MENUJU CARA BERHUKUM YANG FLEKSIBEL

Bookmark and Share


Bangsa kita mewarisi tradisi hukum Eropa Konti­nen­tal (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bah­kan, kitapun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga di­akui universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law).[1] Seharusnya memahami hukum secara kompre­hen­sif sebagai suatu sistem yang terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja.[2]


Salah satu dari pengaruh tradisi hukum eropa continental tersebut di antaranya penegakan hukum di Indonesia cenderung normatif, atau sesuai dengan peraturan tertulis. Kecenderungan seperti ini sering disebut sebagai positivisme[3] di mana penegakan hukum harus berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum berdasarkan hukum positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika suatu perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal jelas-jelas itu mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu dalam etika bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang melakukanya bisa mengatakan bahwa tidak ada Undang-Undang yang melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum tentunya tidak bisa lepas dari para penegak hukum, seperti Polisi, jaksa, hakim, advokat. Lalu bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu berpedoman pada hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya, dicari peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang para penegak hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik, baik dalam hukum formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang terberat adalah di pundak seorang hakim, karena apapun perkara di hadapannya harus diputus, baik itu ada aturannya atau tidak. Dalam kondisi seperti ini bolehkah hakim membuat hukum sendiri ?


Di sini saya mengutip pendapat dari Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI. Menurutnya, hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia. Sebenarnya perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. [4]


Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," dan bukan "Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang." Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa- melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis.Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang.Yang ingin ditekankan di sini hanyalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari udang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu tempat mencari dan menegakkan keadilan?[5]


Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.[6]


Barda Nawawi Arief mempergunakan terminologi melemahnya/bergesernya asas legalitas antara lain dikarenakan sebagai berikut[7] :

1. Bentuk pelunakan/penghalusan pertama terdapat di dalam KUHP sendiri, yaitu dengan adanya Pasal 1 ayat (2) KUHP ;

2. Dalam praktik yurisprudensi dan perkembangan teori, dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiel ;

3. Dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia (dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950; Undang-undang Nomor 1 Drt 1951; Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999; dan Konsep KUHP Baru), asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai “nullum delictum sine lege”, tetapi juga sebagai “nullum delictum sine ius” atau tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas materiel, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum ;

4. Dalam dokumen internasional dalam KUHP negara lain juga terlihat perkembangan/pengakuan ke arah asas legalitas materiel (lihat Pasal 15 ayat (2) International Convention on Civil and Political Right (ICCPR) dan KUHP Kanada di atas) ;

5. Di beberapa KUHP negara lain (antara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal) ada ketentuan mengenai “pemaafan/pengampunan hakim” (dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “rechterlijk pardon”, “Judicial pardon”, “Dispensa de pena” atau “Nonimposing of penalty”) yang merupakan bentuk “Judicial corrective to the legality principle” ;

6. Ada perubahan fundamental di KUHAP Perancis pada tahun 1975 (dengan Undang-undang Nomor 75-624 tanggal 11 Juli 1975) yang menambahkan ketentuan mengenai “pernyataan bersalah tanpa menjatuhkan pidana” (“the declaration of guilt without imposing a penalty”) ;

7. Perkembangan/perubahan yang sangat cepat dan sulit diantisipasi dari “cyber-crime” merupakan tantangan cukup besar bagi berlakunya asas “lex certa”, karena dunia maya (cyber-space) bukan dunia riel/realita/nyata/pasti.

Di sisi lain mengenai penegakan hukum formilnya, apakah juga harus terpaku peraturan pada undang-undang. Artinya bolehkan seseorang menyelesaikan persoalan hukumnya secara improvisasi dan spontan yanng dianggapnya baik bagi kedua belah pihak. Satjipto Rahardjo pernah mencontohkan di mana seorang polisi yang bertugas dalam suatu daerah terpencil yang menemukan sebuah kasus. Kasus tersebut secara hukum masuk ke dalam kategori tindak pidana, namun kerugian yang ditimbulkan dari suatu tindak pidana tersebut hanyalah kecil. Apabila kasus tersebut diproses menurut hukum acara, maka memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit, harus menyeberang sungai, melewati hutan untuk menuju kota. Dalam keadaan seperti ini maka seharusnya setiap penegak hukum harus mampu berimprovisasi dan mengambil tindakan terbaik guna menyelesaikan perkara secara cepat dan tepat.


Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan suatu tindak pidana memang harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka penegakan hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan hukum pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat. Tujuan dari penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat jalan keluar terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini memang tidak tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan keadilan.


Aturan yang sudah ada yang diaplikasikan pengadilan dalam putusan adalah bukan ramalan yang akan sesungguhnya yang dilakukan pengadilan. Aturan yang diaplikasikan hakim dalam suatu kasus konkret tidak memberitahu hakim bagaimana dia dalam kenyataannnya akan memutuskan, tetapi bagaimana dia harus memutuskan. Makna subyektif suatu aturan yang diharapkan individu akan menyesuaikan perbuatannya, yang dia rasakan diwajibkan untuk melaksanakan atau mematuhi, hanya dapat berupa suatu keharusan ought, bukan sesuatu yang nyata is. Hal ini bisa dibandingkan dengan pernyataan hukum alam (law of nature) Jika suatu benda dipanaskan maka mengembang tidak dapat dilaksanakan atau dipatuhi. Hanya preskripsi yang dapat dilaksanakan atau dipatuhi yaitu jika kamu ingin mengembangkan suatu benda, kamu harus memanaskannya.[8]

Hukum yang diaplikasikan oleh pengadilan bukan persetujuan ilmiah yang menggambarkan dan menjelaskan fakta aktual. Hukum bukan suatu sistem theorem yang merupakan produk pengetahuan ilmiah, tetapi seperangkat preskripsi yang mengatur perilaku subyek dan organ komunitas hukum, suatu sistem norma produk dari tindakan keinginan.[9]


Kita sudah seharusnya memahami bagaimana cara berhukum untuk mewujudkan keadilan. Atau yang terlebih bagaimana penyelesaian permasalahan dengan hukum yang menjamin rasa keadilan bersama untuk mewujudkan kembali tatanan hidup bermasyarakat yang baik. Suatu sistem peradilan yang diharapkan adalah penyelesaian yang cepat, mudah,murah yang adil. Lalu bagaimana untuk mewujudkan itu semua ? Adalah dimungkinkannya penerobosan terhadap Undang-Undang untuk mencapai keadilan. Bila semua orang termasuk para penegak hukum bisa fleksibel dalam menegakkan keadilan, maka tentu hasil penyelesaian masalah hukum yang dibuat itu akan memuaskan para pihak. Namun, perlu ditekankan bahwa hukum positif tetaplah hukum yang dijadikan pedoman. Di sini hanya pelaksanaannya saja yang harus fleksibel menyesuaikan keadaan. Bagaimanapun hukum harus berkembang mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Bila hukum tak dapat mengikutinya maka hukum itu dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya.



[1] Jimly Asshiddiqie. Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia. Makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006

[2] Ibid

[3] Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi,1992.Responsi Filsafat Hukum. Bandung : Armico Hal. 80

[4] Mahfud MD. Penegakan Keadilan di Pengadilan. http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26

[5] Ibid

[6] Lilik Mulyadi.Asas Legalitas dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Kajian Perbandingan Hukum. http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=114

[7] Ibid

[8] Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at. 2006.Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hal 149-150

[9] Ibid

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }