Anton Praptono, S.H
editor : Kelik Pramudya, S.H
a. Istilah konstitusi
Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, hanya saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal ini terbukti paham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Perbedaan di antara dua istilah tersebut yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada.
b. Pergertian konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar. Undang Undang Dasar (Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari alinea pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Undang undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum tertulis yang lazim disebut Undang-Undang dasar, dan dapat pula tidak tertulis (Jimly Asshiddiqie, 2006:35). Sedangkan C.S.T Kansil mengartikan UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada Peraturan Perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu (Indonesia) (C.S.T Kansil, 1984: 59).
UUD dari suatu negara hanya merupakan sebagian saja dari hukum dasar negara itu bukanlah satu-satunya sumber hukum. UUD ialah hukum dasar tertulis, sedang disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yang yng tidak tertulis yang merupakan sumber hukum lainnya, misalnya: kebiasaan-kebiasaan, trakat-trakat, dan lain sebagainya.
Jadi dari pengertian-pengertian tersebut Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian dari konstitusi atau konstitusi dalam pengertian yang sempit. Dan sesuai dengan sistem konstitusi (konstitusi = UUD dalam arti luas termasuk UUD tidak tertulis) seperti dalam penjelasan otentik (resmi) dari UUD 1945, maka UUD 1945 adalah bentuk Peraturan Perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua Peraturan Perundangan yang berada dibawahnya, yaitu undang-undang/perpu, peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan lain dibawahnya. Dan sesuai pula dengan prinsip (asas) negara hukum, maka setiap Peraturan Perundangan harus bersumber dengan tegas pada Peraturan Perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Sifat konstitusi
Dalam teori ilmu hukum, konstitusi dikenal memiliki sifat yang flexible (luwes) atau rigid (kaku), tertulis dan tidak tertulis.
1. Flexible dan rigid
Sifat konstitusi yang flexible atau rigid ditentukan dengan dua kriteria, yaitu:
a) Dari cara merubah/ perubahan konstitusi.
Suatu konstitusi dikatakan bersifat flexible (luwes), apabila prosedur atau cara perubahannya tidak diperlukan cara-cara yang istimewa, yakni cukup dilakukan badan pembuat Undang-Undang biasa. Sebaliknya suatu konstitusi dikatakan rigid (kaku) perubahannya mensyaratkan dengan cara yang istimewa, misalnya dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum.
b) Apakah konstitusi itu mudah ataukah sulit untuk mengikuti perkembangan zaman.
Konstitusi yang bersifat flexible adalah konstitusi yang dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, dan sebaliknya konstitusi yang rigid adalah konstitusi yang sulit untuk mengikuti perkemangan zaman.
2. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam satu atau beberapa naskah, sedangkan yang disebut dengan konstitusi tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu yang mengatur suatu pemerintahan, akan tetapi dalam banyak hal diatur dalam Konvensi (kebiasaan) atau Undang-Undang biasa, yang tingkatnya lebih rendah dari Konstitusi itu sendiri. Satu-satunya negara yang mempunyai Konstitusi yang tidak tertulis hanyalah Inggris, namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang biasa, seperti misalnya Bill Of Right.
d. Perubahan konstitusi
Orang sepakat bahwa bagaimana pun sempurnanya suatu konstitusi, namun dalam kenyataannya ia akan tetap tertinggal dari perkembangan masyarakat. Karena itu dapat dimengerti, bagaimana pun juga setiap konstitusi itu pada suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan konstitusi itu dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah, dirasakan perlunya suatu pasal dari setiap konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan, seperti halnya dalam UUD 1945 yang diatur dalam pasal 37.
Perubahan itu dirasa perlu, manakala salah satu atau beberapa pasalnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang sudah merasakan tidak mampu lagi memberikan jaminan kepastian hukum. Tetapi bicara kapan seharusnya suatu konstitusi itu perlu dirubah, maka persoalannya lebih terletak dalam bidang politik ketimbang hukum tata negara. Karena itu betapapun sukarnya suatu konstitusi untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa menghendaki, maka perubahan itu dapat diwujudkan. Sebaliknya batapapun mudahnya suatu konstitusi itu untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki perubahan, maka konstitusi itu tidak akan pernah dirubah.
Untuk merubah suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu tergantung pada bunyi pasal perubahan dalam konstitusi/Undang-Undang Dasar tersebut. Sesuai dengan pembagian konstitusi flexible dan rigid, maka sudah tentu bagi konstitusi yang tergolong flexible jauh lebih mudah untuk dirubahnya, sehingga K.C. Wheare mengatakan perubahan perubahnnya cukup dengan “the ordinary legislative process” seperti di New Zealand. Sedangkan untuk konstitusi yang tergolong rigid, menurut soemantri yang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
2. oleh rakyat melalui suatu referendum.
3. oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat.
4. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Begitu juga dengan Ismail Suny mengemukakan dalam sebuah karangannya, bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
1. perubahan resmi.
2. penafsiran hakim.
3. kebiasaan ketatanegaraan/ konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada, meskipun sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati atau tidak diikuti. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan berlaku kembali, manakala kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.
editor : Kelik Pramudya, S.H
a. Istilah konstitusi
Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, hanya saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal ini terbukti paham Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang biasa. Perbedaan di antara dua istilah tersebut yaitu bahwa politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi kekuasaan itu tidak ada.
b. Pergertian konstitusi
Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar. Undang Undang Dasar (Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari alinea pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Undang undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”.
Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum tertulis yang lazim disebut Undang-Undang dasar, dan dapat pula tidak tertulis (Jimly Asshiddiqie, 2006:35). Sedangkan C.S.T Kansil mengartikan UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah satu sumber dari pada Peraturan Perundangan lainnya yang kemudian dikeluarkan oleh negara itu (Indonesia) (C.S.T Kansil, 1984: 59).
UUD dari suatu negara hanya merupakan sebagian saja dari hukum dasar negara itu bukanlah satu-satunya sumber hukum. UUD ialah hukum dasar tertulis, sedang disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yang yng tidak tertulis yang merupakan sumber hukum lainnya, misalnya: kebiasaan-kebiasaan, trakat-trakat, dan lain sebagainya.
Jadi dari pengertian-pengertian tersebut Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bagian dari konstitusi atau konstitusi dalam pengertian yang sempit. Dan sesuai dengan sistem konstitusi (konstitusi = UUD dalam arti luas termasuk UUD tidak tertulis) seperti dalam penjelasan otentik (resmi) dari UUD 1945, maka UUD 1945 adalah bentuk Peraturan Perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua Peraturan Perundangan yang berada dibawahnya, yaitu undang-undang/perpu, peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan peraturan lain dibawahnya. Dan sesuai pula dengan prinsip (asas) negara hukum, maka setiap Peraturan Perundangan harus bersumber dengan tegas pada Peraturan Perundangan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Sifat konstitusi
Dalam teori ilmu hukum, konstitusi dikenal memiliki sifat yang flexible (luwes) atau rigid (kaku), tertulis dan tidak tertulis.
1. Flexible dan rigid
Sifat konstitusi yang flexible atau rigid ditentukan dengan dua kriteria, yaitu:
a) Dari cara merubah/ perubahan konstitusi.
Suatu konstitusi dikatakan bersifat flexible (luwes), apabila prosedur atau cara perubahannya tidak diperlukan cara-cara yang istimewa, yakni cukup dilakukan badan pembuat Undang-Undang biasa. Sebaliknya suatu konstitusi dikatakan rigid (kaku) perubahannya mensyaratkan dengan cara yang istimewa, misalnya dilakukan oleh rakyat melalui suatu referendum.
b) Apakah konstitusi itu mudah ataukah sulit untuk mengikuti perkembangan zaman.
Konstitusi yang bersifat flexible adalah konstitusi yang dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, dan sebaliknya konstitusi yang rigid adalah konstitusi yang sulit untuk mengikuti perkemangan zaman.
2. Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam satu atau beberapa naskah, sedangkan yang disebut dengan konstitusi tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis dalam suatu naskah tertentu yang mengatur suatu pemerintahan, akan tetapi dalam banyak hal diatur dalam Konvensi (kebiasaan) atau Undang-Undang biasa, yang tingkatnya lebih rendah dari Konstitusi itu sendiri. Satu-satunya negara yang mempunyai Konstitusi yang tidak tertulis hanyalah Inggris, namun prinsip-prinsip yang dicantumkan dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang biasa, seperti misalnya Bill Of Right.
d. Perubahan konstitusi
Orang sepakat bahwa bagaimana pun sempurnanya suatu konstitusi, namun dalam kenyataannya ia akan tetap tertinggal dari perkembangan masyarakat. Karena itu dapat dimengerti, bagaimana pun juga setiap konstitusi itu pada suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan konstitusi itu dengan perkembangan masyarakat. Dari sudut inilah, dirasakan perlunya suatu pasal dari setiap konstitusi yang mengatur tentang prosedur perubahan, seperti halnya dalam UUD 1945 yang diatur dalam pasal 37.
Perubahan itu dirasa perlu, manakala salah satu atau beberapa pasalnya tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat, orang sudah merasakan tidak mampu lagi memberikan jaminan kepastian hukum. Tetapi bicara kapan seharusnya suatu konstitusi itu perlu dirubah, maka persoalannya lebih terletak dalam bidang politik ketimbang hukum tata negara. Karena itu betapapun sukarnya suatu konstitusi untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa menghendaki, maka perubahan itu dapat diwujudkan. Sebaliknya batapapun mudahnya suatu konstitusi itu untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki perubahan, maka konstitusi itu tidak akan pernah dirubah.
Untuk merubah suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu tergantung pada bunyi pasal perubahan dalam konstitusi/Undang-Undang Dasar tersebut. Sesuai dengan pembagian konstitusi flexible dan rigid, maka sudah tentu bagi konstitusi yang tergolong flexible jauh lebih mudah untuk dirubahnya, sehingga K.C. Wheare mengatakan perubahan perubahnnya cukup dengan “the ordinary legislative process” seperti di New Zealand. Sedangkan untuk konstitusi yang tergolong rigid, menurut soemantri yang berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka perubahannya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan tertentu.
2. oleh rakyat melalui suatu referendum.
3. oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat.
4. dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Begitu juga dengan Ismail Suny mengemukakan dalam sebuah karangannya, bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu:
1. perubahan resmi.
2. penafsiran hakim.
3. kebiasaan ketatanegaraan/ konvensi.
Dalam praktek ketatanegaraan kebiasaan ketatanegaraan sering berfungsi merubah ketentuan yang telah ada, meskipun sebenarnya kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati atau tidak diikuti. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan berlaku kembali, manakala kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment