Beberapa bulan yang lalu saya sempat dibuat terkejut oleh salah seorang penduduk asli di suatu daerah Kabupaten Sukoharjo. Dia adalah seorang bapak-bapak tua yang mungkin sudah kepala enam. Dia sangat begitu percaya diri tentang kekuasaannya di daerah tersebut. Dengan omongan yang sangat percaya diri ia mengklaim bahwa di daerah kekuasaannya itulah sebuah situs kerajaan Mlowopati yang kita kenal dengan kerajaan Angling Darma. Di situ pula ia membangun sebuah Masjid yang oleh penduduk sekitar dikenal dengan sebutan Masjid Mlowopati. Aneh memang, bukankah Angling Darma yang kita dengar selama ini hanya ada di dalam dongeng. Masalahnya tidak ada sumber sejarah yang dapat menerangkan keberadaannya, apalagi di daerah ini. Cerita Angling Darma memang sudah lama saya dengar bahkan saya begitu tertarik membaca ataupun menonton filmnya. Pada dasarnya cerita Angling Darma menceritakan perjalanan hidup seorang raja di tanah Jawa bernama Angling Darma. Angling Darma merupakan seorang raja dari kerajaan Mlowopati. Raja Angling Darma dan kerajaannya yang makmur serta sifat-sifatnya yang adil dan belas-asih kepada rakyatnya. Beristerikan Dewi Setyowati puteri Begawan Maniksutra (gurunya). Sampai pada suatu ketika terjadi hubungan Raja Angling Darma dengan permaisurinya kurang serasi. Raja pun pergi berburu untuk menghibur hati. sepulang berburu Angling Darma melihat dua ekor ular, Naga Gini dan ular Tampar bersenggama. Karena tahu bahwa Naga Gini adalah isteri sahabatnya, Naga Pertala, Angling Darma membunuh dengan panah Sang Ular Tampar; malang, panah itu menyerempet ekor Naga Gini.
Kisah ini menceritakan pula sikap orang muda yang emosional apabila melihat dua pasang burung jalak (jelmaan Sang Hyang Batara Guru dan Dewi Uma, isterinya) berasyik-masyuk di atas pohon persis di atas kepala Sang Raja. Kedua-dua ekor burung itu pun dipanahnya, matilah si burung betina. Burung jantan pun mengucapkan kutuknya: Angling Darma akan berpisah dengan isterinya ketika keduanya sedang bercinta-cintaan. Dewi Setyowati keluar menjemput kedatangan raja yang pulang dari berburu. Raja dan permaisuri memasuki peraduan, tetapi raja bermuka murung memikirkan hukuman yang akan dijatuhkan oleh Naga Pertala. Dewi Setyowati salah sangka terhadap sikap sang raja. Sang Dewi mengira Raja tidak sudi dengan dirinya. Untuk mencairkan suasana tersebut, diceritakanlah peristiwa terbunuhnya ular Tampar itu. Naga Gini memfitnah Angling Darma kepada lakinya bahwa Angling Darma sudah mencoba memperkosa dirinya. Tentu saja Sang Naga Pertala marah dan ingin menghancurkan Angling Darma. Ketika Sang Naga menyamar masuk menjadi udara, ia mendengar penuturan Angling Darma dengan sang permaisuri. Karena perbuatan Angling Darma dianggap menyelamatkan Naga Pertala dari malu, Sang Raja Mlowopati dihadiahi mukjizat seperti Nabi Sulaiman, yaitu mampu memahami bahasa semua binatang, dengan syarat tidak boleh diajarkan kepada siapapun. Ketika Raja dan Ratu beradu, terdengarlah oleh Angling Darma percakapan dua ekor cicak yang mengajak pasangannya berbuat seperti Raja dan Ratu. Mendengar hal tersebut, Angling Darma tertawa. Setyowati tersinggung hatinya, dianggapnya Sang Raja mentertawakan dirinya yang tidak mampu melayani Sang Raja. Untuk mencairkan suasana, terpaksalah Sang Raja menceritakan ilmu dari sahabatnya, Naga Pertala. Akan tetapi di sinilah awal bencana itu . Dewi Setyowati meminta diajari ilmu memahami bahasa binatang itu, jika tidak, ia akan membunuh diri dengan cara terjun ke dalam api. Untuk menunjukkan cintanya, Raja ingin bunuh diri bersama. Ketika raja dan ratu telah siap di anjungan, api mulai marak, di bawah panggung ada dua ekor domba bertengkar: si jantan dipaksa oleh si betina untuk mengambilkan daun kelapa sebagai pengubat ‘nyidam’ hamilnya. Domba jantan menolak. Ketika domba betina mengancam hendak bunuh diri, bahkan si jantan menyuruh betinanya untuk melakukannya. Setelah domba betina mati dalam api, domba jantan pun lenyap karena keduanya adalah dewa yang menyamar. Mendengar domba jantan tidak mau ikut musnah dalam api, berubahlah pikiran sang Raja: Sang Isteri dibiarkan melompat sendiri. Dan Sang Raja pun sangat berduka dan berkata: Saya tidak akan kawin lagi jika tidak ada wanita yang menyamai Dewi Setyowati.
