1) Pengertian dan Syarat-Syarat Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Menurut Imran Nating, kepailitan diartikan sebagai suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya (Abdurrachman, A., 1991 : 89). Dalam Black’s Law Dictionary, pailit atau bankrupt adalah
“the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a person againt whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntaru petition, or who has been adjudged a bankrupt.
Dari pengertian tersebut maka pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar. (Ahmad Yani & Gunawan Widjaja , 2004 : 11 ).
Orang sering menyamakan arti pailit ini sama dengan bankrupt atau bangkrut dalam bahasa Indonesia. Namun, menurut penulis pengertian pailit tidak sama dengan bangkrut, karena bangkrut berarti ada unsur keuangan yang tidak sehat dalam suatu perusahaan, tetapi pailit bisa terjadi pada perusahaan yang keadaan keuangannya sehat, perusahaan tersebut dipailitkan karena tidak membayar utang yang telah jatuh tempo dari salah satu atau lebih kreditornya. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut :
a) Adanya utang;
b) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo;
c) Minimal satu dari utang dapat ditagih;
d) Adanya debitor;
e) Adanya kreditor;
f) Kreditor lebih dari satu;
g) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;
h) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
i) Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan;
Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim harus “menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.
Apabila kita membahas mengenai hukum kepailitan, maka tidak terlepas dari ketentuan peraturan perundang-undangan lain di luar peraturan mengenai kepailitan. Sebagai contoh, jika debitur adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) maka harus kita lihat peraturan yang mengatur tentang PT, misanya tentang akibat kepailitan serta tanggung jawab pengurus PT. Begitu pula kepailitan suatu BUMN, kita harus melihat pula peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN. Sehinggga di sini dasar yang menjadi sumber hukum kepailitan tidak hanya dari Undang-Undang Kepailitan saja, akan tetapi harus diperhatikan pula peraturan lain yang masih berhubungan. Dasar hukum kepailitan yang utama tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun sumber lainnya misalnya KUH Perdata Pasal.1139,1149,1134; KUHP Pasal 396,397,399,400,520 ;Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; dan peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan kepailitan.
2) Pihak yang dapat Dinyatakan Pailit
Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Debitur secara sumir terbukti memenuhi syarat di atas dapat dinyatakan pailit, baik debitor perorangan maupun badan hukum. Menurut Imran Nating, pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain :
a) Orang Perorangan
Baik laki-laki maupun, menjalankan perusahaan atau tidak, ayng telah menikah maupun yang belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor perorangan yang telah menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya, kecuali antara suami istri tersebut tidak ada pencampuran harta.
b) Harta Peninggalan (Warisan)
Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya. Dengan demikian, debitor yang telah meninggal dunia masih saja dinyatakan pailit atas harta kekayaannya apabila ada kreditor yang mengajukan permohonan tersebut. Akan tetapi permohonan tidak ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan dalam Pasal 1107 KUH Perdata. Permohonan pailit terhadap harta peninggalan, harus memperhatikan ketentuan Pasal 210 Undang-Undang Kepailitan, yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah debitor meninggal.
c) Perkumpulan Perseroan (Holding Company)
Undang-Undang Kepailitan tidak mensyaratkan bahwa permohonan kepailitan terhadap holding company dan anak-anak perusahaannya harus diajukan dalam satu dokumen yang sama. Permohonan-permohonan selain dapat diajukan dalam satu permohonan, juga dapat diajukan terpisah sebagai dua permohonan.
d) Penjamin (Guarantor)
Penanggungan utang atau borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentingan kreditor mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitor apabila debitoe yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya
e) Badan Hukum
Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal dengan sebutan rechtsperson, dan dalam kepustakaan Common Law seringkali disebut dengan istilah legal entity, juristic person, atau artificial person. Badan hukum bukanlah makhluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya piker, kehendaknya, dan tidak mempunyai central bewustzijn. Oleh karena itu, ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nam pertanggungan gugat badan hukum. Pada badan hukum selalu diwakili oleh organ dan perbuatan organ adalah perbuatan badan hukum itu sendiri. Organ hanya dapat mengikatkan badan hukum, jika tindakanya masih dalam batas dan wewenang yang telah ditentukan dalam anggaran dasar.
f) Perkumpulan Bukan Badan Hukum
Perkumpulan yang bukan berbadan hukum ini menjalankan suatu usaha berdasarkan perjanjian antaranggotanya, tetapi perkumpulan ini bukan merupakan badan hukum, artinya tidak ada pemisahan harta perusahaan dan harta kekayaan pribadi, yang termasuk dalam perkumpulan ini antara lain :
(1) Maatscappen (persekutuan perdata);
(2) Persekutuan firma;
(3) Persekutuan komanditer.
Oleh karena bukan badan hukum, maka hanya para anggotanya saja yang dapat dinyatakan pailit. Permohonan pailit terhadap Firma dan Persekutuan Komanditer harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang Firma.
g) Bank
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur bank dan bukan bank. Pembedaan tersebut dilakukan dalam hal siapa yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, karena bank sarat dengan uang masyarakat yang harus dilindungi.
h) Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
Sebagaimana bank, Undang-Undang Kepailitan dan PKPU juga membedakan perusahaan efek dengan debitur lainnya. Jika menyangkut debitur yang merupakan Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. Badan ini dikecualikan oleh Undang-Undang karena lembaga ini mengelola dana masyarakat umum.
3) Pihak yang dapat Memohonkan Pailit
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 2, bahkan panitera wajib tidak menerima permohonan pernyataan pailit apabila diajukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit antara lain :
a) Debitor
Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitur mempunyai lebih dari satu orang kreditor, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat membayar utang-utangnya, dapat mengajukan permohonan pailit. Debitur harus membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditor serta juga membuktikan bahwa ia tidak dapat membayar salah satu atau lebih utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitor telah menikah, maka harus ada persetujuan pasanganya, karena hal ini menyangkut harta bersama, kecuali tidak ada pencampuran harta.
b) Kreditor
Dua orang kreditor atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selama memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitor harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana.
c) Kejaksaan
Apabila permohonan pernyataan pailit mengandung unsure atau alasan untuk kepentingan umum maka, permohonan harus diajukan oleh Kejaksaan. Kepntingan umum yang dimaksud dalam Undang-Undang adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
(1) Debitor melarikan diri;
(2) Debitor menggelapkan harta kekayaan;
(3) Debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
(4) Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;
(5) Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
(6) Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
d) Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debitornya adalah bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
e) Badan Pengawas Pasar Modal
Apabila debitor adalah perusahaan Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian maka satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah Badan Pengawas Pasar Modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Badan Pengawas Pasar Modal.
f) Menteri Keuangan
Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kemudian Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana Pensiun, sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dana Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya.
Permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan tersebut harus melalui advokat yang telah memiliki izin praktik beracara. Namun, apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan, tidak diperlukan advokat.
4) Akibat Hukum Pernyataan Pailit
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut :
a) Kekayaan debitor pailit yang masuk ke dalam harta pailit merupakan sitaan umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit.
b) Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri pribadi debitor pailit.
c) Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengururs dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit diusapkan.
d) Segala perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.
e) Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua kreditor dan debitor, sedangkan Hakim Pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya kepailitan.
f) Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.
g) Semua tuntutan atau gugatan yang bertujuan untuk mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan cara melaporkannya untuk dicocokkan.
h) Kreditor yang dijamin dengan Hak Gadai, Hak Fidusia, Hak Tanggungan, atau hipotek dapat melaksanakan hak agunannya seolah-olah tidak ada kepailitan.
i) Hak eksekutif kreditor yang dijamin dengan hak-hak di atas serta pihak ketiga, untuk dapat menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum untuk waktu 90 hari setelah putusan pailit diucapkan.
Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitor untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitor itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta pailit atau dapat menambah harta pailit. Oleh karena itu gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitor pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan atau rapat verifikasi. Segala tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Begitu pula mengenai segala eksekusi pengadilan terhadap harta pailit. Eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan, dengan izin hakim pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.
Kepailitan mempunyai banyak akibat yuridis. Munir Fuady mencatat ada 41 akibat yuridis dari suatu kepailitan atau akibat hukum yang terjadi jika debitor dinyatakan pailit. Akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan dua metode pemberlakuan, yaitu:
a) Berlaku Demi Hukum
Ada beberpa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal seperti ini, Pengadilan Niaga, hakim pengawas, curator, kreditor, dan siapa pun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misalnya, larangan bagi debitor pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
b) Berlaku Rule of Reason
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason. Maksudnya adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mempunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut misalnya kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain. (Munir Fuady, 1999 : 65)
5) Berakhirnya Kepailitan
Suatu kepailitan pada dasarnya bisa berakhir, ada beberapa macam cara berakhirnya kepailitan :
a) Setelah adanya perdamaian (akkoord), yang telah dihomologasi dan berkekuatan hukum tetap.
Sebagaimana kita ketahui bahwa apabila dalam kepailitan diajukan rencana perdamaian, maka jika nantinya perdamaian tersebut disetujui secara sah akan mengikat, baik untuk kreditor yang setuju, kreditor yang tidak setuju, maupun untuk kreditor yang tidak hadir dalam rapat. Dengan diucapkanya perdamaian tersebut, berarti telah ada kesepakatan di antara para pihak tentang cara penyelesaian utang. Akan tetapi persetujuan dari rencana perdamaian tersebut perlu disahkan (homologasi) oleh Pengadilan Niaga dalam sidang homologasi. Apabila Pengadilan menolak pengesahan perdamaian karena alasan yang disebutkan dalam undang-undang maka pihak-pihak yang keberatan dapat mengajukan kasasi. Setelah putusan perdamaian tersebut diterima dan mempunyai kekuatan hukum tetap maka proses kepailitan tidak perlu dilanjutkan lagi.
b) Insolvensi dan pembagian
Kepailitan bisa berakhir segera setelah dibayar penuh jumlah piutang-piutang terhadap para kreditor atau daftar pembagian penutup memperoleh kekuatan yang pasti. Akan tetapi bila setelah berakhirnya pembagian ternyata masih terdapat harta kekayaan debitor, maka atas perintah Pengadilan Niaga, kurator akan membereskan dan mengadakan pembagian atas daftar-daftar pembagian yang sudah pernah dibuat dahulu (Munir Fuady, 1999 : 88).
c) Atas saran kurator karena harta debitor tidak cukup.
Apabila ternyata harta debitor ternyata tidak cukup untuk biaya pailit atau utang harta pailit, maka kurator dapat mengusulkan agar kepailitan tersebut dicabut kembali. Keputusan untuk mencabut kepailitan ini dibuat dalam bentuk ketetapan hakim dan diputuskan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
d) Pencabutan atas anjuran Hakim Pengawas
Pengadilan Niaga atas anjuran dari Hakim pengawas dapat mencabut kepailitan dengan memperhatikan keadaan harta pailit. Dalam memerintahkan pengakiran kepailitan tersebut, Pengadilan Niaga juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator yang dibebankan terhadap debitor. Terhadap penetapan biaya dan imbalan jasa tersebut, tidak dapat diajukan kasasi dan untuk pelaksanaanya dikeluarkan Fiat Eksekusi.
e) Putusan pailit dibatalakan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.
Putusan pailit oleh Pengadilan Niaga berlaku secara serta merta. Dengan demikian sejak saat putusan pailit maka status debitor sudah dalam keadaan pailit. Akan tetapi, putusan pailit dapat diajukan upaya hukum, yaitu kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam proses kepailitan tidak dimungkinkan upaya banding. Hal tersebut diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan atas pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Apabila pada tingkat kasasi ternyata putusan pernyataan pailit itu dibatalkan, maka kepailitan bagi debitor juga berakhir. Namun, segala perbuatan yang telah dilakukan kurator sebelum atau pada saat kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan dari Mahkamah Agung, tetap sah. Setelah menerima pemberitahuan tentang pembatalan putusan pernyataan pailit itu, selanjutnya kurator wajib mengiklankan pembatalan tersebut dalam surat kabar. Dengan pembatalan putusan pernyataan pailit tersebut, perdamaian yang telah terjadi hapus demi hukum.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment