIA

Bookmark and Share

Oleh: Jimly Asshiddiqie (Ketua Mahkamah Konstitusi RI)

Dalam perkembangan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Dengan meneliti dan mengkaji konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.

A. Perkembangan Pengertian Konstitusi

Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan oleh umat manusia. Kata politeia dari kebu­daya­an Yunani dapat disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup

all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yang mencerminkan pengertian ka­ta jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang datang kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang sering dianggap sebagai sum­ber rujukan atau referensi paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.

Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk seperti yang dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan oleh Aristoteles terhadap pengertian kata politea dan nomoi. Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa.

Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus di­bentuk agar su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat dengan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yang melahirkan semboyan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yang arti­­nya ”Rajalah yang berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah konstitusi adalah “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yang disebut oleh Henry II sebagai const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut sebagai kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Namun, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu sering pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut berbagai secular administrative enactments. Glanvill sering meng­guna­kan kata constitution untuk a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill juga mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, dan menyebut the assize of novel disseisin sebagai a re­cog­nitio sekaligus sebagai a constitutio.

Beberapa tahun setelah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yang menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, dan mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yang dikeluarkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis berpendapat bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per­kata­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini dipakai untuk membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), dalam bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution dalam arti yang hampir sama dengan penger­tian sekarang. Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih umum, karena Gregoire memakai frase yang lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is jus pub­licum regni”. Bagi James White­locke, jus publicum regni itulah yang merupakan kerangka alami dan konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita dapat memahami pengertian konsti­tusi dalam dua konsepsi. Pertama, konsti­tusi sebagai the natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti jus publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yang meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini dalam bentuk Latinnya juga dipakai sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man.

Pendapat Cato dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan aku­mu­latif. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik mengenai konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani dan perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta hubungan di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan dan hukum.

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yang pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris modern. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, kata constitution juga diartikan sebagai pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karena itu, constitution dapat pula dipakai untuk menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”.

Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han dan segala keputusan serta peraturan lainnya. A Constitution, kata Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi disebut mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yang supe­rior dan kewenangannya untuk mengikat.

B. Landasan Berlakunya Konstitusi

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal ini­lah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan se­kaligus di atas sistem yang diaturnya. Untuk itu, di ling­­kungan negara-negara demokrasi liberal, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi.

Hal ini dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat misalnya melalui referendum, seperti yang dilakukan di Irlandia pada tahun 1937, atau dengan cara tidak lang­sung melalui lembaga per­wa­kilan rakyat. Cara tidak langsung ini misalnya dilakukan di Amerika Serikat de­ngan cara me­nam­bahkan naskah perubahan Undang-Un­dang Dasar secara terpisah dari naskah aslinya. Mes­ki­pun dalam pembukaan Konstitusi Amerika Serikat (preamble) terdapat perkataan “We the people”, tetapi yang diterapkan sesungguhnya adalah sis­tem perwaki­lan, yang pertama kali diadopsi dalam konvensi khusus (special convention) dan kemu­dian disetujui oleh wakil-wakil rakyat terpilih dalam forum perwakilan negara yang didirikan bersama.

Dalam hubungan dengan pengertian consti­tuent power tersebut di atas, muncul pula penger­tian consti­tuent act. Dalam hubungan ini, konstitusi dianggap se­bagai constituent act, bukan produk peraturan legislatif yang biasa (ordinary legislative act). Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului organ pe­me­rintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi itu. Seperti dikatakan oleh Bryce (1901), kon­sti­tusi tertulis merupakan

The instrument in which a constitution is embodied proceeds from a source different from that whence spring other laws, is regulated in a different way, and exerts a sovereign force. It is enacted not by the ordi­nary legislative authority but by some higher and spe­ci­ally empowered body. When any of its provisions con­flict with the provisions of the ordinary law, it prevails and the ordinary law must give way.

Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif yang bia­sa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di dalamnya ber­ten­tangan de­ngan norma hukum yang terdapat dalam undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itu­lah yang berlaku, sedangkan undang-undang harus mem­berikan jalan untuk itu (it prevails and the ordi­nary law must give way).

Oleh karena itu, dikembangkannya penger­tian constituent power berkaitan dengan penger­tian hierarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupa­kan sumber legitimasi atau lan­da­san otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hu­kum yang berlaku universal, maka agar peraturan-pera­turan yang tingkatannya berada di bawah undang-un­dang dasar dapat berlaku dan diber­lakukan, peraturan-pe­ra­turan itu tidak boleh ber­tentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Atas dasar logika demikian, maka Mah­kamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya me­miliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji ma­teri peraturan produk legislatif (judicial review) ter­hadap materi konstitusi, meskipun Konstitusi Amerika tidak secara eksplisit memberikan kewe­nangan demikian kepada Mahkamah Agung (The Supreme Court).

D. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Konstitusi merupakan konsensus bersama atau general agreement seluruh warga negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.

Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.

Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights (1628) adalah momentum perlindungan hak asasi manusia sekaligus pembatasan kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen (house of commons).

Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja, tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-per­golakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya.

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipenga­ruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana yang terkait dengan perkembangan pemikiran konstitusi, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Per­bedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, maka teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.

Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya "homo homini lupus, bellum omnium contra omnes". Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebut­kan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut.

Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak indi­vidunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai ”Second Treaties of Civil Government” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai “Pactum Unionis” berdasarkan anggapan bahwa:

"Men by nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own consent, which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe and peaceable, living one amongst another. . . .".

Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetuju­an antar individu (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu.

Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian haru dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagai­mana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke

We hold these truth to be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the persuit of happiness. That, to secure these rights, government are instituted among men, deriving their just powers from the consent of the governed”.

Di Amerika Serikat perjuangan hak-hak asasi manusia itu disebabkan oleh karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai imigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris. Hal itu berlainan dengan apa yang dialami oleh bangsa Perancis yang pada abad ke-17 dan ke-18 dipimpin oleh peme­rintahan raja yang bersifat absolut. Sebagai reaksi terhadap absolutisme itulah, Montesquieu merumuskan teorinya yang dikenal dengan istilah “Trias Politica” yang dikemukakannya dalam buku "L'esprit des Lois" (1748).

Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik dari segi organnya maupun dari fungsinya. Pemisahan itu menurutnya sangat penting untuk mencegah ber­tumpuknya semua kekuasaan di tangan satu orang. Dengan ter­pisahnya kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing-masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut.

Sementara itu, Jean Jacques Rousseau melalui bukunya "Du Contrat Social" menghendaki adanya suatu demokrasi, di mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Pandangan Rousseau ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke. Ketika itu, berkembang pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil terhadap raja, yang menyebabkan Raja Louis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Akan tetapi kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai "Assemble Nationale" yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Perancis. Pada tanggal 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk tidak bubar sebelum Perancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya, Assemble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada tanggal 26 Agustus 1789 ditetapkanlah "Pernyataan Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara" (Declaration des droit de l'homme et du citoyen). Sesudah itu, yaitu pada tanggal 13 Septem­ber 1789 lahirlah Konstitusi Perancis yang pertama.

Pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga negara Perancis tersebut (Declaration des droit de l’homme et du citoyen) dapat dikatakan ba­nyak dipengaruhi oleh Declaration of Independence Amerika Serikat, terutama berkat jasa antara lain seorang warga negara Perancis yang bemama La Fayette yang pernah ikut berperang di Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika berhasil mencapai kemenangan dan American Declaration of Independence ditandatangani pada tahun 1776, La Fayette kembali ke Perancis dengan membawa salinan naskah deklarasi tersebut. Pada waktu Perancis menyusun Declaration des droit de l'homme et du Citoyen (1789), Declaration of Independance Amerika Serikat (1776) itu banyak ditiru. Kemudian dalam perkembang­an selanjutnya deklarasi tersebut banyak ditiru pula oleh negara-negara Eropa lainnya.

Oleh karena itu, kedua naskah deklarasi, yaitu Declaration of Independence Amerika Serikat (1776) dan Declaration des Droit de l'homme et du Citoyen Perancis (1789) sangat berpengaruh dan merupakan peletak dasar bagi perkembangan universal perjuangan hak asasi manusia. Kedua deklarasi ini, kemudian disusul oleh The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.

Kejadian lain yang juga penting yang terjadi dalam perkem­bangan hak-hak asasi manusia adalah kemenangan demokrasi atas pemerintahan ditaktor dan fascist Jerman, Italia, dan Jepang pada Perang Dunia ke-II. Setelah Perang Dunia ke-II berakhir dengan kemenangan berada di pihak Sekutu maka melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa disepakatilah suatu Universal Declaration of Human Right di Paris pada tahun 1948, dengan perbandingan suara 48 setuju dan 8 blanko. Meskipun Universal declaration of Human Rights tersebut tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut menadatanganinya, namun diharapkan agar negara-negara anggota PBB dapat mencatumkannya dalam Undang-Undang Dasar masing-masing atau peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat diberlakukan sebagai hukum domestik di masing-masing negara anggota. Undang-Undang Dasar yang secara lengkap memuat ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia tahun 1950 dan Konstitusi RIS.

Namun demikian dikukuhkannya naskah universal Declara­tion of Human Rights ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan di semua negara. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila PBB terus berupaya mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Akhirnya, setelah 18 tahun kemudian, PBB ber­hasil juga melahirkan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan Budaya) dan Covenant on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak­-hak sipil dan politik).

Kedua covenant tersebut dapat dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah pokok Universal Declaration of Human Rights. Sehingga secara yuridis meratifikasikan kedua covenant ini, bukan saja menyebabkan negara anggota terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap perjuangan hak-hak asasi manusia di dunia. Apabila diingat bahwa kedua covenant tersebut baru dapat berlaku mengikat secara yuridis segera setelah diratifi­kasikan oleh sedikit-dikitnya 35 negara anggota PBB.

Setelah kedua Covenant ini, berbagai instrumen hukum internasional diadopsikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melengkapinya lebih lanjut. Sampai sekarang, instrumen-instrumen PBB dimaksud dapat kita susun secara berturut-turut sebagai berikut:

1) Universal Declaration of Human Rights, 1948;

2) Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, 1948;

3) International Convention on the Eliminationof All Forms of Racial Discrimination, 1965 ;

4) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, 1966;

5) International Covenant on Civil and Political Rights, 1966;

6) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979;

7) Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment, 1984 ;

8) Convention on the Rights of the Child, 1989.

Selain itu, ada pula beberapa instrumen hak asasi manusia yang bersifat regional, yaitu yang diberlakukan di wilayah Amerika, Eropah, dan Afrika saja. Instrumen hak asasi manusia yang berlaku sebagai tambahan di kalangan negara-negara Eropah atau yang biasa disebut sebagai European Human Rights Instruments adalah:

1) Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, 1950 beserta 13 protokol tambahan;

2) European Social Charter (1961) sebagaimana telah diubah pada tahun 1991 dan 1996, dengan protokol tambahan pada tahun 1988 dan 1995;

3) European Convention for the Prevention of Torture and Other Inhuman and Degrading Treatment (1987);

4) Final Act of Helsinki (1975) and Follow-up Process of CSCE/OSCE with Charter of Paris for New Europe (1990);

5) European Charter for Regional or Minority Languages (1992);

6) Framework Convention for the Protection of National Minorities (1994);

7) Charter of Fundamental Rights of the European Union (2000).

Di kawasan benua Amerika, deklarasi yang dapat dikatakan yang pertama adalah ‘American Declaration of the Rights and Duties of Man’ tahun 1948, yaitu bersamaan dengan ditandatanganinya ‘The Charter of the Organization of American States’ (OAS). Sampai sekarang tercatat ada 7 (tujuh) instrumen hak asasi manusia yang telah diadopsikan di wilayah Amerika, yaitu :

1) American Declaration on Human Rights and Duties of Man (1948);

2) Inter-American Commission on Human Rights (1959);

3) American Convention on Human Rights yang diadopsikan pada tahun 1969, tetapi baru mulai diberlakukan pada tahun 1978;

4) Inter-American Court on Human Rights yang diadopsikan tahun 1979, tetapi baru mulai berlaku tahun 1984;

5) Additional Protocol on Economic, Social, and Cultural Rights (1988);

6) Additional Protocol on the Abolition of the Death Penalty (1990);

7) American Convention on the Prevention, Punishment and Eradication of Violence against Women (1994).

Di lingkungan negara-negara Afrika, juga sudah banyak instrumen hak asasi manusia yang dirumuskan. Yang sekarang berlaku sebagai instrumen hak asasi manusia adalah :

1) African Charter on Human dan Peoples’ Rights (1981);

2) African Commission on Human and Peoples’ Rights (1987);

3) Protocol on the Establishment of an African Court on Human and Peopels’ Rights (1997);

4) Protocol on the Rights of Women (sampai sekarang belum disahkan oleh African Union);

5) African Charter on the Rights and Welfare of the Child (1990).

Sementara itu, ada pula instrumen hak asasi manusia yang bersifat khusus di kawasan tertentu. Misalnya, di kalangan negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab (Arab League) telah pula berhasil menyepakati Arab Charter on Human Rights yang disahkan oleh the Council of the League of Arab States pada tanggal 15 September 1994. Satu-satunya kawasan yang dikenal paling majemuk dan karena itu belum dapat memiliki instrumen regional hak asasi manusia yang tersendiri, yaitu kawasan benua Asia.

Di kalangan tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat (NGO’s), tentu sudah banyak prakarsa yang dilakukan untuk membicarakan mengenai hal ini. Dalam rangka peringatan 50 tahun Universal Declaration of Human Rights 1948, pernah diadakan suatu Euro-Asian Dialogue di antara Uni Eropah dan Negara-Negara ASEAN. Juga pernah diadakan dialogue antara Uni Eropah dengan Cina. Akan tetapi forum yang bersifat resmi belum pernah diadakan. Mungkin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai negara demokrasi yang terbesar bersama India di kawasan Asia dapat mengambil prakarsa mengenai hal ini di masa yang akan datang.

E. Gagasan HAM dalam UUD 1945

UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:

1) Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ’Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’;

2) Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’;

3) Pasal 28 yang berbunyi, ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’;

4) Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’;

5) Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara’;

6) Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran’;

7) Pasal 34 yang berbunyi, ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh negara’.

Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi manusia, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang hak asasi manusia atau human rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizens’ rights atau biasa juga disebut the citizens’ constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide hak asasi manusia. Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya ‘kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan’ bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.

Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan dengan ketentuan hak asasi manusia hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Tentu, banyak juga sarjana hukum yang mengembangkan pendirian bahwa ketujuh ketentuan tersebut semuanya berkaitan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, tidak sedikit pula sarjana huum yang berpandangan bahwa kesimpulan demikian itu tidak tepat. Apalagi jika diperhatikan, jalan pikiran yang berkembang di antara ‘the founding leaders’ yang merumuskan naskah UUD 1945 memang tidak mengidealkan gagasan tentang hak asasi manusia yang pada umumnya dianggap berbau liberalistis dan individualistis.

Oleh karena itu lah maka, pada mulanya, dalam rancangan naskah UUD 1945 yang dibahas dalam sidang BPUPK pada tahun 1945, ketentuan mengenai jaminan hak asasi manusia dapat dikatakan tidak dimuat sama sekali. Yang dapat disebut jaminan hak asasi manusia hanya lah Pasal 29 Ayat (2) sebagai hasil kompromi akibat dicoretnya tujuh kata dari Pembukaan UUD 1945 yang berasal dari rumusan Piagam Jakarta. Artinya, rumusan Pasal 29 Ayat (2) itu pun sebenarnya tidak mengacu kepada pengertian-pengertian hak asasi manusia (human rights) yang lazim diperbincangkan. Hal ini tentu berkaitan dengan kenyataan bahwa di antara para ‘the founding leaders’ yang membahas rancangan undang-undang dasar dalam sidang-sidang BPUPK pada tahun 1945, ide-ide hak asasi manusia (human rights) itu sendiri belum diterima secara luas. Para penyusun rancangan undang-undang dasar se­pendapat bahwa hukum dasar yang hendak disu­sun harus lah berdasarkan atas asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yang sama sekali menentang paham liberaIisme dan individualisme.

Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil sama sekali tidak dimuat ketentuan mengenai hak-­hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari para anggota. Untuk menjawab hal itu, anggota Soekarno antara lain berkata:

"Saja minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya­-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa, manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengada­kan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada ‘sociale rechtvaardigheid’ jang demikian itu? Buat apa kita membikin grond­wet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. ‘Grondwet’ yang berisi ‘droit de l'hom­me et du citoyen’ itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham go­tong royong dan keadilan sosial enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya."

Hampir tidak berbeda dengan pendapat anggota Ir. Soekarno di atas, anggota Soepomo menyatakan:

''Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh ang­gota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima dan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistim kekeluarga­an. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal-pasal ten tang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya dalam Undang-Undang Dasar kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluar­gaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan, di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang­-wenang. Akan tetapi djikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pada hakekatnya Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perse­orangan, dengan demikian sistim Undang-Undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai konstruksi hukum tidak baik, djikalau ada kejadian bahwa Pemerintah bertindak sewenang-wenang".

Dengan demikian, baik bagi Soekarno maupun bagi Soepomo, paham kenegaraan yang dianggapnya paling cocok adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam ’sistim pemerintahan di desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan kawulo gusti’. Dalam model ini, kehidupan antar manusia dan individu dilihat se­bagai satu kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada dikotomi antara negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik di antara keduanya, sehingga tidak diperlukan jaminan apapun hak-hak dan kebebasan fundamental warga negara terhadap negara.

Pemahaman demikian itulah yang kemudian mendasari pandangan filosofis penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 yang mempengaruhi pula perumusan pasal-pasal Hak Asasi Manusia. Landasan filosofis yang digunakan sama sekali tidak membu­tuhkan adanya jaminan hak-hak asasi manusia dan jaminan kemerdekaan individu.

Adalah anggota Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin, yang walaupun menyetujui prinsip kekeluargaan dan sama-sama menentang individualisme dan liberalisme, namun dalam rang­ka mencegah jangan sampai timbul negara kekuasaan (machtsstaat), memandang perlu untuk memasukkan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar. Mengenai hal ini, Hatta, menyatakan:

"... ada baiknya dalam salah satu pasal, misalnya pasal yang mengenai warga negara, disebutkan juga disebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebutkan disini hak un­tuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. For­muleringnya atau redaksinya boleh kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk menjaga, supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakyat".

Demikianlah pula dengan anggota Yamin, yang pendapatnya hampir sama dengan pendapat anggota Hatta, dan bahkan meng­inginkan tidak hanya satu pasal saja, tetapi lebih luas dari itu. Menurut Muhammad Yamin,

"Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saja menolak segala alasan­-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya dan seterus­nya dapatlah saja memajukan, beberapa alasan pula, selain dari pada yang dimajukan oleh anggota yang terhormat Drs. Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru diatas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnya Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata­-mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan yang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar".

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa di kalangan para ”the founding fathers” atau ”the founding leaders” memang terdapat perbedaan pandangan yang prinsipil satu sama lain. Meskipun ada juga sarjana yang berpandangan bahwa perbedaan diantara mereka itu hanya perbedaan formulasi eksplisit dan implisit saja. Karena itu, sebagai komprominya, ketentuan UUD 1945 yang berkenaan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan hanya memuat secara terbatas, yaitu sebanyak 7 pasal saja. Sedikitnya pasal-pasal yang berbicara lang­sung tentang hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukan disebabkan oleh karena naskah undang-undang dasar ini disusun sebelum ada­nya Universal Declaration of Human Right Tahun 1948. Pada tahun 1945 itu, telah ada Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de l'homme et du citoyen Perancis, yang dijadikan bahan untuk penyusunan pasal-pasal tentang hak-hak asasi manusia yang lebih lengkap dari apa yang kemudian disepakati dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan hanya memuat 7 pasal saja yang mengatur secara terbatas mengenai hak-hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam salah satu tulisannya, Muhammad Yamin memberi komentar:

"Bahwa pada waktu Undang-Undang Dasar 1945 diran­cangkan Pembukaannya menjamin demokrasi, tetapi pasal­-pasalnya benci kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalis­me dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini yaitu hak­-hak asasi tidaklah diakui seluruhnya, melainkan diambil satu dua saja yang kira-kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945, yang dipengaruhi oleh peperangan antara facisme melawan demokrasi. Waktu merancang Konstitusi 1945 maka hak-hak asasi yang lebih luas memang dimajukan, tetapi usul itu kandas atas alasan, bahwa pada waktu itu hale asasi dipandang sebagai kemenangan liberalisme yang tidak disukai.".

Dari uraian dan penjelasan di atas, teranglah bahwa pada saat Undang-Undang Dasar 1945 disusun, beberapa anggota Panitia berpen­dapat bahwa hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang ber­sumber kepada individualisme dan liberalisme, sehingga berten­tangan dengan asas kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Padahal, dapat dibuktikan bahwa sejarah perkembangannya, hak-hak asasi tidaklah dilahirkan oleh paham liberalisme dan individualisme, melainkan oleh absolutisme. Hak­-hak asasi timbul sebagai reaksi terhadap absolutisme tindakan sewenang-wenang penguasa. Dengan perkataan lain, hak-hak asasi tim­bul sebagai akibat adanya pertentangan antara penguasa dan rak­yat yang merasa ditindas oleh penguasa yang absolut.

Lahirnya Petition of Right dan Bill of Right di Inggris adalah akibat kemenangan rakyat atas raja, sehingga raja tidak lagi dapat berbuat sewenang-wenang. Lahirnya Declaration of Independence di Amerika Serikat disebabkan oleh adanya pertentangan antara rakyat Amerika yang merasa ditindas oleh Pemerintah Inggris yang men­jajah. Declaration des Droit de l'homme et du Citoyen di Perancis juga merupakan hasil perjuangan rakyat yang menentang kekuasaan Raja yang absolut. Demikian pula, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Tahun 1948 lahir karena adanya pemerintah facisme Jerman, Italia, dan Jepang yang dianggap menginjak-injak hak-hak asasi manusia.

Oleh karena itu, dikatakan oleh Muhamad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, persoalan hak-hak asasi manusia adalah per­soalan antara individu yang memegang kekuasaan dan individu yang tidak mempunyai kekuasaan. Persoalan hak-hak asasi adalah persoalan yang timbul sebagai akibat terjadinya ketegangan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, antara yang memerintah (the ruler, the governor) dan yang diperin­tah (the ruled, the governed).

Ketika UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi RIS 1949 atau yang lebih tepat disebut sebagai UUD RIS 1949, dan kemudian UUDS Tahun 1950, kedua naskah undang-undang dasar ini memuat ketentuan yang lebih lengkap tentang hak asasi manusia. Yang berperan dalam perumusan naskah UUD-RIS 1949 dan UUDS 1950 juga adalah Soepomo yang semula, ketika UUD 1945 dirumuskan, menentang pencantuman pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Artinya, setelah tahun 1948, pandangan dan apresiasi Soepomo dan juga Soekarno turut pula mengalami perkembangan sehubungan dengan ketentuan konstitusional hak asasi manusia itu sendiri. Hal ini terjadi, karena ketika itu The Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 sudah ada, dan sedang sangat populer di dunia. Sayangnya, Undang-Undang Dasar 1950 tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Juli 1959. Mu­lai saat itu berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang hanya memuat 7 pasal tentang hak asasi manusia. Itu pun dalam pengertiannya yang sangat terbatas.

Bahkan sebenarnya, menurut Harun Alrasid, UUD 1945 itu sama sekali tidak memberikan jaminan apa pun mengenai hak-hak asasi manusia. Menurutnya, yang diperdebatkan antara Hatta-Yamin di satu pihak dan Soekarno-Soepomo di lain pihak, hanya berkenaan dengan substansi Pasal 28 yang akhirnya sebagai kompromi disepakati berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin sudah mengusulkan pencantuman jaminan hak asasi manusia disini, tetapi oleh Soekarno dan Soepomo ditolak karena hal itu mereka anggap bertentangan dengan paham integralistik. Karena itu, sebagai jalan tengahnya disepakatilah rumusan yang demikian itu. Akan tetapi, jika diamati secara seksama, Pasal 28 itu sama sekali tidak memberikan jaminan mengenai adanya pengakuan konstitusional akan hak dan kebebasan berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of assembly), dan menyatakan pendapat (freedom of expression). Pasal 28 itu hanya menyatakan bahwa hak-hak tersebut akan ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, sebelum ditetapkan dengan undang-undang, hak itu sendiri belum ada.

Karena itu, ide untuk mengadopsikan perlindungan hak asasi manusia itu, terus diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Lahirnya pemerintahan Orde Baru, misalnya, juga diikuti oleh hidupnya kembali tekad untuk melindungi hak-hak asasi manusia. Berpedoman kepada pengalaman masa Orde Lama yang kurang mengindahkan hak asasi warga negara, Si­dang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke IV menetapkan Ketetapan MPRS Nomor XIV /MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyu­sunan piagam hak-hak asasi manusia. Artinya, Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri menyadari ketidak-lengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam mengatur mengenai hak-hak asasi manusia.

Berdasarkan TAP MPRS tersebut dibentuklah Panitia-panitia Ad Hoc, yaitu Panitia Ad Hoc IV menyusun tentang perincian hak-hak asasi, Panitia Ad Hoc II menyusun pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara menurut sistim Undang-Undang Dasar 1945, dan Panitia Ad Hoc III menyusun tentang pelengkap penjelasan Undang-Undang Dasar 1945. Khusus mengenai Panitia Ad Hoc IV, dalam melaksanakan tugasnya, pertama-tama mengundang para sarjana, cende­kiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang hak-hak asasi manusia. Berdasarkan bahan-bahan yang berhasil dihimpun, Panitia menyusun suatu Piagam tentang Hak-hak Asasi dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.

Dengan keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rak­yat Sementara (MPRS) tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja Panitia Ad Hoc IV serta III dan II diterima dengan baik sebagai bahan pokok untuk disebarluaskan guna penyempurnaan lebih lanjut. Pada tanggal 12 Maret 1967 diputuskan bahwa Panitia Ad Hoc II, III dan IV diubah menjadi Panitia Ad Hoc B, dan masa kerjanya diperpanjang selama 6 bulan sejak keluar­nya Keputusan MPRS Nomor 7/MPRS/1967. Setelah ada tanggapan dari masyarakat, maka Panitia Ad Hoc B selanjutnya mengadakan penyempurnaan atas Piagam ter­sebut.

Sayangnya, hasil karya Panitia Ad Hoc B ter­sebut tidak menjadi kenyataan, karena pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke V tahun 1968, anggota-anggota MPRS tidak berhasil men­capai kata sepakat untuk mengesahkannya menjadi suatu ketetapan. Bahkan, setelah terbentuknya, Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum tahun 1971, dengan Ketetapan No. V/MPR/1973, MPR menyatakan bahwa Ketetapan MPRS No. XIV/MPRS/1966 tidak berlaku lagi dan dicabut. Dengan demikian, Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah dihasilkan oleh MPRS itu hanya ting­gal sejarah saja.

F. Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945 Pasca Perubahan

Sekarang, setelah Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistim hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal tentang hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu:

1) Hak untuk hidup;

2) Hak untuk tidak disiksa;

3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;

4) Hak beragama;

5) Hak untuk tidak diperbudak;

6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan

7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut.

Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:

1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;

2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;

3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;

4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;

5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;

7) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;

8) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;

9) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;

10) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;

11) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;

12) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;

13) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;

14) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:

1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;

2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;

3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;

4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;

5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;

6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;

7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;

8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;

9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;

10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;

11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;

12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;

13) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:

1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;

2) Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;

3) Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;

4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;

5) Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;

6) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;

7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:

1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;

3) Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;

4) Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.

Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.

G. Kewajiban Perlindungan Dan Pemajuan HAM

Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.

Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.

Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.

Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” pada 1998.


DAFTAR PUSTAKA

Andrews, William G. Constitutions and Consti­tu­tio­nalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.

Appadorai, A. The Substance of Politics. Oxford: Oxford India Paperbacks, 2005.

Bachr, Peter, Pieter van Dijk, dan Adnan Buyung Nasution, dkk. (eds.). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Benedek, Wolfgang and Minna Nikolova (eds.). Understanding Human Rights: Manual on Human Rights Education. Graz, Austia: European Training and Research Center for Human Rights and Democarcy (ETC), 2003.

Berki, R.N. The History of Political Thought: A Short Introduction. London: J.J.Dent and Sons, Everyman’s University Library, 1988.

Bryce, J. Studies in History and Jurisprudence. Vol. 1. New York: Oxford Clarendon Press, 1901.

Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur: International Law Book Services, 1994.

Claude, Richard P (ed). Comparative Human Rights. London: the John Hopkins University Press, 1977.

Coming, Saxe and Ro­bert N. Linscott (eds). Man and the state: The Political Philosophers. Modem Library, Random House, 1953.

Feith, Herbert and Lance Castles (eds). Indonesian Political thinking 1945 – 1965. Ithaca and London: Cornell University Press, 1970.

Gregorio Tholosano, Authore D. Petro. De Republica Libri Sex et Viginti. Lib.I, cap. I, 16, 19, Lugduni, 1609.

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konpress, 2005.

----------------------. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP, 2006.

McIlwain, Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.

Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1959.

-----------------------. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid I. Djakarta: Prapantja, 1959.

Satya Arinanto,. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat Studi HTN FHUI, 2003.

Thompson, Brian. Textbook on Constitutional Law & Administrative Law. Third Edition. London: Blackstone Press Limited, 1997.

Wolhoff, G. J. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Djakarta: Timun Mas, 1960.

Woodbine, George E. (ed.). Glanvill De Legibus et Consuetudinibus Angiluae. New Haven: 1932.

{ 1 comments... Views All / Post Comment! }

Anonymous said...

AsLm...
halo prend...
wah dah lama g ketemu...
saiki wis dadi "wong"...mantep...
aku budi susilo...
yen g sibuk YM-an yuk...
tak tunggu...
ID ku :
bs_kyo@yahoo.com
....
WsLm