PERADILAN SESAT DI INDONESIA

Bookmark and Share

Praktik peradilan sesat di Indonesia bukanlah “barang” baru di Indonesia. Hal ini kerap kali terjadi di dalam dunia peradilan di negara yang mengaku sebagai negara hukum (rechtstaat). Banyak orang yang tidak bersalah selanjutnya atas nama ketidakprofesionalan aparat penegak hukum, maka orang-orang tersebut ditangkap, ditahan, divonis selanjutnya mendekam di penjara. Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya: Sengkon dan Karta yang harus mendekam di penjara, masing-masing selama 7 tahun dan 12 tahun penjara karena divonis melakukan kejahatan pembunuhan, lalu sepasang suami istri di Gorontalo yang dipaksa mendekam dipenjara karena divonis melakukan pembunuhan terhadap putri mereka, namun belakangan ternyata putri mereka masih hidup. Demikianpula terjadi pada Budi Harjono seorang pemuda di Bekasi yang disangka membunuh ayah dan menganiaya ibu kandungnya, tetapi juga tidak terbukti. Dugaan atas kejadian salah tangkap dan salah vonis terhadap 3 (tiga) orang terdakwa yang sebagian telah divonis penjara atas kejahatan pembunuhan terhadap Asrori (versi kebun tebu), menambah daftar panjang dosa peradilan di Indonesia. Namun saat kasus dugaan pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan dan ternyata Ryan mengakui salah satu korbannya adalah Asrori, maka mulailah ada dugaan atas praktik peradilan sesat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum[1]

Ketika kita melihat tayangan dalam acara Kick Andy di salah satu stasiun TV, sangat begitu ironis. Bagaimana tidak, begitu mudahnya seseorang dihukum tanpa tahu jelas apa kesalahan yang dilakukannya. Kick Andy[2] menyajikan satu tema khusus tentang bebepara kasus peradilan sesat di Indonesia. Hukum pidana kita mengenal asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”. Adagium yang berkata lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah, darip ada menahan atau memenjarakan satu orang tidak bersalah, sepertinya tidak terlalu “laku” di dunia peradilan Indonesia. Berbagai kasus salah tangkap hingga salah vonis masih terus terjadi. Tentu kita masih ingat kasus Sengkon-Karta pada era 1970-an? Kasus ini adalah salah satu contoh berlakunya peradilan sesat di Indonesia yang cukup fenomenal.

Apakah sejarah kelam seperti ini masih akan terus terulang? Sepertinya iya. Pada tahun 2007, Kick Andy mengangkat kisah peradilan sesat atas pasangan suami istri Risman Lakoro dan Rostin Mahaji di Gorontalo, serta Budi Harjono di Bekasi. Risman dan Rostin harus mendekam di penjara selama kurang lebih 3 tahun, atas dakwaan membunuh anak kandungnya sendiri, sementara Budi harus merasakan dinginnya kurungan besi selama enam bulan. Belakangan, terbukti tuduhan dan vonis terhadap mereka salah besar. Namun mereka telah terlanjur merasakan pedihnya hukuman atas sesuatu yang tak pernah mereka lakukan.

Namun pasca sejumlah peristiwa tersebut, idealisme penegakan hukum dan kenyataan yang terjadi, ternyata masih “njomplang”. Terutama kasus yang menimpa pada kalangan rakyat kecil dan awam hukum. Di Bandung, peradilan sesat terjadi pada seorang Iwan Setiawan. Iwan harus menerima kenyataan pahit, diciduk polisi dan diadili atas tuduhan melakukan pembunuhan terencana terhadap mantan majikannya pada 31 Juli 2006. Padahal, pada hari terjadinya pembunuhan Iwan sedang berada di rumah sakit menunggui sang bibi yang sedang dirawat. Iwan yang mengaku mengalami “pembinaan” saat interogasi penyidik, divonis penjara seumur hidup pada 2007. Iwan mendekam di lapas Sukamiskin Bandung selama 1 tahun 9 bulan, sebelum akhirnya kasasi tim kuasa hukumnya diterima Mahkamah Agung dan memutuskan ia tidak bersalah.

Sementara di Singkawang Kalimantan Barat, pasangan suami istri Cu Kin Sun alias A Sun, dan Fu Jan Lie, serta putra kedua mereka Cu Jiu Liong atau A Liong, juga harus merasakan perihnya hidup di penjara selama satu setengah tahun di LP Singkawang dari vonis 10 tahun penjara. Mereka bertiga divonis melakukan pembunuhan terencana pada tetangga mereka Bun Lie Ngo pada April 1995 silam. Tragis, karena Fu Jan Lie saat itu tengah mengandung, dan akhirnya harus melahirkan bayinya di penjara. Padahal keluarga petani miskin itu tak tahu apa-apa soal kasus dan tuduhan yang ditimpakan pada mereka. Belakangan diketahui, ada “permainan” hukum di dalam kasus ini. Berkat perjuangan tak kenal lelah pengacara pro bono mereka, upaya banding mereka dikabulkan Mahkamah Agung. Mereka diputus tidak bersalah dan bebas murni. Namun ironis, 13 tahun pasca kebebasan mereka sejak Januari 1997, proses rehabilitasi nama baik mereka dari MA, belum pernah terealisasi hingga kini.

Sementara kasus peradilan sesat yang cukup mengemuka dari Jombang Jawa Timur, adalah kasus pembunuhan Mr.X, pada 2007 silam. Kasus ini melibatkan Imam Khambali alias Kemat, David Eko Priyanto serta Maman Sugiyanto alias Sugik sebagai tiga tersangka utama. Kasus yang selanjutnya berkembang rumit ini, juga sempat bersinggungan dengan kasus pembunuhan berantai oleh Very Idham Henyansyah alis Ryan si Jagal Jombang, yang belakangan justru menjadi pintu terkuaknya peradilan sesat yang menimpa ketiganya. Kemat dan David sempat menjalani masa penahanan selama lebih dari setahun, dari vonis 17 tahun dan 12 tahun yang dikenakan pada keduanya. Sementara Sugik, harus merasakan proses penyidikan dan persidangan lebih dari lima belas bulan atas tuduhan padanya.

Di luar negeri, seorang warga Negara Indonesia juga harus merasakan pedihnya peradilan sesat. Doli Syarief Pulungan, pengusaha jual beli alat berat yang ke Amerika untuk mengecek proses pengiriman peralatan yang dipesannya, terpaksa harus merasakan hidup di balik terali besi lima penjara negara bagian yang berbeda-beda di Amerika Serikat selama dua tahun. Ia dituduh terlibat usaha perdagangan senjata secara ilegal dan memberikan keterangan palsu pada Pemerintah Amerika Serikat, dan akhirnya tervonis 4 tahun penjara. Di sini pulalah ia akhirnya merasakan, betapa negaranya sendiri kurang peduli dalam hal perlindungan hukum terhadap warga negaranya sendiri di luar negeri. Ia harus berjuang sendiri tanpa bantuan hukum dari pemerintah Indonesia sedikitpun, untuk membuktikan bahwasanya ia tidak bersalah, dan hanya menjadi korban paranoid berlebihan pemerintah Amerika Serikat terhadap terorisme.

Kasus terbaru dan hingga saat ini masih dalam proses persidangan, terjadi di Solo. Lanjar Sriyanto, nasibnya boleh dibilang seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Lanjar kehilangan sang istri, Saptaningsih, akibat kecelakaan lalu lintas yang mereka alami pada hari kedua lebaran tahun 2009 lalu. Saat terjatuh dari motor, istrinya tersambar mobil dari arah berlawanan. Sang istri meninggal seketika. Dan tragisnya, kini Lanjar harus menghadapi tuntutan hukum penjara maksimal 5 tahun, atas tuduhan kelalaian dan menyebabkan orang lain alias istrinya sendiri kehilangan nyawa. Bagaimana perjuangan Lanjar dan kuasa hukum pro bono-nya berusaha mementahkan “logika” hukum yang aneh ini?

Dalam Sosiologi hukum dikenal istilah mobiliasasi hukum. Hukum itu adalah huruf-huruf mati (black letter law) dan hanya dapat bekerja apabila dilakukan mobilisasi. Dalam hukum pidana, maka mobilisasi itu terutama dijalankan oleh polisi. Tanpa campur tangan polisi maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu tetap hanya merupakan tulisan di atas kertas. Dalam campur tangan inilah faktor perilaku kembali muncul. Apakah seseorang yang melakukkan perbuatan yang tercantum dalam KUHP akan ditahan atau tidak, ditentukan oleh banyak hal. Etika berhukum tidak dapat digantikan oleh rumusan-rumusan canggih hukum modern, melainkan orang harus menghayatinya.[3] Hal tersebut erat kaitannya dengan hukum progresif maupun teori restorative justice.

Apabila hukum bertumpu pada “peraturan dan perilaku” maka hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Faktor menusia adalah simbol daripada unsur-unsur greget (compassion, empathy, sincerety, edication, commitment, dare dan determination). Hal tersebut mengingatkan kita kepada ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik.” Mantan Hakim Agung Bismar Siregar sering mengatakan, “keadilan ada di atas hukum”. Oleh karena itu Bismar selalu merumuskan berdasar hati-nurani terlebih dahulu dan baru kemudian dicarikan peraturannya, oleh karena hakim harus memutus berdasarkan hukum. Hukum progresif tidak bergerak pada aras legalistik-dogmatis, analitis-positivistik, tetapi lebih pada aras sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum progresif juga bergerak pada aras non-formal. [4]



[1] I Wayan Suardana. http://gendovara.blogdetik.com/2008/09/11/peradilan-sesat-dan-ironi-kondisi-hukum-indonesiaperadilan-sesat-dan-ironi-kondisi-hukum-indonesia

[2] http://kickandy.com/theshow/1/1/1793/read/PERADILAN-SESAT

[3] Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum dan Perilaku. Jakarta : Kompas. Hal 161-162

[4] Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif. Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing. Hal. 38-39.

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }