TINDAK PIDANA BANK

Bookmark and Share
A. Pengertian Istilah Tindak Pidana Bank
Pengertian istilah tindak pidana di bidang perbankan ialah tindak pidana yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainya. Sedangkan yang dimaksud dengan istilah tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang hanya diatur dalam undang-undang perbankan, yang sifatnya interen. Beberapa kalangan berpendapat bahwa pengertian tindak pidana perbankan dan tindak pidana di bidang perbankan tidak perlu dibedakan mengingat tindak pidana perbankan merupakan kejahatan atau delik umum yang dilakukan di dalam lembaga perbankan. Menurut Moch. Anwar dalam bukunya yang berjudul ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan” juga membedakan pengertian tindak pidana perbankan dengan tindak pidana di bidang perbankan. Perbedaan tersebut didasarkan pada perlakuan peraturan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Selanjutnya dikatakan bahwa tindak pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Tidak Pidana di bidang perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan dalam menjalankan usaha pokok bank, terhadap perbuatan mana dapat diperlakukan peraturan-peraturan pidana di luar Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992, seperti KUHP, Peraturan Hukum Pidana Khusus, Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, Undang-Undang Nomor 11 PNPS tahun 1963, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa.
Dari pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan terdapat dua pengertian yaitu :
1. Tindak pidana perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
2. Tindak Pidana di bidang Perbankan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan , KUHP dan Peraturan Hukum Pidana Khusus seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 11 PNPS tahun 1963 tentang Subversi dan Undang-Undang Nomor 7 Drt 1995 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Dalam hal kejahatan di bidang lalu lintas pembayaran giral dan peredaran uang, maka untuk pemalsuan warkat bank dapat digunakan Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat) atau dalam tindak pidana di bidang perbankan yang bersifat penipuan dapat digunakan Pasal 378 KUHP. Ketentuan-ketentuan ini perlu dibedakan dalam UU Pokok Bank karena yang terakhir ini secara khusus memuat larangan-larangan dalam usaha perbankan ,yaitu yang menyangkut izin usaha dan ketentuan tentang keuangan nasabah. Menurut Prof. Sudarto menyebutkan Undang-Undang Pokok Perbankan dapat digolongkan dalam peraturan peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi yang memuat sanksi-sanksi pidana. Peraturan perundang-undangan ini harus dibedakan dengan Undang-Undang yang menurut hukum pidana khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Ketiga undang-undang ini dapat dikatakan sebagai undang-undang tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana subversi. Oleh karena itu, Undang-undang tentang Pokok-Pokok Perbankan dapat juga dikatakan sebagai undang-undang tindak pidana di bidang perbankan.
Hukum Pidana harus memberikan perlindungan terhadap korban perbuatan tersebut. Meskipun ketentuan-ketentuan hukum pidana dalam hal ini masih terbatas. Tindak Pidana di bidang perbankan adalah segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengankegiatan dalam menjalankan usaha bank,baik bank sebagai sasaran maupun sarana. Tindak Pidana Perbankan merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh bank. Tindak Pidana perbankan terdiri atas perbuatan-perbuatan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 dimana para pelanggar dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang itu. Istilah tindak pidana perbankan menunjuk bahwa suatu tindak pidana yang dilakukan dalam menjalankan fungsi dan usahanya sebagai bank berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992. Tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana korporasi karena lebih menekankan pada suatu tinjauan kriminologis, dengan tujuan dapat merangsang pemikiran dalam mengembangkan konsep-konsep tindak pidana korporasi.
Walaupun hal ini tidak digolongkan sebagai tindak pidana di bidang oerbankan tetapi dapat dirasakan sebagai perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi perekonomian masyarakat. Dalam praktik sehari-hari terdapt banyak penyimpangan yang dilakukan oleh bank dalam bentuk lain, yang secara kronologis dapat dikategorikan dalam pengertian criminal behaviour dalam konsep white collar crime.
Menurut Riyanto, S.H menyebutkan antara lain :
a. Window dressing, yaitu penyampaian laporan kepada Bank Indonesia secara periodik dengan data yang kurang benar, sehingga bank pelapor terlihat keadaan keuangan/assetnya baik. Hal ini merupakan usaha bank agar menjelang periode laporan jumlah assetnya meningkat, dengan maksud agar penampilan bank menjadi lebih baik dan lebih bonafide di mata masyarakat.
b. Menetapkan tingkat bunga yang berlebihan yang bertujuan menarik dana masyarakat sebanyak mungkin.
c. memberikan kemudahan dalam pemberian kredit dengan tidak disertai pertimbangan atau penilaian yang wajar dalam dunia bisnis perbankan.
Perbuatan tersebut di atas pada dasarnya dapat merupakan penyimpangan kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank.

B. Perubahan Bentuk Tindak Pidana Bank
Dengan mengingat fungsi lembaga perbankan sebagai pusat lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, maka besar kemungkinan di dalam lembaga tersebut terjadi perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan dan hambatan terhadap keamanan dan dan kelancaran lalu lintas pembayaran giral dan peredaran uang serta perkreditan yang akan mengakibatkan gangguan dan hambatan dalam pelaksanaan nasional. Dengan demikian kompleksnya fungsi dan tugas perbankan dewasa ini sehingga membutuhkan dukungan peralatan elektronik dan telekomunikasi yang semakin canggih.
Kejahatan perbankan baik secara kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan tendensi yang meningkat, oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk menangkal terjadinya kejahatan di bidang perbankan. Persperktif tindak pidana di bidang perbankan hingga saat ini modus operandinya mengalami perubahan. Hal ini sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipengaruhi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan kebijaksanaan pemerintah dalam pengaturan kegiatan bank. Tindak Pidana yang menggunakan kartu kredit dapat pula terjadi dengan cara memalsukan kartu kredit dengan bantuan pejabat bank menyerahkan kartu kredit hasil curian dan memalsukan tanda tangan pemegang sah kartu kredit tersebut. Sedangkan pelaku tindak pidana di bidang perbankan yang menggunakan cara-cara yang lain secara pasti belum dapat diungkapkan atau ditemukan, namun dalam tindak pidana tersebut palaku berusaha mempengaruhi oknum atau pejabat bank untuk bersedia membantu dalam rangka melakukan tindak pidananya. Penyidikan kejahatan perbankan cukup meyulitkan karena selain diperlukan tambahan kemampuan dan pengetahuan dari petugas penyidik terutama yang berkaitan dengan penggunaan peralatan elektronik yang canggih juga diperlukan penyempurnaan hukum dalam ketentuan pidana yang berlaku. Faktor-faktor yang dipandang sebagai conditio sine quanon terhadap timbulnya tindak pidana di bidang perbankan adalah faktor yuridis dan faktor non yuridis. Faktor yuridis antara lain berupa pranata atau perangkat hukum yang ada, dipandang belum mampu untuk mengantisipasi aparat penegak hukum dalam menghadapi fenomena tindak pidana di bidang perbankan. Hal tersebut disebabkan adanya ketidaksamaan persepsi di antara aparat penegak hukum dalam menerapkan ketentuan KUHP dan UU di luar KUHP, sehingga dapat menjadi penyebab terhambatnya usaha penaggulangan tindak pidana perbankan. Sedang faktor non yuridis lebih mencerminkan faktor yang bersifat sosiokultural baik di kalangan penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya.

C. Modus Operandi Tindak Pidana Bank
Dalam tindak pidana di bidang perbankan, yang menjadi modus operandinya dapat dikemukakan sebagai beriku :
a. Tindak Pidana Pemalsuan Cek/bilyet giro
b. Tindak Pidana Pemalsuan Warkat Transfer
Tindak pidana ini dilakukan dengan cara antara lain :
1. Transfer dengan teleks
2. Transfer dengan telepon
3. Tindak pidana Penipuan dengan L/C
- Penipuan di bidang impor
- Penipuan di bidang ekspor

D. Pelaku Tindak Pidana Bank
Pada umumnya pelaku tindak pidana di bidang perbankan melibatkan :
a. Anggota masyarakat tertentu yang telah berulang kali melakukan tindak pidana di bidang perbankan.
b. Mantan pejabat/karyawan bank yang telah diberhentikan dengan tidak hormat
c. Oknum pejabat/karyawan bank yang telah mengalami kejenuhan atau frustasi atau bekerja sama dengan pihak di luar bank.
Pada umumnya dalam pelaksanaan tindak pidana yang terorganisir ini terdapat pembagian tugas di antara mereka yaitu sebagai koordinator, sponsor, ahli pemalsu warkat, ahli pemalsu tanda tangan, ahli pencukil nomor seri, ahli pemalsu identitas, nasabah bank baik dalam maupun di luar negeri. Tindak pidana yang telah terorganisir rapi ini pada umumnya menggunakan cara ”cut out” yaitu di antara para pelaku tidak saling kenal. Pada kenyataanya bentuk perbuatan seperti ini sering terjadi terhadap orang-orang yang justru sama sekali tidak mengenal mekanisme dan akibat hukum surat kuasa.

E. Keterlibatan Orang Dalam Bank
Dengan kemunculan bank-bank baru maka terjadilah persaingan yang ketat antar bank di dalam menjaring dan menyalurkanya kepada masyarakat. Dalam persaingan ini bank-bank menawarkan produk baru dengan pelayanan serta prosedur yang mudah dan cepat, sehingga tanpa disadari kurang diperhatikan aspek keamananya. Hal-hal yang demikian segera dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk melakukan tindak pidana di bidang perbankan Disamping itu, mengingat pula kesadaran hukum masyarakat masih sangat rendah. Terjadinya tindak pidana di bidang perbankan, baik bank sebagai sarana maupun bank sebagai sasaran, pada umumnya disebabkan oleh faktor-faktor :
a. manusianya
b. Lemahnya internal control
c. Lemahnya sistem dan prosedur tata kerja
d. Lemahnya penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana.
Dalam beberapa penyidikan tindak pidana di bidang perbankan, ditemui adanya kelemahan-kelemahan pada suatu bank sehingga tindak pidana itu terjadi.
Tindak pidana di bidang perbankan pada umumnya dilakukan oleh pihak luar bekerja sama dengan orang dalam/oknum bank yang bersangkutan. Sedang mengenai bidang usaha yang paling rawan menjadi sasaran atau sarana tindak pidana di bidang perbankan yaitu :
a. Kegiatan di bidang jasa, seperti transfer, rekening, giro, pinjaman, simpanan
b. Transaksi valuta asing dan off balance sheet.
Untuk mengatasi kerawanan-kerawanan tersebut perlu adanya korrdinasi antar instansi terkait, agar terdapat keseragaman gerak dan langkah dengan tetap memahami posisi dan batas wewenang masing-masing instansi. Sanksi pidana pada dasarnya diterapkan kepada oknum pengurus bank yang bersangkutan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. Di samping itu Bank Indonesia menerapkan pula sanksi terhadap bank sebagai lembaga, yaitu dengan menurunkan tingkat kesehatan bank.