Janji Angling Darma tersebut didengar oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih. Kedua-duanya lalu menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Ketika melihat gadis cantik dekatnya, runtuhlah iman Sang Raja yang baru kehilangan permaisurinya itu. Seketika itu, Dewi Uma menghukum Angling Darma: ia harus meninggalkan istananya, dan kerajaannya akan tampak seperti hutan sehingga hukuman selesai. Raja pun memulai pengembaraannya yang pertama di kerajaan Mloyopati. Angling Darma diberitahu oleh seorang nenek bahwa di sini tinggal tiga orang puteri raksasa yang cantik. Angling Darma ingin tahu keadaan gadis tersebut. Darah mudanya mendorongnya untuk memperisteri tiga orang gadis yang ternyata pemakan daging manusia. Ketika rahasia ketiga-tiga gadis itu terbongkar, mereka marah dan mengutuk Angling Darma menjadi burung Belibis. Mendapatkan kutuk yang kedua kali, keyakinan diri sang raja mulai menurun. Sambil terbang, dikatakannya bahwa ia lebih baik mati. Sampailah burung Belibis ke desa Wonosari, Bojonegoro, tempat tinggal Demang Klungsur dan Geduk pembantunya. Terbetik dalam hati burung belibis untuk mengabdi kepada Geduk yang pada waktu itu sedang memasang jerat untuk menangkap burung. Secara sengaja kaki belibis dimasukkan ke jerat tersebut. Belibis dibawa kepada Ki Demang. Burung belibis menasihati Ki Demang untuk berhenti menjerat burung, meningkatkan pertanian, dan belajar menjadi pedagang telur burung belibis. Ki Demang menjadi kaya-raya dan kampungnya mulai dikenal orang.
Suatu hari Raja Darmowiseso, ayah Dewi Srenggono, mendapatkan ujian berupa dua orang rakyatnya berebut isteri bernama Bermani. Kedua-duanya mengaku asli bernama Bermana. Padahal salah satunya adalah palsu. Belibis mendengar kabar tentang persoalan raja Darmowiseso dari burung gagak. Belibis membujuk Ki Demang untuk mengambil bagian dalam sayembara mengungkap suami kembar tersebut. Belibis memberitahu suatu siasat kepada Ki Demang: Siapa yang berhasil masuk ke dalam kendi ialah suami asli Bermani. Dengan siasat itu, tertangkaplah suami palsu. Sebab tidak mungkin manusia biasa bisa masuk ke dalam kendi sekecil itu. Ki Demang diangkat menjadi Patih Jaksanegara. Burung belibis menggoda Dewi Srenggonowati yang sedang duduk di taman. Dewi memerintahkan para pengiringnya menangkap belibis, tetapi tidak berhasil. Pulang ke istana sambil menangis karena menginginkan burung belibis. Patih Jaksanegara disuruh mencari belibis tersebut. Ki Patih berkata kepada raja bahwa dirinya mempunyai burung belibis putih. Burung Belibis menjadi kesayangan Dewi Srenggonowati. Burung Belibis, Dewi Srenggonowati, dan para emban bersenang-senang sambil bermain tebak-tebakan (teka-teki) atau melantunkan tembang. Tembang yang dilantunkan berisi kehebatan, kegagahan, kebagusan rupa, dan kesaktian Angling Darma yang diaku sebagai tuan/ rajanya Si Burung. Dewi Srenggonowati terharu mendengar tembang Si Burung Belibis. Ketika makan bersama belibis, Dewi Srenggono bertanya mengapa tuannya dulu meninggalkan keratonnya. Belibis menjawab bahwa rajanya ditinggal mati bunuh diri oleh isterinya. Kali ini, Sang Burung memberitahu Sang Dewi tentang syarat-syarat memilih suami. Pada waktu Sang Dewi tidur, belibis menciuminya. Burung Belibis minta kepada Dewi untuk mencabut jambul (bulu di kepala). Tahulah Sang Putri bahwa burung belibis adalah Sang Angling Darma sendiri. Kemudian, mereka berdua bersandiwara, siang menjadi belibis malam tidur berdua sebagai manusia biasa.
Sampai pada suatu ketika Sang Dewi Srenggonowati hamil. Hal ini tentu membuat Raja dan ratu susah hati. Sang Raja mengadakan sayembara: siapa yang mampu menangkap maling (pencuri) sakti boleh mempersunting puteri, diangkat sebagai raja muda, dan akan mendapat kekuasaan separuh negara. Di sisi lain Batik Madrim, patih Mlowopati, berangkat mencari rajanya. Sebelum berangkat ia menunjukkan kesaktiannya dengan mengatakan, “Jika pohon siwalan ini boleh saya cabut, Gusti Pangeran Angling Darma” masih hidup. Ternyata ia dapat mencabut pohon tersebut. Patih Madrim menugaskan Jajaningrat dan Wijanarko untuk menjaga kerajaan sewaktu dia mencari Raja Angling Darma. Madrim menyamar menjadi Pendeta Wasi Batik Madrim. Batik Madrim berjumpa dengan Patih Bojonegoro yang mencari orang sakti yang dapat menangkap maling sakti yang bersembunyi di negara Bojonegoro. Batik Madrim menyanggupi bahwa dirinya sanggup menangkap maling sakti tersebut. Batik Madrim tahu bahwa maling yang dicurigai itu bersembunyi di tempat peraduan sang puteri. Batik Madrim minta agar puteri disuruh menghadap sang raja dengan Burung Belibisnya sekali. Batik Madrim meminta Dewi menyerahkan Burung belibis karena di situlah maling itu sembunyi, tetapi Roh Angling Darma berpindah dari satu tempat ke tempat lain, termasuk antaranya ke dalam cincin yang dipakai oleh Dewi Srenggono. Maharaja Angling Darma berubah diri menjadi besar sambil membujuk Batik Madrim untuk masuk ke dalam api. Mengenali suara rajanya. Madrim kemudian menyembah dan mengaku kalah. Sambil menangis, Madrim meminta agar rajanya bersedia menghadap Raja Darmawiseso, ayahanda Dewi Srenggonowati, agar dibenarkan mempersunting puterinya. Raja Darmawiseso justru sangat gembira karena tahu bahwa menantunya adalah raja termasyhur.
Setelah perkawinan selesai, Angling Darma berkata kepada ayah mertuanya bahwa ia tidak bersedia menjadi raja. Kemudian ia berpamitan untuk meneruskan perjalanan, karena waktu hukuman/kutukan belum selesai. Batik Madrim diperintahkan kembali ke Mlowopati, tetapi ia ingin menemani Sang Raja. Dalam perjalanan, Angling Darma menyembuhkan orang tuli dan lumpuh. Kemudian, Raja dan Madrim menemukan pengumuman berisi sayembara mengobati puteri raja Basunanda, raja Kertanegara, yang bernama Trusilowati yang sakit bisu. Barang siapa dapat mengobatinya, boleh memperisterinya. Menuju Kerajaan Kertanegara. Di sana Angling Darma dan Madrim menyaksikan dukun-dukun mengobati Trusilowati. Angling Darma, menyamar menjadi pendeta, meminta izin kepada raja Basunanda untuk mengobati Trusilawati. Kata Basunanda, jika Trusilowati berhasil berbicara tiga kali, berarti ia sudah sembuh. Angling Darma mengatakan bahwa roh Trusilowati dibawa oleh Raja Raksana Pancadnyono dari negara Simbarmanyuro, karena dalu lamarannya sempat ditolak. Roh itulah yang kemudian dikembalikan oleh Angling Darma. Untuk mengujinya, Batik Madrim memberi teka-teki patung. Angling Darma menunjukkan kesaktiannya dengan cara menyuruh tempat tembakau dan lampu melanjutkan teka-teki. Telah tiga kali puteri Trusilo menjawab teka teki dengan benar. Berarti ia telah betul-betul sembuh dari penyakit bisunya. Angling Darma dikawinkan dengan Sang Puteri. Raja-raja yang pernah mencoba mengobati Sang Puteri amat marah mendengar Dewi Trusilo sudah dikawinkan. Mereka hendak menyerang Kertanegara, tetapi Angling Darma dan Madrim membela Kerajaan Kertanegara. Angling Darma meminta diri hendak meneruskan perjalanan. Trusilo memaksanya untuk ikut. Di perjalanan, Batik Madrim iri hati dengan keberhasilan Angling Darma mempersunting dua orang puteri cantik. Kata hatinya, semestinya dibagi satu-satu. Hatinya yang dengki menyusun siasat. Ketika Trusilo haus dan ingin meminta air, Madrim menyuruh Angling Darma memasuki badan burung merak untuk mengambil buah kelapa muda. Ketika roh Angling masuk ke badan burung merak, jasad Angling dimasuki roh Madrim. Madrim dengan tubuh Angling menggoda Trusilo, tetapi gagal. Ia lalu berbalik arah menuju Bojonegoro hendak memperdayakan Dewi Srenggono. Dewi Srenggono menolak untuk bertemu karena taat pesan suaminya, bahwa ia akan kembali jika ada kambing mengalahkan gajah. Kelakuan Madrim sungguh aneh. Madrim bertubuh Angling suka bermabuk-mabukan minum arak. Melihat itu semua Merak putih terbang menuju taman Bojonegoro menjumpai Dewi Srenggono isterinya yang sedang tertidur di pinggir taman. Dewi Srenggono meluapkan rindunya kepada suaminya. Juga dituturkannya keadaan puteranya yang sudah mulai besar. Disampaikannya juga perilaku Madrim dengan rupa Angling bahwa ia suka berjudi dan mengadu kambing dengan gajah.
Burung Merak dan Dewi Srenggono mengatur strategi. Madrim bertubuh Angling disuruh datang ke tempat peraduan dengan membawa kambingnya. Di situ, Madrim diberi minum arak. Setelah setengah mabuk, Dewi Srenggono minta agar kambing mengambilkan bunga gading. Tanpa berfikir panjang, roh Madrim meninggalkan jasad Angling dan masuk ke tubuh kambing. Roh Angling Darma pun segera menyusup ke tubuhnya sendiri. Ketika tahu bahwa dirinya tertipu, kambing pun mengamuk menyerang Angling Darma asli. Namun, raja mesti menang dari patihnya. Madrim pun meminta ampun. Angling Darma mengampuni kesalahan patihnya, dan menyuruhnya untuk segera mencari badan wadahnya di dalam gua di tengah hutan. Sejak itu, selesailah sudah hukuman dewa kepada Angling Darma. Kerajaan Bojonegoro selanjutnya diserahkan kepada Angling Darma oleh raja Darmowiseso.
Setelah Putera Angling dengan Dewi Srenggono yang bernama Anglingkusumo telah beranjak dewasa, ia dibawa ke pertapaan oleh datuknya. Di sisi lain Trusilo pun telah melahirkan puteranya dengan diberi nama Danurwendo. Pada waktu ini pula, Raja Raksana Pancadnyono yang merasa memiliki Trusilowati ingin merebut kembali Sang Puteri dari tangan Angling Darma. Pancadnyono menyerang Mlowopati. Patih dan rakyat Mlowopati kekalahan menghadapi serangan pasukan Pancadnyono. Patih Arjo Wijanarko bertekad hendak melawan pasukan yang menyerang. Patih Aryo Wijanarko diberitahu oleh Bagawan Maloyosidi bahwa Pancadnyono bukan tandingannya. Prabu Angling Darma bersama dengan isteri-isteri dan putera-puteranya menuju ke Mlowopati. Rombongan ini diiringi tiga ribu pasukan. Pasukan Pancadnyono dibunuh pada saat mabuk. Danurwendo berperang dengan gagah dan banyak membunuh musuh. Madrim akhirnya berhasil menemukan tubuhnya. Ia segera kembali ke Kerajaan Mlowopati untuk ikut berperang melawan patih Kalasrenggi. Angling Darma dan pasukannya akhirnya memenangi peperangan melawan Pancadnyono. Raja Mlowopati kembali ke keratonnya bersama Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno serta putera-puteranya.
rujukan :
Raden, Sosrodanoekoesoemo. 1941. Angling Darma Ambya Madura. Surabaya: G. Kolf & Co.
Dr. Abdus Syukur GhazaliNaskah Angling Darma Ambya Madura
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment