Hukum modern yang dipakai oleh bangsa kita dikembangkan tidak dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside). Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat, khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa.[1] Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan kebebasan individu. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern.[2] Ciri khas dari aliran positivisme pada hukum modern ini bertitik temu pada formalitas.
Dalam pelaksanaannya kita sering mengalami banyak kegagalan dalam menghukum para pelaku kejahatan karena hambatan dalam setelan-setelan liberal tersebut. Pilihan sekarang apakah kita tetap akan membiarkan “prantik liberal” berjalan terus, ataukah beralih ke sesuatu yang lain. Pada waktu publik di Amerika banyak terpukul oleh pembebasan O.J. Simpson dari dakwaan pembunuhan mantan isterinya (1993), seorang pengamat hanya mengangkat pundak dengan mengatakan, “ ya, apa boleh buat, itulah ongkos yang harus kita keluarkan karena sepakat untuk memakai sistem yang liberal.”.[3] Kita tidak bisa menyalahkan para penegak hukum, oleh karena setelan-setelan pikiran mereka memang liberal dan hal tersebut sudah ditanamkan sejak mereka duduk di bangku kuliah umumnya fakultas hukum. Maka apabila ingin ditempuh cara baru dalam pemberantasan tindak kejahatan termasuk korupsi, maka perlu dilacak sampai ke dunia pendidikan hukum.[4]
Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument yang bisa dipakai dan dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di tahin 1930-an pun mempunyai bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa kejahatan pun ingin dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu hukum, atau “melakukan kejahatan dengan dipandu oleh hukum”. Sejak kita memutuskan menggunakan hukum modern, kita tak dapat menghindar dari praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita dapat lakukan adalah bersikap lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh karena ternyata bahwa hukum itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk keadilan, tetapi dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain.[5]
Gustav Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri.[6]
Dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadila itu bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.
Pada setiap masyarakat ada sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil, maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama.[7]
Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran itu hanya terpusat pada segelintir orang saja. [8]
pink
[1] Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm.138
[2] Satjipto Raharjo, Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era Reformasi, Makalah pada Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH, UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000. hlm. 4
[3] Satjipto Rahardjo.2009.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing . Op. Cit hlm. 140 -141
[4] Ibid
[5] Satjipto Rahardjo.2009. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Kompas hlm.170-171
[6] Peter Mahmud Marzuki.2008.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hlm. 23
[7] A. Malik Madaniy.2010.Politik Berpayung Fiqh.Yogyakarta:Pustaka Pesantren. hlm. 33
[8] Ibid. hlm. 34
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment