Kelemahan Hukum Kepailitan di Indonesia

Bookmark and Share
Oleh : Kelik Pramudya

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Penyelesaian perkara kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu badan peradilan khusus yakni Pengadilan Niaga.

Menurut Joseph E. Stiglitz sebagaimana dikutip oleh Zulkarnain Sitompul, hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip. Pertama, peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Kedua, meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature. Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Ketentuan kepailitan memang telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Disamping itu juga perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk. Singkat kata, kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir.

Sekarang kita lihat hukum kepailitan di Negara kita. Pengaturan hukum kepailitan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, ternyata masih terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut pada akhirnya menimbulkan banyak kontroversi. Sejak dikeluarkanya Undang-Undang Kepailitan tahun 1998, permohonan pernyataan palit terhadap debitor begitu mudahnya. Hal ini berakibat terhadap banyaknya debitor yang dinyatakan pailit, meskipun dalam tingkat kasasi kepailitan tersebut dibatalkan, misalnya, dikabulkannya permohonan pailit terhadap Modernland, Manulife, dan Prudential. Modernland dipailitkan karena gagal menyerahkan unit apartemen kepada pembelinya, Manulife dipailitkan karena sengketa antara pemegang saham, dan Prudential dipailitkan karena sengketa kontraktual. Kasus yang paling besar ialah dipalitkanya suatu BUMN yaitu PT Dirgantara Indonesia karena dalam sejarah ini baru pertama kali BUMN dipailitkan.

Dalam tulisan yang sangat sederhana ini, saya akan uraikan beberapa kelemahan Undang-Undang Kepailitan kita dari hasil kajian saya dan beberapa pendapat pakar:
1. Salah satu pembaharuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ialah menambah pihak-pihak yang dapat mengajukan kepailitan terhadap instansi tertentu, salah satunya ialah permohonan pailit terhadap BUMN. Pasal 2 ayat 5 UU Kepailitan menyatakan bahwa dalam hal Debitur adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Namun, BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut tidak dapat kita tafsirkan semua BUMN yang ada di Indonesia. BUMN yang dimaksud hanyalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik saja. Lalu, apa yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik itu? pertanyaan tersebut dapat kita temukan jawabanya pada Penjelasan Pasal 2 ayat (5). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (5) yang dimaksud dengan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan pubik ialah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham. Artinya untuk bisa disebut sebagai BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik haruslah memenuhi dua syarat tersebut. Lalu, bagaimana dengan BUMN yang lain? apakah BUMN yang tidak memenuhi ciri-ciri tersebut dapat diajukan permohonan pernyataan pailit oleh selain Menteri Keuangan? Undang-Undang BUMN tidak memberikan penjelasan tentang itu. Di samping itu, penjelasan tersebut juga mengandung kelemahan. Kelemahan yang dimaksud penulis ini adalah bila kita sinkronkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Pengertian BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hampir sama dengan pengertian Perusahaan Umum (Perum). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN. Menurut Pasal 1 angka 4 UU BUMN Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Menurut M. Hadi Subhan, BUMN yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Perum, hal ini didasarkan pada UU BUMN tersebut, sehingga ia menyimpulkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN dalam bentuk persero dapat dimohonkan pailit oleh selain Menteri Keuangan. Pendapat tersebut cukup beralasan, karena Undang-Undang Kepailitan memberikan definisi yang sama terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Namun, membicarakan Undang-Undang BUMN harus juga kita lihat Pasal 55 ayat (1). Dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh direksi, Menteri Keuangan hanyalah pihak yang memberikan persetujuan kepada direksi saja. Ini berarti Menteri Keuangan juga bukanlah satu-satunya pihak yang dapat memohonkan pailit terhadap Perum. Padahal UU Kepailitan menegasakan bahwa Menteri Keuangan adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan pernyataan paiit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Jadi, haruskah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik diartikan sebagai Perum?
2. Masih berkaitan dengan point 1 di atas. Pendapat yang menyatakan bahwa BUMN yang dimaksud dalam UU Kepailitan adalah Perum tidaklah sepenuhnya salah. Karena memang definisi yang sama antara UU BUMN dan UU Kepailitan. Namun, pertanyaanya adalah jika dikaitkan dengan Pasal 55 ayat (1) UU BUMN di atas yang menyatakan bahwa permohonan pailit terhadap Perum dapat diajukan oleh direksi, maka di sini ada dua hukum yang bertentangan, yaitu antara UU BUMN dan UU Kepailitan. Timbul pertanyaan di sini, manakah yang lebih lex specialis, UU BUMN atau UU Kepailitan?
3. Terkait dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan yang mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap instansi-instansi tertentu. Pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (5) juga, timbul pertanyaan baru yakni bagaimana jika debitor adalah sebuah BUMN dalam bentuk bank, maka siapakah yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadapnya? Menteri Keuangan ataukah bank Indonesia? Saya pernah menanyakan ini kepada M. Hadi Subhan, Doktor Hukum Kepailitan dari Unair. Beliau pada dasarnya tetap berpendapat bahwa BUMN yang harus diajukan kepailitannya oleh menkeu adalah BUMN yang berbentuk PERUM. sedangkan BUMN yang berbentuk persero berlaku seperti PT privat biasa dan tidak harus menteri keuangan yang mengajukan permohonan kepailitan.. hal ini juga dijelaskan dalam pasal 11 UU BUMN tersebut bahwa Terhadap BUMN Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT. Bank-bank BUMN tidak ada yang berbentuk yang berbentuk BUMN perum tapi semua berbentuk BUMN persero, jadi bukan menteri keuangan yang berwenang mengajukan. dengan demikian yang berlaku adalah pasal 2 ayat 3, yakni yang berwenang mengajukan kepailitan bank BUMN adalah tetap BANK INDONESIA. Jadi menurut M Hadi Subhan, seandainya ada terdapat bank BUMN yang berbentuk perum pun, tetap yang berlaku adalah pasal 2 ayat 3 yang berwenang mengajukan adalah Bank Indonesia, hal ini karena kepailitan bank adalah ketentuan lex specialis.
4. Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut (Munir Fuady, 1999 : 8-9) :
a. Adanya utang;
b. Minimal satu utang sudah jatuh tempo;
c. Minimal satu utang dapat ditagih;
d. Adanya debitor;
e. Adanya kreditor;
f. Kreditor lebih dari satu;
g. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan “Pengadilan Niaga”;
h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;
i. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila syarat-syarat terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan “judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya. (Munir Fuady, 1999 : 9). Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (4), bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Kita lihat lagi persyaratan di atas, ternyata tidak satu pun terdapat syarat keadaan keuangan yang tidak sehat pada debitor yang hendak dipailitkan. Dalam hukum kepailitan di Indonesia, tidak memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor. jadi meskipun keuangan debitor itu solven tetap bisa dipailitkan sepanjang sudah memenuhi syarat adanya utang yang tidak dibayar lunas serta adanya dua kreditor atau lebih. Inilah salah satu kelemahan hukum kepailitan di Indonesia. Pembuktian sederhana hanya meliputi syarat adanya dua kreditor atau lebih serta minimal satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, artinya apabila syarat-syarat tersebut telah terbukti maka hakim harus mengabulkan permohonan pailit tanpa mempertimbangkan bagaimana kondisi keuangan debitor. Dengan demikian debitor dengan mudah dapat dinyatakan pailit. Undang-Undang Kepailitan pada Penjelasan Psal 2 ayat (1) juga menyatakan bahwa kreditor yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ialah ketiga golongan kreditor, yaitu krediotr separatis, kreditor preferens, dan kreditor konkuren. Dari kasus yang pernah terjadi, misalnya PT Dirgantara Indonesia dan Adam Air, permohonan pernyataan pailite terhadap perusahaan tersebut diajukan oleh golongan kreditor preferens. Golongan kreditor preferens, menurut Pasal 1149 KUHPerdata juga meliputi para buruh/ karyawan perusahaan. Artinya bila gaji karyawan yang menjadi haknya itu tidak segera dibayarkan dan mereka tidak bersabar maka, perusahaan berpotensi besar dapat dinyatakan pailit. Untuk memnuhi syarat pailit begitu mudahnya karena tidak meliputi keadaan keuangan debitor. Putusan kasasi Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pernyataan pailit, biasanya berkutat pada syarat-syarat yang terdapat pada Pasal 2 saja. Walaupun Hakim beranggapan bahwa debitor dalam keadaan keuangan yang sehat sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun itu tidak bisa dijadikansebagai alasan untuk menolak permohonan pailit. Sekali lagi, dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit harus didasarkan pada syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Di Indonesia tidak dikenal adanya "insolvency test" terlebih dahulu sebelum diajukan permohonan pailit. Harusnya Undang-Undang Kepailitan juga memberikan pengaturan tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan pailit. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas kelangsungan usaha, dimana debitor yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya. Untuk melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya. Namun, Undang-Undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang kondisi keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga kepailitan harusnya digunakan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dalam menyelesaikan utang-utang yang sudah tidak mampu lagi dibayar oleh debitor.
5. Pasal 10 Undang-Undang Kepailitan memungkinkan diletakkannya sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan kreditor. Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan dalam kepailitan memang mengacu pada ketentuan pasal 10 Undang-Undang Kepailitan. Dalam prakteknya, pemohon pailit biasanya memang meminta kepada Pengadilan Niaga terhadap kekayaan Termohon pailit diletakkan sita jaminan. Namun dalam prakteknya pula, permintaan sita jaminan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Karena, pertama, acara pemeriksaan di Pengadilan Niaga berlangsung dengan acara sumir (sederhana) dan waktunya singkat (dalam 30 hari harus sudah ada putusan). Tanpa prosedur sita jaminan saja, proses persidangan dan pemeriksaan perkara kepailitan sudah sangat “mepet” timeline-nya. Kedua, hakekat dari pernyataan pailit sendiri adalah sitaan umum terhadap harta benda debitur yang ada sekarang maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanpa meminta sita jaminan pun, apabila debitur dinyatakan pailit maka otomatis pernyataan tersebut merupakan sitaan umum dan tidak perlu lagi meminta sita jaminan ke pengadilan negeri. Jadi permohonan pailit yang disertai permintaan sita jaminan selama ini tidak pernah ada yang dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga karena mereka beranggapan seandainya nanti debitur dinyatakan pailit, maka otomatis seluruh harta benda debitur menjadi sitaan umum yang digunakan untuk melunasi utangnya kepada kreditur-krediturnya. Permohonan sita jaminan dalam proses kepailitan adalah sebelum putusan pailit di jatuhkan. Ratio legis (logika ketentuan) dari norma ini adalah agar dalam proses kepailitan sebelum putusan dijatuhkan harta yang dimiliki debitor pailit tidak dialihkan atau ditransaksikan, sehingga kemungkinan jika dialihkan atau ditransaksikan bisa merugikan kreditor nantinya. Memang ada instrumen hukum yang namanya actio pauliana dalam kepailitan, yakni suatu gugatan pembatalan atas transaksi yang dilakukan oleh debitor pailit yg merugikan kreditor. tapi instrumen actio pauliana ini jauh lebih rumit dan dalam praktik belum pernah ada gugatan actio pauliana yang dikabulkan hakim. Kalau di Amerika Serikat, disana berlaku ketentuan "automatic stay", yakni begitu debitor diajukan pailit maka secara otomatis semua harta debitor dalam keadaan stay (diam) tidak boleh ditransaksikan apapun. Jadi di Amerika tidak diperlukan adanya sita jaminan tersebut. Mengapa Undang-Undang kepailitan kita tidak memberlakukan juga ketentuan ”automatic stay” tersebut seperti di Amerika. Undang-Undang Kepailitan juga harus memberi kepastian tentang perlindungan terhadap para kreditor. Dengan pemberlakuan automatic stay tersebut sudah pasti debitor tidak dapat mengalihkan harta kekayaanya.


Itulah kiranya yang dapat saya sampaikan berkaitan dengan hukum kepailitan di Indonesia. Pengaturan tentang hukum kepailitan yang lebih baik dan menjamin kepastian hukum serta melindung kepentingan kreditor ialah sesuatu yang menjadi tujuan dari hukum kepailitan di negara mana saja. Semoga dengan melihat kelemahan di atas segera diadakan pembaharuan dalam hukum kepailitan di negara kita.



*4_ Ctra

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }