A. Pengertian dan Tujuan Kepailitan
Kata “pailit” telah sering kita dengar akhir-akhir ini. Banyak perusahaan maupun perorangan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan karena tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.[1] Istilah lain yang biasa digunakan ialah bangkrut. Hal tersebut mengacu hukum kepailitan negara Anglo Saxon yang menyebutnya bankruptcy yang berarti ketidakmampuan membayar utang. Kata bankrupycy tersebut kemudian diterjemahkan bangkrut dalam Bahasa Indonesia.[2] Menurut penulis pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan. Selain itu, bangkrut lebih cenderung pada kondisi dimana suatu perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus yang memungkinkan perusahaan itu gulung tikar, sehingga unsur utama dari kebangkrutan ialah kerugian[3]. Perlu diketahui bahwa pailit bisa terjadi pada perusahaan yang kondisi keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Jadi, unsur utama dari kepailitan ialah adanya utang.
Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan (UUK). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Dalam undang-undang tersebut kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. [4]
Kepailitan berawal dari debitor yang ternyata tidak melunasi utang pada waktunya karena suatu alasan tertentu, berakibat harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, yang menjadi agunan atas utangnya dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang-utangnya. Harta kekayaan debitor yang menjadi agunan tersebut tidak hanya digunakan untuk membayar utangnya, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang timbul karena perikatan-perikatan lain maupun kewajiban yang timbul karena undang-undang Hal ini diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata.[5]
Keadaan sebagaimana tersebut di atas pernah dialami oleh hampir sebagian besar para pelaku usaha di Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian nasional khususnya dunia usaha. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan kegiatannya menjadi sangat terganggu, terutama untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka. Keadaan ini telah melahirkan akibat berantai, dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan sosial lainnya. Akibat lainnya banyak perusahaan Indonesia yang terpaksa berutang kepada kreditor luar negeri, tetapi perusahaan tersebut ternyata tidak mampu membayar hutang kepada krediturnya saat jatuh tempo.
Ketika kewajiban itu tidak dapat dipenuhi maka salah satu solusi dari masalah ini ialah dipailitkan. Namun, sayangnya Indonesia pada saat itu hanya mempunyai Faillissements Verordening sebagai satu-satunya peraturan yang mengatur tentang kepailitan. Pengaturan kepailitan dalam Faillissements Verordening tersebut dirasa tidak memadai lagi dengan situasi saat itu karena kurang memberikan keseimbangan kepada debitur dan kreditur dalam menghadapi kepailitan, memberikan kepastian proses, baik menyangkut waktu, tata cara, tanggung jawab pengelolaan harta pailit, forum yang lebih professional dan lain-lain. Atas desakan dari para kreditur luar negeri pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan (Faillissements Verordenin) yang diUndangkan pada tanggal 22 april 1998 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 87/1998 dan berlaku secara efektif 120 hari terhitung sejak tanggal diundangkannya yaitu tanggal 20 Agustus 1998. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4/PRP/1998. Maksud dari pembentukan Perpu ini adalah berusaha mengatasi gejolak-gejolak moneter beserta akibat yang berat terhadap perekonomian Indonesia saat itu yang berpengaruh besar pada kemampuan dunia usaha dalam hal kewajiban pembayaran utang mereka. Penyempurnaan terhadap Undang-Undang Kepailitan tersebut juga dimaksudkan untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, diantaranya dengan membentuk Pengadilan khusus untuk menyelesaikan perkara kepailitan, yaitu Pengadilan Niaga.[6]
Kepailitan berhubungan erat dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo sebagaimana yang sudah penulis sampaikan di atas tadi. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan mengabulkan ataupun menolak permohonan pernyataan pailit yang diajukan.[7]
Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip yaitu[8] :
1. Pertama, peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.
2. Kedua, meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.
3. Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.
Dengan kata lain kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir ketika debitor benar-benar tidak dapat membayar utangnya.
Tujuan dari kepailitan sebagaimana tertuang dalam undang-undang antara lain :
1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya.
2. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.
3. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para Kreditor, atau debitor hanya menguntungkan kreditor tertentu.
4. Memberikan perlindungan kepada para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5. Memberikan kesempatan kepada Debitor dan kreditor untuk berunding membuat kesepakatan restrukturisasi hutang
Dengan tetap memperhatikan tujuan di atas, pembentukan Undang-Undang sebagai dasar hukum kepailitan didasarkan pada beberapa asas antara lain :
1. Asas Keseimbangan
Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa system hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Pembahasan mengenai hukum kepailitan ini tidak terlepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan lain di luar peraturan mengenai kepailitan. Sebagai contoh, jika debitur adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka harus dilihat peraturan yang mengatur tentang PT, misalnya tentang akibat kepailitan serta tanggung jawab pengurus PT. Begitu pula kepailitan suatu BUMN, harus dilihat pula peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN. Peraturan yang menjadi sumber hukum kepailitan tidak hanya dari Undang-Undang Kepailitan saja, akan tetapi harus diperhatikan pula peraturan lain yang masih relevan. Adapun sumber lainnya misalnya KUH Perdata Pasal 1131, 1132, 1133, 1134, 1139, 1149; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kepailitan.
B. Syarat-syarat Kepailitan
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Jadi, pada dasarnya setiap debitor dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut: [9]
1. Adanya utang
Undang-Undang Kepailitan mengartikan utang dalam arti luas. Pengertian utang tidak terbatas pada utang yang timbul dari perjanjian utang piutang saja. Dalam UUK utang diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undangundang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.
2. Minimal satu utang sudah jatuh tempo
Suatu utang yang jatuh tempo tentunya memberi hak bagi kreditor untuk menagih debitor seluruh jumlah utangnya. Menurut Jono, adanya persyaratan ini menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan yang sempurna. Dengan demikian utang yang lahir dari perikatan alamiah tidak dapat diajukan untuk permohonan pailit. Misalnya, utang yang lahir dari perjudian yang telah jatuh tempo, maka hal ini tidak melahirkan hak kepada kreditor untuk menagih utang tersebut. Dengan demikian meskipun debitor mempunyai kewajiban untuk melunasi utang itu, kreditor tidak mempunyai alas hak untuk menuntut pemenuhan utang tersebut yang berarti juga kreditor tidak berhak mengajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.[10]
3. Minimal satu utang dapat ditagih
Undang-Undang menentukan bahwasanya untuk mengajukan pailit bisa dengan cukup satu utang saja yang telah jatuh tempo. Namun apakah setiap utangyang jatuh tempo ini selalu dapat ditagih. Misalnya, dalam keadaan yang memaksa (force majeur) yang terjadi bukan kehendak debitor. Ini perlu dipertimbangkan sebagai dasar alasan putusan pailit.
4. Adanya debitor
Adanya debitor ini harus dapat dibuktikan, siapa dan berapa jumlah utangnya. Debitor inilah yang nanti akan mengalami keadaan pailit berdasarkan putusan pengadilan
5. Adanya kreditor
Undang-Undang Kepailitan pada Penjelasan Pasal 2 ayat (1) juga menyatakan bahwa kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ialah ketiga golongan kreditor, yaitu :
a. Kreditor Khusus ( Separatis )
Kreditor khusus ialah kreditor yang mempunyai hak tanggungan, gadai, atau hak hak agunan atas kebendaan lainnya yang dapat mengeksekusi haknya sendiri, seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Pemegang hak yang dapat mengeksekusi haknya tersebut, wajib memberikan pertanggung jawaban kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkannya kepada kurator sisanya setelah dikurangi jumlah utang. Kreditor separatis ini diberikan kedudukan istimewa yang tidak dimiliki oleh kreditor lain yaitu [11]:
1) Kedudukan terpisah
2) Kedudukan yang diprioritaskan
Kedudukan terpisah di sini maksudnya bahwa harta jaminan utang dipisahkan atau tidak termasuk ke dalam harta pailit, serta eksekusinya dapat dilakukan sendiri dan pada prinsipnya dalam melakukan eksekusi tersebut tanpa perlu campur tangan pihak kurator. Sedangkan keududukan yang diprioritaskan dari kreditor separatis adalah menyangkut dengan pengembalian hutangnya yang terlebih dahulu diberikan kepadanya dibandingkan dengan kreditor lainnya, khususnya jika pengembalian hutang tersebut diambil dari hasil eksekusi jaminan hutang yang bersangkutan. Para kreditor separatis tersebut utamanya merupakan pemegang jaminan hutang, khsusnya jaminan hutang dengan hak kebendaan. Dengan demikian kreditor dengan jaminan pribadi (personal guarante) tidak merupakan kreditor separatis, sebab hutang dengan sistem jaminan pribadi tidak ada aset tertentu yang khusus ditunjuk untuk menjadi jaminan hutang tersebut.[12]
b. Kreditor Istimewa ( Preferens)
Kreditor istimewa ialah kreditor yang piutangnya mempunyai kedudukan istimewa. Kreditor tersebut berhak atas pelunasan yang didahulukan atas penjualan harta pailit. Timbulnya hak istimewa yang dimiliki oleh golongan kreditor ini karena hak tersebut telah diberikan oleh Undang-Undang. Pasal 1134 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberika kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orangberpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu dapat dilihat di Pasal 1139 KUHPerdata antara lain :
1) biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang sutau benda bergerak maupun tak bergerak. Biaya ini dibaya dari pendapatan penjualan benda tersebut terlebih dahulu dari semua piutang-piutang lain-lainnya yang diistimewakan, bahkan lebih dulu pula dari gadai dan hipotik
2) uang-uang sewa dari benda-benda tak bergerak, baiay-biaya perbaikan yang menjadi wajibnya si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa
3) harga pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar
4) biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang
5) biaya untuk melakukan pekerjaan ada suatu barang, yang masih harus dibayar kepada seorang tukang
6) apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu
7) upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan
8) apa yang harus dibayar kepada tukang-tukang batu, tukang-tukang kayu, dan lain-lain tukang untuk pembangunan, penambahan dan perbaikan-perbaikan benda-benda tak bergerak, asal saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga tahun dan hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si berpiutang.
9) penggantian-penggantian serta pembayaran-pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai-pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.
Kemudian selain itu, Pasal 1149 menyebutkan piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya, piutang-piutang tersebut dilunasi dari pendapatan penjualan benda-benda itu menurut urutan sebagai berikut :
1) biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan, biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai gadai dan hipotek.
2) biaya-biaya penguburan, dengan tak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya-biaya itu terlampau tinggi
3) semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan
4) upah para buruh yang selama setahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah.
5) piutang karena penyerahan bahan-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir
6) piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama untuk tahun yang penghabisan
7) piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan para pengampu mereka.
c. Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren merupakan kreditor yang tidak termasuk golongan khusus atau golongan istimewa. Pelunasan piutang-piutang mereka dicukupkan dengan sisa hasil penjualan atau pelelangan hartya pailit sesudah diambil bagian golongan khusus dan golongan istimewa, sisa penjualan harta pailit itu dibagi menurut imbangan besar kecilnya piutang para kreditor konkuren itu.
6. Kreditor lebih dari satu
Kepailitan merupakan caa penyelesaian utang piutang secara bersama-sama yang melibatkan seluruh kreditor. Harta debitor nantinya akan disita seluruhnya yang kemudian akan dibagi menurut besar kecilnya utang. Debitor ini cuma memiliki satu kreditor saja, maka tidak perlu harus dengan jalan kepailitan, tapi diselesaikan antara debitor dan kreditor yang bersangkutan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan atau bahkan dengan lembaga arbitrase, jadi harta debitor tidak harus disita seluruhnya.
7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”
Pasal 1 angka 7 dengan jelas menetapkan bahwa yang dimaksud Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum. Pengadilan Niaga menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang menangani perkara kepailitan. Sebagai begian dari peradilan umum, Pengadilan Niaga juga berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.
8. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan juga memberikan batasan tentang pengajuan permohonan pailit untuk instansi-instansi tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Pengajuan tersebut harus diajukan oleh pihak yang memiliki kewenangan. Bila tidak maka permohonan itu harus ditolak.
9. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.[13] Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.
Kita lihat lagi persyaratan di atas, ternyata tidak satu pun terdapat syarat keadaan keuangan yang tidak sehat pada debitor yang hendak dipailitkan. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, tidak memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor. jadi meskipun keuangan debitor itu solven tetap bisa dipailitkan sepanjang sudah memenuhi syarat adanya utang yang tidak dibayar lunas serta adanya dua kreditor atau lebih. Inilah yang penulis maksud bedanya pailit dengan bangkrut sebagaimana telah penulis jelaskan di atas tadi. Pembuktian sederhana dalam perkara kepailitan hanya meliputi syarat adanya dua kreditor atau lebih serta minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan demikian debitor dengan mudah dapat dinyatakan pailit.
Dari kasus yang pernah terjadi, misalnya PT Dirgantara Indonesia. Perusahaan ini merupakan BUMN pertama yang pernah dinyatakan pailit, walaupun putusan pailit tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN tersebut diajukan oleh golongan kreditor preferens. Golongan kreditor preferens, menurut Pasal 1149 KUHPerdata juga meliputi para buruh/ karyawan perusahaan. Artinya bila gaji karyawan yang menjadi haknya itu tidak segera dibayarkan dan mereka tidak bersabar maka, perusahaan berpotensi besar dapat dinyatakan pailit seperti halnya yang terjadi pada PT Dirgantara Indonesia di atas. Untuk memenuhi syarat pailit begitu mudahnya karena tidak meliputi keadaan keuangan debitor. Putusan kasasi Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pernyataan pailit, biasanya berkutat pada syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 saja. Dalam kasus PT Dirgantara Indonesia tersebut Hakim Agung hanya mempertimbangkan tentang kedudukan hukum para termohon kasasi/pemohon pailit saja. Menurut Mahmakah Agung, sebagai kreditor para pemohon pailit tidak mempunyai kedudukan hukum sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap PT Dirgantara Indonesia yang merupakan sebuah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Jadi sekalipun Hakim beranggapan bahwa debitor dalam keadaan keuangan yang sehat sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menolak permohonan pailit. Sekali lagi, dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit harus didasarkan pada syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Di Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas kelangsungan usaha, dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya.
Untuk melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya. Namun, Undang-Undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit, sehingga lembaga kepailitan yang seharusnya menjadi upaya terakhir sudah tidak diperhatikan justru menjadi upaya pertama sebagai peringatan terhadap debitor atau untuk menakut-nakuti debitor agar segera membayar utangnya.
[1] http://djkan.depkeu.go.id
[2] Sentosa Sembiring, 2006. Hukum Kepailitan dan Peraturan PerUndang-Undangan yang Terkait dengan Kepailitan. Bandung : Nuansa Aulia. Hal 11.
[3] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI. http : // pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi.
[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
[5] Sutan Remy Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta : Grafiti Hal 5
[6] Rudy A Lontoh & et. al (editor). 2001. Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung : Alumni Hal 13
[7] Ahmad Yani & Gunawan Widjaja.2004. Seri Hukum Bisnis: Kepailitan. Jakarta : Rajawali Pers. hal 11
[8] Zulkarnain Sitompul, dalam artikelnya berjudul Perlukah PT DI dipailitkan. http: // zulsitompul. wordpress. com
[9] Munir Fuady.1999.Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung : Citra Aditya Bakti hal 8-9
[10] Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta : Sinar Grafika hal 11-12
[11] Munir Fuady. 2003. Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung : Citra Aditya Bakti hal. 225
[12] Ibid
[13] Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek .Op. Cit., hal 9
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment