MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Bookmark and Share


Oleh : Anton Praptono, SH

Editor : Kelik Pramudya, SH


Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan awal dimulainya sejarah perkembangan ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. Pada tahun itulah berdiri Negara Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia yang telah terlepas dari penjajahan yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Jadi dapat dikatakan Proklamasi kemerdekaan ini sebagai garis pemisah antara ketatanegaraan kolonial dengan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Untuk dapat disebut sebagai suatu Negara Indonesia maka harus dipenuhi unsur-unsur suatu negara, sehingga berdirinya Negara Indonesia tidak hanya ditandai oleh Proklamasi dan keinginan untuk bersatu dalam wadah Negara saja, akan tetapi hal yang lebih penting adalah adanya UUD 1945 yang merumuskan berbagai masalah kenegaraan. Atas dasar UUD 1945 berbagai struktur dan unsur Negara mulai ada. Walaupun secara jelas pada masa itu belum ada lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh UUD. Akan tetapi hal ini dapat diatasi dengan adanya Aturan Tambahan dan Aturan Peralihan dalam UUD 1945.

Sejarah perjalanan dan perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia selama kurun waktu kurang lebih 62 tahun tidak pernah terlepas dari proses trial and error. Hal ini dilakukan semata-mata demi terciptanya kehidupan berbangsa yang lebih demokratis dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia.

1

Hal tersebut terbukti setelah UUD 1945 berlangsung selama 4 tahun diganti dengan Konstitusi RIS pada tahun 1949, kemudian diganti lagi dengan UUDS 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-Undang Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk Konstituante yang bertugas membuat UUD. Setelah bersidang selama beberapa tahun Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno secara sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke UUD 1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.

Setelah tahun 1998 maka dimulai zaman reformasi dan zaman ini diakibatkan oleh berbagai krisis yaitu:

1. Krisis ekonomi.

2. Krisis Politik ditandai dengan adanya krisis kepemimpinan.

3. Krisis Konstitusi ditandai dengan otoriternya kepemimpinan nasional atas dasar konstitusi (executive heavy).

Krisis-krisis tersebut melahirkan gerakan reformasi yang menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu jaman perubahan yang dinamakan reformasi, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan oleh orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan Konstitusi yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia[1]

Reformasi yang terjadi juga ikut mendorong munculnya wacana mengenai masyarakat madani atau dikenal sebagai civil society. Alexis de Tocqueville memandang civil society tidak secara a priori subordinatif terhadap negara, tetapi lebih dari itu ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang menghadapi intervensi negara dan tidak hanya berorientasi pada kepentingan sendiri akan tetapi juga terhadap kepentingan-kepentingan publik.[2] Pengertian itu sejalan dengan pendapat dari Aristoteles yang memaknai civil society (politike koinonia) sebagai komunitas/ masyarakat politik/ negara. Pada saat itu masyarakat sipil lebih identik dengan negara yang di dalamnya ada warga negara yang mampu mengurus diri mereka sendiri [3] Dari kedua pengertian itu, civil society identik dengan unsur yang harus ada dalam negara yang menganut konsep kedaulatan rakyat/demokrasi yang meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat warga negaranya untuk mencegah timbulnya tirani kekuasaan.

Masih banyak kriteria lain untuk format masyarakat madani, seperti adanya lembaga perwakilan. Demokratisasi, supremasi hukum, pengadilan yang bersih juga merupakan kriteria masyarakat madani. Setelah tahun 1998, dimulai berbagai tuntutan akan perubahan mendasar di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen atau Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Indonesia telah mengalami perubahan-perubahan mendasar mengenai struktural ketatanegaraan yang besar-besaran dan mendasar, terutama sejak reformasi dicetuskan pada tahun 1998. Sebelum tahun 1998, secara simbolis ada dua hal yang tidak terbayangkan untuk dapat disentuh oleh ide perubahan yaitu:

a. perubahan jabatan Presiden Soeharto, dan

b. perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang tidak pernah dilakukan.

Kedua hal itu, selama lebih dari 30 tahun terus bertahan di puncak piramid kekuasaan, sehingga tanpa disadari telah mengalami proses sakralisasi alamiah, dan menyebabkan keduanya menjadi simbol kesaktian dalam politik kekuasaan di Indonesia[4] Hal itu didukung dari beberapa Ketetapan MPR yang secara implisit berisi bahwa MPR itu menghendaki tidak perlu dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.

Meskipun mengingat kewenangan MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan diatur secara eksplisit yang meliputi:

a. menetapkan UUD (Pasal 3);

b. menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) (Pasal 3);

c. memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6 ayat ( 2)); dan

d. mengubah UUD (Pasal 37).

Namun dalam prakteknya fungsi pertama dan keempat dari lembaga tersebut dikesampingkan dalam penyelenggaraan Negara selama masa orde baru. Proses politik yang berlangsung untuk merealisir fungsi kedua dan ketiga juga masih dibebani oleh ketimpangan antara kenyataan dengan aspek formal.

Pertanyaan yang mengemuka seputar amandemen konstitusi UUD 1945 adalah mengapa perlu dilakukan perubahan terhadap UUD 1945? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, terdapat beberapa alasan dilakukannya amandemen konstitusi UUD 1945, yaitu alasan historis, alasan filosofis, alasan yuridis, alasan teoritis, dan alasan politik. Pertama, alasan historis, yaitu sejarah pembentukan UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara (founding fathers) sebagai konstitusi yang “bersifat sementara” karena dibentuk dalam suasana ketergesa-gesaan Soekarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam pidatonya pada tanggal 18 Agutus 1945 mengatakan [5]:

Undang-Undang Dasar yang dibuat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang- Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna. Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap”.

Pada kesempatan yang lain, yaitu saat pelantikan anggota Konstituante pada tanggal 10 Nopember 1956, Soekarno menyampaikan pidato tentang “sifat sementara” konstitusi UUD 1945. Dalam pidatonya, Soekarno mengatakan:

Kita bukan tidak punya konstitusi, malahan dengan konstitusi yang berlaku sekarang (UUD Sementara 1950) kita sudah mempunyai tiga konstitusi. Tapi semua konstitusi (UUD 1945, UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950) adalah bersifat sementara. Semua konstitusi itu bukanlah hasil permusyawaratan antara anggota-anggota sesuatu konstituante yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum yang bebas dan rahasia. Semua konstitusi itu adalah buatan sarjana konstitusi, atas amanat pemerintah. Tapi semua negara hukum yang demokratis, menghendaki sebagai syarat mutlak sebuah konstitusi yang dibuat oleh rakyat sendiri”.

Kedua, alasan filosofis, yaitu dalam UUD 1945 terdapat pencampuradukan beberapa gagasan yang saling bertentangan, seperti antara faham kedaulatan rakyat dengan faham negara integralistik, dan antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.

Ketiga, alasan yuridis, yaitu sebagaimana lazimnya dalam setiap konstitusi tertulis memuat ketentuan tentang perubahan konstitusi. Ketentuan yang mengatur tentang perubahan konstitusi ini merupakan bentuk keinsyafan pembentuk konstitusi bahwa konstitusi merupakan produk manusia yang tidak mungkin sempurna. Oleh karena itu, secara yuridis disediakan ketentuan yang mengatur kemungkinan perubahan konstitusi. Demikian juga dalam UUD 1945 diatur ketentuan tentang perubahan konstitusi dalam Pasal 37.

Keempat, alasan politik, yaitu dalam praktek politik ketatanegaraan dalam kurun waktu sepanjang berlakunya UUD 1945 telah terjadi sejumlah penyimpangan dan manipulasi. Manipulasi tersebut dilakukan melalui interpretasi konstitusi secara otoriter berdasarkan selera elit yang sedang berkuasa, di antaranya dengan memanfaatkan kelemahan substansi konstitusi yang cenderung multi-interpretasi. Termasuk dalam kategori ini adalah inkonsistensi sistem pemerintahan Indonesia yang dianut UUD 1945, apakah menganut sistem presidensil atau kah menganut sistem parlementer.

Kelima, alasan teoritis, yaitu dalam perspektif teori konstitusi, keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada dasarnya adalah berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang. Berbeda dengan fungsi tersebut, keberadaan UUD 1945 sebagai konstitusi sering digunakan sebagai instrumen dasar legitimasi kekuasaan Negara otoriter yang dipraktekkan baik oleh Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, sehingga berdasarkan konstitusi yang sama yaitu UUD 1945 dapat muncul model “Demokrasi Terpimpin” era Soekarno dan “Demokrasi Pancasila” era Soeharto, yang keduanya memiliki karakter otoriter ketimbang demokratis.

Berdasarkan beberapa alasan tersebut, amandemen UUD 1945 diarahkan kepada tersedianya konstitusi yang demokratis, yaitu konstitusi yang memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengaturan lembaga negara dan kewenangannya, jaminan kepastian perlindungan terhadap hak asasi warga negara, dan jaminan tersedianya mekanisme checks and balances dalam suatu penyelenggaraan pemerintahan negara yang demokaratis (berdasarkan kedaulatan rakyat).

Dengan demikian, agenda amandemen konstitusi UUD 1945 dapat diartikan sebagai agenda menyusun ulang desain negara (redesigning the state). Karena amandemen konstitusi sebagai agenda mendesain ulang negara, maka amandemen konstitusi UUD 1945 diarahkan kepada perumusan ulang gagasan kedaulatan rakyat, bagaimana implementasi gagasan kedaulatan rakyat dalam praktek ketatanegaraan, dan diikuti dengan pembentukan lembaga negara dan pemberian kewenangan kepadanya dalam rangka pelembagaan negara.

Pada bulan Mei 1998, puncak kesaktian kekuasaan Presiden Soeharto tumbang, kemudian dilanjutkan dengan diterima dan disahkannya Perubahan UUD 1945 pada tanggal 19 Oktobar 1999 yang menandai runtuhnya kedua simbol kesaktian kekuasaan Orde Baru, dan sekaligus beralihnya zaman menuju era baru, era reformasi, demokrasi dan konstitusi. Reformasi menuju demokrasi konstitusional (constitutional democracy) dan sekaligus negara yang demokratis berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945[6] Perubahan UUD 1945 berlangsung sangat cepat dan dalam skala yang sangat luas dan mendasar. Perubahan UUD 1945 dari naskahnya yang asli sebagai warisan zaman proklamasi tahun 1945 yang hanya berisi 75 butir kaedah hukum dasar, sekarang dalam waktu empat kali perubahan, telah berisi 199 butir kaedah hukum dasar. Perubahan-perubahan subtantif itu menyangkut konsepsi yang sangat mendasar dan sangat luas jangkuannya, serta dilakukan dalam waktu yang relatif sangat singkat, yaitu secara bertahap selama empat kali dalam empat tahun, yaitu masing-masing Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001 dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Tidak cukup waktu yang tersedia untuk perdebatan-perdebatan yang subtantif yang sangat mendalam, karena momentum reformasi dirasakan tidak mungkin akan kembali, jika agenda perubahan tidak segera dituntaskan.

Perubahan pertama UUD 1945 terjadi Tahun 1999 yang mengatur beberapa hal penting yang diantaranya mengenai pembatasan jabatan presiden, pergeseran executive heavy kearah legislatif heavy dan lain sebagainya. Pada tahun 2000 terjadi Perubahan II UUD 1945 yang mengatur HAM dll. Pada Perubahan pertama dan kedua terjadi beberapa perubahan yang mendasar dalam UUD 1945. Pada Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam banyak hal, Presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif. Dan Presiden harus memperhatikan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat ataupun Mahkamah Agung jika berkaitan dengan hukum. Sampai dengan Perubahan kedua belum ada kritik yang tajam terhadap Perubahan yang terjadi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dari mayoritas Ahli Hukum Tata Negara dan Para Politisi Partai Politik.

Sebelum Perubahan UUD 1945 kedudukan MPR adalah sebagai satu-satunya lembaga pemegang kedaulatan Rakyat. Dalam kekuasaan MPR inilah seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi karena MPR merupakan Lembaga Tertinggi Negara yang memegang semua fungsi kekuasaan, yang kemudian kekuasaan itu didistribusikan kepada Lembaga Tinggi Negara yang berada dibawahnya. Dalam menjalankan kekuasaan ini Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak seakan tidak pernah salah. Karena terkait dengan sistem ketatanegaraan, perekrutan pengisian anggota dan sistem pengambilan keputusan MPR pada masa orde baru.

Kemudian pada tahun 2001 dilakukan Perubahan ketiga terhadap UUD 1945, hal itu membawa perubahan mendasar terhadap UUD 1945. Perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya diarahkan untuk menyempurnakan kedaulatan rakyat, menyesuaikan wewenang MPR terkait dengan akan adanya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Langsung, mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dsb. Hal itu berakibat besar terhadap tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam perubahan ketiga juga menghapus Utusan Golongan dalam MPR dan dilembagakannnya Utusan Daerah menjadi Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu secara perseorangan sehingga komposisi MPR berubah secara total.

Setelah Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang Dasar. Proses Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya kekurangan yang terjadi. Karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan jelas, sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi sebagian besar oleh praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara.

Perubahan keempat terjadi pada tahun 2002, perubahan ini dilakukan untuk menyempurnakan perubahan-perubahan sebelumnya sebagai akibat adanya materi-materi yang masih perlu diatur lebih lanjut. Perubahan keempat menjadi suatu keharusan, karena dengan adanya Pemilihan Presiden secara langsung, maka Presiden langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya. Dan tidak ada lagi tugas membuat GBHN yang dilakukan oleh MPR. Maka itu perlu diatur mengenai tugas dan kewenangan MPR sebagai konsekuensi dari pemilihan Presiden secara langsung.

Perubahan ketiga dan keempat UUD 1945 telah mengubah fungsi, kewenangan, status kedudukan, dan peran MPR. Majelis Permusyawaratan Rakyat berubah dari lembaga yang secara penuh sebagai pelaksana kedaulatan rakyat atau sebagai lembaga tertinggi yang disebutkan secara eksplist dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang sekarang lazim disebut sebagai lembaga negara saja. Setelah adanya Perubahan UUD 1945 maka berakhirlah kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai satu-satunya lembaga yang sepenuh melasksanakan kedaulatan rakyat. Dan berakhir juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur kelembagaan Negara di Indonesia menjadi Lembaga Negara sejajar dengan lembaga lainnya.



[1] (http://www.theceli.com/index.php).

[2] (http://fathananiq.wordpress.com/).

[3] Luthfi J. Kurniawan, dkk. 2008. Negara, Civil Society Dan Demokratisasi Pergerakan Membangun Solidaritas social Dalam Merebut Perubahan. Malang: In-Trans Institut. hal 9

[4] Jimly Asshiddiqie. 2006. Perkembangan & Kosolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, cetakan Kedua. hal: 348.

[5] www.http://ccm.um.edu.myumwebfsssimages

[6] Jimly Asshiddiqie,Op. Cit.

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }