Presiden bertanggung jawab kepada rakyat. Bentuk pertanggungjawaban terdiri atas pertanggungjawaban yang bersifat politik dan hukum . Kalau dulu bentuk pertanggungjawaban ini ialah setiap akhir masa jabatannya ia melakukan pidato pertanggungjawaban di hadapan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat , tetapi sekarang karena Presiden dipilih rakyat secara langsung , maka Presiden bertanggung jawab kepada rakyat, tentu pertangung jawaban ini hanya secara simbolis saja.
Dalam Pasal 7 UUD 1945 Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan . Ketentuan ini untuk mencegah kekuasaaan yang absolut seperti pada masa Orde Baru. Berkaitan dengan bentuk pertanggung jawaban maka dapat kita katakan bahwa apabila pertanggung jawaban diterima rakyat maka presiden itu tetap dipercaya oleh rakyat untuk memimpin negara ini . Akan tetapi apabila Presiden itu kalah dalam Pemilu berikutnya berarti pertanggungjawaban kepada rakyat ditolak.
Selama menjalani masa jabatannya Presiden juga bisa diberhentikan walaupun dengan mekanisme yang sangat rumit karena adanya percampuran antara politik dan hukum. Selain itu juga harus ada alasan yang kuat seperti yang ada dalam Pasal 7A UUD 1945, “ Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Selanjutnya dalam Pasal 7B usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 7A. Unsur di DPR ini merupakan unsur politik yang ada dalam impeachment karena DPR dan Presiden memiliki kedudukan yang sama kuat serta tidak dapat saling membubarkan, sedangkan keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan unsur hukum dalam impeachment. MK tentu akan meninjau usul DPR tersebut melalui prosedur hukum yang berlaku di negara kita. Namun, apapun yang terjadi di DPR dan MK, keputusan terakhir tetap ada di tangan MPR. Bisa saja MK memutuskan usul DPR mengenai impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden itu benar tetapi oleh MPR dinyatakan sebaliknya dan tetap mempertahankan Presiden. Jadi, masalah ini kembali lagi ke unsur politik yang memang sangat dominan dalam pemerintahan.
DPR sebenarnya mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden ini sebagai wujud konkret dalam rangka pelaksanaan fungsi lembaga yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden terbukti melakukan pelanggaran seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 7A, maka MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul itu. Kemudian keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Dalam proses persidangan tersebut, yang disidangkan bukanlah Presiden dan/atau Wakil Presiden tetapi orang yang menjabat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mengapa demikian ? Karena pertanggungjawaban dikenakan kepada perseorangan bukan jabatan.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment