Oleh: DR. Amir Syamsuddin, SH,
MH
I.
PENDAHULUAN
Secara historis,
Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini
dinamai sebagai officium nobile,
jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari
(pemberi kuasa, klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan
memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan.[1]
Advokat sebagai
nama resmi profesi dalam sistem peradilan kita-kita pertama ditemukan dalam
ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (RO). Advokat itu
merupakan padanan dari kata Advocaat
(Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan
profesinya setelah memperoleh gelar meester
in de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal
dari kata latin “advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan
kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.[2]
Profesi Advokat
sebenarnya merupakan profesi yang relatif sudah tua usianya. Jauh sebelum
kemerdekaan nasional, profesi advokat sudah dikenal dalam masyarakat Indonesia .
Pada tahun 1947 telah diperkenalkan satu peraturan yang mengatur profesi
advokat. Peraturan yang dikenal dengan nama Reglement
op de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (S.
1847 no. 23 yo S. 1848 no. 57) dengan segala perubahan dan penambahannya,
antara lain menyebutkan advokat adalah juga Procureur.
Melihat kenyataan bahwa undang-undang tentang advokat telah dibuat pada tahun
1947, dapat diduga bahwa profesi sudah dikenal pada tahun 1850-an[3].
(Yayasan Lembaga Bantuan Indonesia, Buku
Penuntun Untuk Latihan Paralegal, 1989, hal. vii)
Di samping advokat,
pada masa sebelum kemerdekaan nasional, kita mengenal pokrol atau sering disebut dalam istilah bahasa Inggris bush lawyer. Mereka adalah pemuka-pemuka
masyarakat atau orang-orang biasa yang setelah memperoleh pendidikan praktek
hukum seperti; Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum
Pidana, diberikan izin pengadilan untuk memberikan nasehat hukum atau melakukan
pembelaan masyarakat pencari keadilan di depan pengadilan. Para
pokrol ini kemudian berpraktek pula seperti halnya advokat. Pokrol atau bush lawyer ini sekarang sudah tidak banyak dikenal, dan lambat laun
keberadaannya juga semakin memudar.
II.
PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN ETIKA
DAN PROFESI ADVOKAT
Istilah Etika
berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan,
adat, perasaan, sikap dll. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang
dapat dipakai untuk kata Etika antara lain Etika
sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak.
Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu
tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi
bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
Dengan
demikian etika adalah norma-norma sosial yang mengatur perilaku manusia secara
normatif tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan,
merupakan pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat. Norma-norma
sosial tersebut dapat dikelompokkan dalam hal yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum dan norma moral atau etika. Etiket hanya berlaku pada pergaulan
antar sesama, sedang etika berlaku kapan saja, dimana saja, baik terhadap orang
lain maupun sedang sendirian.
Etika dalam sebuah
profesi disusun dalam sebuah Kode Etik.
Dengan demikian Kode Etik dalam sebuah profesi berhubungan erat dengan
nilai sosial manusia yang dibatasi oleh norma-norma yang mengatur sikap dan
tingkah laku manusia itu sendiri, agar terjadi keseimbangan kepentingan
masing-masing di dalam masyarakat. Jadi norma adalah aturan atau kaidah yang
dipakai untuk menilai sesuatu. Paling sedikit ada tiga macam norma sosial yang
menjadi pedoman bagi manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu norma
kesopanan atau etiket, norma hukum dan norma moral atau etika. Etika atau sopan
santun, mengandung norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Selain
itu baik etika maupun etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya
memberi norma bagi perilaku manusia. Dengan demikian keduanya menyatakan apa
yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan.[4]
Rumusan
konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu kode etik
profesi yang secara harafiah berarti etika yang dikodifikasi atau, bahasa awamnya,
dituliskan. Bertens menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan
atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral
profesi itu di dalam masyarakat.[5]
anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.[6]
Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah
seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban
suatu profesi.[7]
Sebagai organisasi
profesi, Advokat perlu memiliki Kode Etik sebagai asas atau nilai yang berkenan
dengan akhlak atau moral yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan
perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile), dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum,
Undang-Undang dan Kode Etik itu sendiri, memiliki kebebasan yang didasarkan
kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian,
kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan. Karenanya selaku penegak hukum, profesi
Advokat sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu
sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para
penegak hukum lainnya. Karena itu juga, setiap Advokat dituntut untuk tetap
menjaga citra dan martabat kehormatan profesi serta setia dan menjunjung tinggi
kode etik dan sumpah profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan
sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat
tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota.
Oleh karena itu setiap Advokat yang memilih profesi itu harus tunduk dan taat
pada aturan berperilaku (code of conduct)
yang dikenal sebagai Kode Etik Advokat, sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun
2003. Walaupun Kode Etik Advokat hanyalah sebagai aturan moral belaka akan
tetapi sejak berlakunya UU No. 18 Tahun 2003, Kode Etik Advokat yang dikenal
sebagai Kode Etik Advokat Indonesia yang disepakati oleh 7 (tujuh) organisasi
advokat yang ada yaitu Ikadin, AAI. IPHI, AKHI, HKPM, SPI dan HAPI telah
menjadi hukum positif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UU No. 18 Tahun
2003.
Maksud
dan tujuan kode etik ialah untuk mengatur dan memberi kualitas kepada
pelaksanaan profesi serta untuk menjaga kehormatan dan nama baik organisasi
profesi serta untuk melindungi publik yang memerlukan jasa-jasa baik
profesional. Kode etik jadinya merupakan mekanisme pendisiplinan, pembinaan,
dan pengontrolan etos kerja anggota-anggota organisasi profesi.[8]
Yang dimaksud
dengan profesi adalah pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan
berupa karya pelayanan yang pelaksanaannya dijalankan secara mandiri dengan
komitmen dan keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembangannya
dihayati sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus
(etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama demi
kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity). Jadi,
profesi itu berintikan praktis ilmu secara bertanggung jawab untuk
menyelesaikan masalah konkret yang dihadapi seorang warga masyarakat.
Pengembanan profesi mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan salah satu dan
nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental, seperti keilahian (imam), keadilan
(hukum), kesehatan (dokter), sosialisasi/pendidikan (guru), informasi
(jurnalis).[9]
Hubungan antara
pengemban profesi dengan klien atau pasien adalah hubungan yang personal, yaitu
hubungan antara subjek pendukung nilai yang bersifat horizontal, antara dua
pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Namun, sesungguhnya dalam
substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien atau pasien, secara
sosia-psikologikal terdapat ketidakseimbangan. Pengemban profesi memiliki dan
menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya yang bertumpu pada
kompetensi teknikal yang lebih superior. Klien tidak memiliki kompetensi
teknikal atau tidak berada dalam posisi untuk menilai secara obyektif
pelaksanaan kompetensi tekhnikal pengemban profesi yang diminta pelayanan
profesionalnya. Karena itu, klien berada dalam posisi tidak ada pilihan lain
kecuali untuk mempercayai pengemban profesi terkait. Klien harus mempercayai
bahwa pengemban profesi akan memberi pelayanan profesionalnya secara bermutu
dan bermartabat serta tidak akan menyalahgunakan situasinya, melainkan secara
bermartabat. Dan, secara bermartabat akan mengarahkan seluruh pengetahuan dan keahlian
berkeilmuannya dalam menjalankan jasa profesionalnya.[10]
Karena itu, sehubungan dengan nilai-nilai dan kepentingan yang terlibat di
dalamnya, maka pengemban profesi itu menuntut bahwa pengemban profesi dalam
melaksanakan pelayanan profesionalnya dijiwai sikap etika tertentu. Pengemban
profesi itu disebut etika profesi.[11]
Etika profesi pada
hakikatnya adalah kesanggupan untuk secara seksama berupaya memenuhi kebutuhan
pelayanan profesional dengan kesungguhan, kecermatan dan keseksamaan
mengupayakan pengerahan keahlian dan kemahiran berkeilmuan dalam rangka
pelaksanaan kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para warga
masyarakat yang membutuhkannya, yang bermuatan empat kaidah pokok. Pertama, profesi harus dipandang dan
dihayati sebagai suatu pelayanan dengan tidak mengacu pamrih.[12]
Kedua, selaku mengacu kepada
kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap
dan tindakan. Ketiga, berorientasi
pada masyarakat sebagai keseluruhan. Keempat,
semangat solidaritas antar sesama rekan seprofesi demi menjaga kualitas dan
martabat profesi.[13]
Dalam konteks
profesi, kode etik memiliki karakteristik antara lain :
a. Merupakan produk terapan, sebab dihasilkan
berdasarkan penerapan etis atas suatu profesi tertentu.
b. Kode etik dapat berubah dan diubah seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
c. Kode etik tidak akan berlaku efektif bila
keberadaannya di-drop begitu saja
dari atas sebab tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai yang hidup dalam
kalangan profesi sendiri.
d. Kode etik harus merupakan self-regulation (pengaturan diri) dari profesi itu sendiri yang
prinsipnya tidak dapat dipaksakan dari luar.
e. Tujuan utama dirumuskannya kode etik adalah
mencegah perilaku yang tidak etis.[14]
Jadi,
paling tidak ada tiga maksud yang terkandung dalam pembentukan kode etik, yakni
(i) menjaga dan meningkatkan kualitas moral; (ii) menjaga dan meningkatkan
kualitas keterampilan teknis; dan (iii) melindungi kesejahteraan materiil para
pengemban profesi. Kesemua maksud tersebut tergantung pada prasyarat utama,
yaitu menimbulkan kepatuhan bagi yang terikat oleh kode etik tersebut.[15]
Begitu
juga halnya dengan profesi hukum. Setiap profesi hukum mempunyai fungsi dan
peranan tersendiri dalam rangka mewujudkan Pengayoman hukum berdasarkan
Pancasila dalam masyarakat, yang harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam
Negara hukum). Setiap profesi hukum dalam menjalankan tugasnya masing-masing
harus senantiasa menyadari, bahwa dalam proses pemberian Pengayoman hukum,
mereka harus saling isi-mengisi demi tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran
yang sesuai dengan jiwa Negara kita yang bersifat integralistik dan
kekeluargaan.[16]
Profesi
hukum adalah profesi untuk mewujudkan ketertiban berkeadilan yang memungkinkan
manusia dapat menjalani kehidupannya secara wajar (tidak perlu tergantung pada
kekuatan fisik maupun finansial). Hal ini dikarenakan Ketertiban berkeadilan
adalah kebutuhan dasar manusia; dan Keadilan merupakan Nilai dan keutamaan yang
paling luhur serta merupakan unsur
esensial dan martabat manusia. Pengemban profesi hukum itu mencakup 4 (empat)
bidang karya hukum, yaitu: 1) Penyelesaian konflik secara formal (peradilan
yang melibatkan profesi hakim, Advokat, dan Jaksa); 2) Pencegahan konflik
(perancangan hukum); 3) Penyelesaian konflik secara informal (mediasi,
negoisasi); 4) Penerapan hukum di luar konflik.[17]
Setiap profesi
hukum harus mampu membina dan mengembangkan cara kerja profesional yang
sebaik-baiknya berdasarkan ethika profesi
yang luhur. Kemudian organisasi profesi yang bersangkutan harus mengawasi
secara berkala (internal controle)
karya anggota-anggotanya, apakah mereka dalam menjalankan profesinya selalu
memegang teguh pada “high
ethical/professional standards” yang berlaku. Hal ini lebih-lebih berlaku
bagi profesi hukum yang bersifat merdeka/mandiri seperti Hakim dan
jabatan-bebas (“vrije beroepen”) lainnya seperti notaris, pengacara, dokter dan
guru besar ilmu hukum. Bagi profesi-profesi yang dalam melaksanakan tugasnya
bersifat mandiri dan tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar, maka
kemandirian/kebebasan dalam tugasnya
haruslah selalu diimbangi dengan rasa tanggung jawab yang lebih besar pula,
karena ia sendirilah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas karyanya kepada
hati nurani dan keyakinan hukumnya sendiri, kepada masyarakat dan akhirnya
kepada Tuhan Yang Maha Esa Mengetahui. Jadi kebebasan yang bertanggung jawab
sesuai dengan sumpah jabatannya.[18]
III.
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Tiap profesi
termasuk Advokat menggunakan sistem etika, terutama untuk menyediakan struktur
yang mampu menciptakan disiplin tata kerja, dan menyediakan garis batas tata
nilai yang bisa dijadikan acuan para profesional untuk menyelesaikan dilemma
etika yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengemban profesinya sehari-hari.
Sistem etika tersebut bisa juga menjadi parameter bagi berbagai problematika
profesi pada umumnya, seperti menjaga kerahasiaan dalam hubungan klien
profesional, konflik kepentingan yang ada, dan isu-isu yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial profesi.[19]
Advokat sebagai
profesi terhormat (officium nobile)
yang dalam menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum,
Undang-undang dan kode etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada
kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada kemandirian,
kejujuran, kerahasiaan, dan keterbukaan.
Di dalam Bab II
Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia Tentang Kepribadian Advokat, disebutkan:
“Advokat
Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran
dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan
tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode
etik Advokat serta sumpah jabatannya”.[20]
Bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan
kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam
melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya adalah “kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap
Advokat”.
Kode etik yang
mengatur mengenai kepribadian advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika.
Ethika merupakan filsafat moral untuk mendapatkan petunjuk tentang perilaku
yang baik, berupa nilai-nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam
hidup bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang. Ethika moral ini
menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang mencakup theori nilai tentang
hakekat apa yang baik dan apa yang buruk, dan theori tentang perilaku
(“conduct”) tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.[21]
Moral ini berkaitan
erat dengan pandangan hidup, agama atau kepercayaan maupun adat-kebiasaan
masyarakat yang bersangkutan. Bangsa Indonesia mempunyai Pancasila sebagai
dasar ideologi Negara dan pandangan hidup dan jati diri bangsa Indonesia,
sehingga nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan ethika moral bangsa
Indonesia[22],
termasuk sila Pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
menunjukkan bahwa, seluruh bangsa Indonesia adalah bangsa yang bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, termasuk di dalamnya adalah seorang Advokat.
Dari ketentuan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf a. Kode Etik Advokat Indonesia dapat
disimpulkan bahwa seorang advokat, dalam menjalankan profesinya, harus selalu
berpedoman kepada:
a. Kejujuran profesional (professional honesty) sebagaimana terungkap dalam Pasal 3 huruf a.
Kode Etik Advokat Indonesia dalam kata-kata “Oleh karena tidak sesuai dengan
keahilannya”, dan
b. Suara hati nurani (dictate of conscience).
Keharusan bagi
setiap advokat untuk selalu berpihak kepada yang benar dan adil dengan
berpedoman kepada suara hati nuraninya berarti bahwa bagi advokat Indonesia
tidak ada pilihan kecuali menolak setiap perilaku yang berdasarkan “he
who pays the piper calls the tune” karena pada hakikatnya perilaku
tersebut adalah pelacuran profesi advokat. [23]
Keperluan bagi
advokat untuk selalu bebas mengikuti suara hati nuraninya adalah karena di
dalam lubuk hati nuraninya, manusia menemukan suatu satu hukum yang harus ia
taati. Suara hati nurani senantiasa mengajak manusia untuk melakukan yang baik
dan mengelakkan yang jahat. Hati nurani adalah inti yang paling rahasia dan sakral
dari manusia. Di sana
ia berada sendirian dengan Allah, suara siapa bergema dalam lubuk hatinya.
Makin berperan hati nurani yang benar, maka makin banyak advokat akan
meninggalkan sikap dan perilaku sesuka hati dan berusaha dibimbing oleh
kaidah-kaidah moral yang objektif.[24]
Dalam proses
penegakan hukum ini, kita para lawyers baik di bidang legislatif, eksekutif,
dan yudikatif, maupun di bidang pemberian jasa hukum harus berperan secara
positif-konstruktif untuk ikut menegakkan hukum yang berkeadilan. Janganlah
berperan secara negatif-destraktif dengan menyalahgunakan hukum, sehingga
akhir-akhir ini muncul tuduhan adanya “mafia peradilan”, penyelewengan hukum,
kolusi hukum dan penasehat hukum yang pinter-busuk (“advocaat in kwade zaken”)
yang memburamkan Negara kita sebagai Negara hukum.[25]
Satu-satunya
profesi yang menyandang predikat sebagai profesi terhormat (officium nobile) adalah Advokat.
Predikat itu sesungguhnya bukan “gelar kehormatan” yang diberikan masyarakat
atau penguasa, karena para advokat telah berjasa kepada masyarakat dan Negara.
Akan tetapi, predikat itu muncul karena tanggung jawab yang dibebankan kepada advokat.[26]
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa kode etik yang mengatur mengenai kepribadian
advokat sangat berkaitan erat dengan Ethika,
yang bertujuan agar orang hidup bermoral baik dan berkepribadian luhur
(berkarakter), sesuai dengan ethika moral yang dianut oleh kesatuan/lingkungan
hidupnya (dalam hal ini adalah Negara Indonesia yang berdasarkan dan
berideologikan Pancasila).[27]
Sehingga, sudah sepantasnya jika seseorang advokat harus memiliki kepribadian
yang luhur dan mulia, berkaitan dengan predikat yang disandangnya sebagai
profesi yang terhormat (officium nobile)
Negara Indonesia
merupakan Negara hukum yang berdasarkan dan berideologikan Pancasila yang
mutlak harus menjadi tujuan dan arah pembangunan bangsa, Negara, pemerintahan
(dalam arti luas) dan konstellasi ketatanegaraan kita.[28]
Dalam Negara hukum
berdasarkan Pancasila multak berlaku 3 azas pokok, yakni:
1. Azas
Wibawa Hukum (berlakunya azas legalitas, Kunstitutsionalitas dan supremasi
hukum);
2. Azas
Pengayoman Hukum (dimana hukum yang diperlambangkan sebagai pohon beringin
Pengayoman menjamin dan melindungi hak-hak dan kewajiban azasi warganegara);
3. Azas
Kepastian Hukum (dimana dijamin adanya suatu Keluasan Kehakiman yang mereka, an
independent judiciary yang mampu menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan
berdasarkan perikemanusiaan yang adil dan beradab).
Azas
pertama mensyaratkan adanya pembuat UU dan hukum yang demokratis dan sesuai aspirasi
rakyat, memerlukan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden pembentuk UU yang kuat
dan berwibawa dan adanya Dewan Pertimbangan Agung yang kuat dan berwibawa untuk
menjaga tegaknya wibawa hukum dengan secara preventip maupun secara represip
dapat menjaga atas hukum dan perundang-undangan yang serasi-konsisten dan tidak
saling bertentangan.
Azas
kedua mensyaratkan adanya seperangkat alat perlengkapan Negara, aparatur
pemerintah, aparatur penegak hukum, polisi, jaksa, korps pengabdi hukum seperti
penasehat hukum, legal consultant, notaris yang bersih dan berwibawa dan
masyarakat yang berkesadaran hukum tinggi, tahu akan hak dan kewajiban
hukumnya.
Azas
ketiga mensyaratkan adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang kuat berwibawa dan
adanya badan pengawasan yang kuat dan berwibawa seperti Badan Pemeriksa
Keuangan yang mandiri dan effektif jangkauan dan perannya.[29]
Setiap
advokat, di dalam menjalankan profesinya sebagai profesi yang dinamik dan
terhormat (officium nobile) haruslah
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar Negara dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
dan melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan bertindak jujur,
adil, dan bertanggungjawab berdasarkan hukum dan keadilan (Pasal 4 ayat (2)
UUNo. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).
IV. PELAKSANAAN KODE ETIK ADVOKAT DAN
UNDANG-UNDANG ADVOKAT
Berkaitan
dengan UU Advokat No. 18 tahun 2003 maka disusun Kode Etik Advokat Indonesia,
hal ini bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat (Pasal
26 Bab IX ayat 1); UU tersebut juga mengatur bagaimana seorang Advokat wajib
tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat (ayat 2); Kode etik profesi Advokat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan (ayat 3); Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi
Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat (ayat 4). Kode etik juga mengatur
tentang susunan, tugas, dan kewenangan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.[30]
Pada
dasarnya, Kode Etik Advokat dan Undang-Undang Advokat mengatur tentang hubungan
Advokat dengan Klien dan Hubungan Advokat dengan teman sejawat. Hubungan antara
Advokat dengan klien diatur di dalam Pasal 4 Kode Etik Advokat, yaitu:
a. Advokat
dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan
damai.
b. Advokat
tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai
perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam
menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat
tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat
dalam mengurus perkara Cuma-Cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti
terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.
g. Advokat
harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar
hukumnya.
h. Advokat
wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien
secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya
hubungan antara advokat dan klien itu.
i. Advokat
tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang
tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan
kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan
tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf (a).
j. Advokat
mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri
sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian
hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak
retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian
kepentingan klien.[31]
Hubungan
antara Advokat dengan klien sangat erat kaitannya dengan pekerjaan uatama
Advokat sebagai profesi seperti: a) pemberian nasihat hukum kepada masyarakat
yang memerlukannya; b) pembelaan kepentingan masyarakat; c) membuat draf
kontrak (perjanjian) bagi kepentingan para pihak yang berminat untuk mengadakan
hubungan dagang atau hubungan kerja; d) memfasilitasi kepentingan masyarakat
yang menjadi kliennya dalam suatu proses perundingan guna menyelesaikan
perselisihan hukum; e) dan lain-lain bentuk pelayanan hukum yang diperlukan
dunia usaha.[32]
Adapun
hubungan antar Advokat dengan Teman Sejawat, diatur di dalam Pasal 5 Kode Etik
Advokat, yaitu:
a. Hubungan
antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling
menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat
jika membicarakan teman sejawat atau jika berpapasan satu sama lain dalam
sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik
secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan
terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik
Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak
dibenarkan untuk disiarkan. Melalui media massa
atau cara lain.
d. Advokat
tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila
klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima
perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat
semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila
masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila
suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat baru, maka
Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk
mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien
tersebut.[33]
V. FUNGSI DEWAN KEHORMATAN SEBAGAI
INSTRUMEN PENJAGA KEHORMATAN PROFESI DAN MEKANISME PENGADUAN
Kode
Etik Advokat Indonesia
merupakan suatu pedoman dan suatu kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah
kepada pelaksanaan profesi advokat Indonesia . Mengapa? Teristimewa
karena Undang-Undang Advokat itu sendiri telah menegaskan bahwa advokat
berstatus sebagai penegak hukum. Itu sangat penting kita selalu ingat. Kita
adalah satu yang dipercayakan, diamanatkan, ditugaskan sebagai penegak hukum,
di samping tentu saja penegak-penegak hukum lainnya seperti hakim, polisi,
jaksa, dan sebagainya.[34]
Dalam
kaitan itulah advokat juga diberi sarana yang mutlak harus dimiliknya, yaitu
kebebasan dan kemandirian yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan. Tanpa
itu, mustahil dia dapat menjalankan fungsinya mewujudkan panggilan sebagai
penegak hukum. Dari sini kelihatan sekali bahwa kebebasan kemandirian
semata-mata suatu sarana, bukan tujuan. Berarti pula bahwa hanya sejauh
kebebasan dan kemandirian itu dipakai dengan penuh tanggung jawab dan itikad
baik, maka advokat berhak mendapat perlindungan dalam kebebasan dan kemandirian
melaksanakan profesinya.[35]
Mengapa
advokat perlu diberi perlindungan? Karena sesungguhnya advokat merupakan
pengemban tugas mulia yang dalam bahasa Latin disebut officium nobile, a noble office, sehingga di situlah dia harus
mewujudkan panggilan dan harus selalu bersikap mandiri, jujur dan yang
teristimewa adalah terbuka. Terbuka juga pada sesamanya yang dapat memberikan
arahan dan teguran kepada advokat yang bersangkutan. Konsekuensinya adalah
setiap advokat Indonesia
harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi advokat, setia menjunjung
serta taat asas Kode Etik Advokat Indonesia .[36]
Karenanya
diperlukan Dewan Kehormatan untuk menjamin terlaksananya secara taat asas Kode
Etik advokat Indonesia .
Jadi peran Dewan Kehormatan sangat menentukan. Tanpa itu sebenarnya semua ini
menjadi mandul.[37]
Kode
Etik Advokat Indonesia telah
mengatur Tata Cara Pengaduan secara jelas di dalam Pasal 12 Kode Etik Advokat Indonesia ,
yaitu:
1. Pengaduan
terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar kode etik Advokat harus
disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan
Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana
di suatu tempat tidak ada cabang/daerah organisasi, pengaduan disampaikan
kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana
pengaduan disampaikan kepad Dewan Pimpinan Cabang/Daerah maka Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana
pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik
langsung atau melalui Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.[38]
Di
dalam pelaksanaan kode etik Advokat, sering sekali terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap kode etik yang dilakukan oleh para Advokat.
Terhadap pelanggaran-pelanggaran kode etik Advokat tersebut, Kode Etik Advokat
telah mengatur mengenai hukum acara pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat.
Dalam Pasal 10 ayat (2) Kode Etik Advokat, disebutkan: Pemeriksaan suatu
pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu: Tingkat Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah dan Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
Mengenai Pemeriksaan Tingkat Pertama
oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah diatur dalam Pasal 13 Kode Etik Advokat,
yaitu:
1. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah
menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap
perlu, menyampaikan surat pemberitahuan
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat
kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan
menyampaikan salinan/copy surat
pengaduan tersebut.
2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan disertai surat-surat bukti
yang dianggap perlu.
3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari
tersebut teradu tidak memberikan jawabannya secara tertulis. Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak
memberikan jawaban tertulis maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban
sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran
pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah
diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada
teradu untuk hadir di persidangan yang sudah ditetapkan tersebut.
6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah
diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang
yang ditentukan.
7. Pengadu dan yang teradu harus hadir secara
pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki
masing-masing dapat didampingi oleh penasehat dan berhak untuk mengajukan
saksi-saksi dan bukti.
8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah
pihak: Dewan Kehormatan akan menjelaskan
tata cara pemeriksaan yang berlaku; dan perdamaian hanya dimungkinkan bagi
pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu
dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum,
dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta
perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Kemudian, kedua belah pihak
diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan
didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah
satu pihak tidak hadir maka Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya
paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir
secara patut. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak
hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat
mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan
umum atau kepentingan organisasi. Apabila
teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah,
pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu. Dewan berwenang untuk memberikan
keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama
seperti kekuatan biasa.
Sedangkan mengenai pemeriksaan suatu
pengaduan yang dilakukan melalui Tingkat Dewan Kehormatan Pusat, dilakukan
dalam hal Pemeriksaan Tingkat Banding, seperti yang diatur dalam Pasal 18 Kode
Etik Advokat, yaitu:
1. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan
keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan
banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori
Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang
bersangkutan menerima salinan.
3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah
menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding, selambat-lambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya
melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra
Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak
penerimaan Memori Banding.
5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding
tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya
untuk itu.
6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan,
berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada
Dewan Kehormatan Pusat.
7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan
ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
8. Dewan Kehormatan Pusat memutus dengan susunan
majelis yang terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih
tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.
9 Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan
atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang
menjalankan profesi di bidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai
kode etik advokat.
10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan
Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan
Pusat atau jika dia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.
11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar
bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat
meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka
langsung atas biaya sendiri.
12. Dewan Kehormatan Pusat secara prerogasi dapat
menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan
oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari
kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan
Pusat.
13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan
pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis
berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.[39]
[1]
Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan
Contempt of Court Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta , 1996, hlm. 1
[2] Ibid.
[3]
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ,
Buku Penuntut Untuk Latihan Paralegal,
Yayasan LBH Indonesia, Jakarta ,
1989, hlm. viii.
[4]
Wiradharma Dannya, Penuntun Kuliah Hukum
Kedokteran, Bina Rupa Aksara, 1996, hlm. 7
[5]
Biniziad Kadafi, et al., Op. Cit., hal. 252-253, mengutip K. Bertens, Etika, cet. V, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 2000,
hlm.280-281.
[6]
Biniziad Kadafi, et al., Op. Cit,
mengutip Badan Pembinaan Hukum Nasional RI, Analisis
dan Evaluasi Tentang Kode Etik Advokat danKonsultan Hukum, Badan Pembinaan
Hukum Nasional R.I, Jakarta 1997, hlm. 11
[7]
Binziad Kadafi, et al., Op. Cit.,
hal. 252-253.
[8]
Susanti Bivitri, “Kata Pengantar Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia”, Rekaman Proses Workshop Kode Etik Advokat
Indonesia Langkah Menuju Penegakan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia, Jakarta, 2004, hal. viii, mengutip Yap Thiam Hien, Masalah Pelanggarang Kode Etik Profesi dalam
Penegakan Keadilan dan Hukum, Dalam Negara, HAM, dan Demokrasi, ed. Daniel Hutagalung, YLBHI, Jakarta , 1998.
[9]
Sidharta Arief. B, Pelaksanaan Kode Etik
Profesi Hukum di Indonesia: Rekaman Proses Workshop Kode Etik Advokat Indonesia,
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ,
Jakarta , 2004,
hlm. 41)
[10] Ibid.
[11] Ibid. hlm. 18
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14]
Binziad Kadafi, et. Al., Advokat
Indonesia Mencari Legitimas; Sudi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di
Indonesia, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta,
2001, hlm. 253
[15] Ibid.
[16]
Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum,
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Cabang Mahkamah Agung RI, 1998, hlm. 33
[17]
Sidharta Arief. B, Op. Cit., hlm. 18
[18]
Purwoto S. Gandasubrata, Op. Cit.
[19]
Binziad Kadafi, et al., Op. Cit.,
hal. 252
[20]
Lihat Kode Etik Advokat Indonesia .
[21]
Purwoto S. Gandasubrata, Op. Cit.,
hlm. 92
[22] Ibid.
[23]
Fred B.G, Tumbuan, Kode EtikAdalah
Pedoman Penghayatan Profesi Advokat Sebagai Penegak Hukum: Rekaman Proses
Workshop Kode Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan, Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004, hal. 39).
[24] Ibid.
[25]
Purwoto S. Gandasubrata, Op. Cit.,
hlm. 65
[26]
Otto Hasibuan, Kode Etik Advokat Indonesia Problematik Substansi Dan
Pelaksanaannya: Rekaman Proses Workshop Kode Etik Advokat Indonesia Langkah
Menuju Penegakan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2004, hlm.
47
[27]
Purwoto S. Gandasubrata, Op. Cit.,
hlm. 92
[28] Ibid., hlm. 40
[29] Ibid.
[30]
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
[31]
Kode Etik Advokat Indonesia
[33]
Kode Etik Advokat Indonesia .
[34]
Fred B.G. Tumbuan, disampaikan dalam sesi Pemaparan Pembicara Indonesia dalam
Rekaman Proses Workshop Koe Etik Advokat Indonesia Langkah Menuju Penegakan,
2004, hlm. 13
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38]
Kode Etik Advokat Indonesia .
[39]
Asosiasi Advokat Indonesia , UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
danKode Etik Advokat Indonesia.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment