BPSK ataukah PN ?

Bookmark and Share

Sungguh betapa senangnya kita dengan kehadiran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini seakan menjadi “teman” bagi kita konsumen untuk menyampaikan keluh kesah dan tempat mengadu atas tindakan pelaku usaha. BPSK diharapkan mampu menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha secara cepat, tepat, dan biaya murah. Asas cepat, tepat, dan biaya murah ini bukanlah mimpi ataupun mitos saja di BPSK , namun benar-benar diterapkan.

Berbanding sangat terbalik dengan proses di Pengadilan yang prosesnya begitu lama, berbelit-belit dan mahalnya biaya perkara. Semua konsumen dapat beracara di BPSK apabila telah merasa dirugikan atas perilaku pelaku usaha. Dengan demikian pelaku usaha diharapkan berhati-hati dalam melayani ataupun menawarkan kepada konsumen, karena biasanya faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

Begitu BPSK dibentuk di suatu Kabupaten/Kota tentu tak berselang lama telah mendapat pengaduan dari berbagai konsumen. Masyarakat konsumen berharap BPSK mampu memberikan keadilan bagi konsumen yang merasa dirugikan tanpa pandang bulu. Namun, apakah BPSK ini mampu dijadikan sebagai tempat memperoleh keadilan sepenuhnya ?

BPSK memang sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan antara konsumen dan pelaku usaha. Anggota BPSK sangatlah lengkap di mana berasal dari unsur konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Anggota-anggota tersebut adalah orang-orang terpilih yang memiliki pengetahuan dalam hal hukum perlindungan konsumen. BPSK hanya ada satu tingkat, dan putusannya bersifat final. DI BPSK para pihak dapat memilih model penyelesaian sengketa, yaitu dengan konsiliasi, mediasi atau arbitrase.

Namun, oleh Undang-Undang justru mengapa terhadap putusan di BPSK masih dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen. Bukankah hal ini sama saja putusan BPSK hanyalah sebuah pisau tumpul. Dikatakan demikian karena dalam keberatan itu Putusan BPSK akan diperiksa lagi oleh hakim-hakim di Pengadilan Negeri. Kita tidak tahu apakah hakim di PN itu paham mengenai hukum perlindungan konsumen meskipun pada asasnya hakim dianggap tahu tentang semua hukum termasuk hukum perlindungan konsumen. Sering suatu Putusan BPSK itu dibatalkan di PN. Para pihak menjadi terkatung-katung nasibnya. Bagaimana tidak, maksud hati ingin menyelesaikan secara cepat di luar pengadilan, namun yang terjadi justru kembali lagi ke Pengadilan.

Nampaknya perlu pengkajian lebih lanjut, apakah setiap putusan BPSK itu layak dibatalkan atau tidak., dan apakah Hakim yang membatalkan itu mempunyai pemahaman yang cukup dalam perlindungan konsumen. Hal yang diharapkan oleh konsumen hanyalah memperoleh haknya, dan menginginkan pelaku usaha bersikap jujur dan professional dalam melayani konsumen. Kita berharap semoga konsumen yang merasa haknya dirugikan oleh pelaku usaha dapat memperoleh hak-haknya kembali. Di samping itu Pengadilan Negeri pun seharusnya juga berhati-hati dalam memeriksa permohonan keberatan atas Putusan BPSK.

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }