Jurnal RechtsVinding Vol 2 No. 2 Agustus 2013
KELIK PRAMUDYA
KELIK PRAMUDYA
Email : kelik_pramudya@yahoo.co.id
Abstrak
Penyelesaian perkara pidana melalui lembaga peradilan
sering tidak menjamin rasa keadilan di antara korban dan pelaku. Oleh karenanya
diperlukan penyelesaian melalui restorative justice untuk mewujudkan
keseimbangan antara korban dan pelaku. Selain itu agar penanganan perkara
pidana dapat berjalan secara fleksibel dan tidak bersifat kaku. Penelitian ini
menjawab permasalahan sejauh mana restorative
justice dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk
mencapai keadilan dan bagaimana mewujudkan
keseimbangan antara pelaku dan korban tindak pidana guna menuju cara berhukum
yang fleksibel. Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum
empiris yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan kasus dan
perundang-undangan. Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan :
Restorative justice di Indonesia sejauh ini dapat diterapkan dalam penyelesaian
perkara pidana untuk mencapai keadilan. Selain itu restorative justice terbukti
mampu mewujudkan keseimbangan antara pelaku dan korban tindak pidana. Oleh
karena itu penulis menyarankan agar aparat penegak hukum mempunyai standar
operasional untuk menggunakan restorative justice pada setiap penanganan
perkara pidana.
Kata kunci : Restorative Justice, Pidana, Keadilan.
Abstract
The completion of criminal cases often does not give the
sense of justice between the victims and perpetrators. Based on that, citizens
need a resolution in justice through restorative justice to create balance
between the victims and perpetrators. Moreover, through the restorative
justice, the vision is to have resolution of criminal case that can run
flexible and is not rigid. This research answers the question of the
application’s effect of the restorative justice can be done in the criminal
justice system in Indonesia in creating justice and the question of the process
to make balance justice between the victims and perpetrators in order to reach
flexible ways in law. This research is included in the descriptive empirical
law research by using case approach and the legislation. Based on the
research’s result, the writer can conclude that the restorative justice in
Indonesia nowadays can be applied in the criminal case solution to reach the
justice.
Keywords: Restorative Justice,
Criminal, Justice
I.
PENDAHULUAN
Permasalahan hukum pidana di Indonesia semakin berkembang
seiring dengan makin pesatnya pertumbuhan masyarakat. Berbagai permasalahan
tersebut membutuhkan penyelesaian yang tepat untuk mengembalikan kondisi
seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Akan tetapi pemahaman masyarakat di Indonesia
mengidentikkan penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegaknya antara
lain, polisi, jaksa dan hakim. Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan
pidana. Penyelesaian perkara pidana oleh masyarakat ditempuh melalui sistem
peradilan yang diatur dalam KUHAP, yaitu hal yang pertama dilakukan adalah
membuat laporan polisi. Penyelesaian seperti ini diharapkan memberi efek jera
pada pelaku tindak pidana. Melalui laporan polisi ini korban berharap ada
keadilan di mana pelaku akan dijatuhi pidana. Namun, akhir dari sistem
peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat.
Berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan
keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.
Penegakan hukum sangatlah erat dengan masyarakat,
sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny, di mana menurutnya “Das recht wird nicht gemacht, est
ist und wird mit dem volke” (hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh
dan berkembang bersama masyarakat).[1]Namun,
ternyata Hukum modern yang dipakai oleh bangsa Indonesia dikembangkan tidak
dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside).
Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi dan kultural barat, khususnya Eropa.
Maka sebetulnya cerita tentang sejarah kelahiran hukum modern adalah cerita
tentang sejarah sosial Eropa.[2]
Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum
substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan
memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan
kebebasan individu. Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan
positivisme, tak dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern.[3]Positivisme inilah yang selama ini
tertanam di benak kebanyakan para sarjana hukum di Indonesia. Akibatnya sangat
mempengaruhi pola berpikir penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yaitu
harus sesuai pada hukum positif yang ada.
Menurut Satjipto Raharjo, penyelesaian perkara melalui
sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan
hukum ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum itu melalui jarak
tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari kepolisian,
kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi bahkan sampai ke Mahkamah
Agung. Pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak
sedikit di pengadilan.[4] Hukum
pidana adalah ultimum remidium yang
berarti suatu upaya terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk
menyelesaikan perkara. Namun, pada perkembangannya hukum pidana justru
digunakan sebagai upaya pertama dalam menyelesaikan suatu masalah antara orang
yang satu dengan yang lain. Bahkan ada suatu perkara yang sebenanya termasuk
dalam ranah perdata dipaksanakan menjadi pidana. Pergeseran fungsi hukum pidana
ini menunjukkan bahwa masyarakat telah meninggalkan sedikit demi sedikit budaya
berhukum. Padahal dalam
suatu masyarakat masih mempunyai hukum adat yang berfungsi lebih efektif dalam
menyelesaikan suatu masalah.
Sejauhmana hukum pidana adat tercakup atau berperan mempengaruhi
hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung
kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum
masyarakat setempat, masih tidaknya
hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum
pidana adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan
undang-undang yang berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir adalah
merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum pidana adat. Dengan
demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya
dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara
hukum pidana adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur
utama untuk menyelesaikan suatu perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap
mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan menemukan hukum. Hakim mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam masyarakat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan
bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh
menolak memberi keadilan.[5] Sebagaimana yang disampaikan oleh van Apeldoorn,
maka hakim harus menyesuaikan (waarderen)
undang-undang dengan hal-hal yang konkrit yang terjadi di masyarakat dan hakim
dapat menambah (aanvullen)
undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal
yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul
dalam masyarakat.[6]
Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan
keseimbangan sosial dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud di sini adalah
antara pelaku dan korban tindak pidana, sehingga tercipta kembali harmonisasi
sosial dalam masyarakat. Bentuk penyelesaian ini dilakukan secara seimbang
dengan jalan musyawarah antara pihak pelaku dan korban. Prinsip win-win solution harus diutamakan demi
tercapainya kesepakatan menyesaikan perkara. Pada akhirnya diharapkan pelaku
meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, apabila
perlu mengganti segala kerugian yang diderita oleh korban. Sebaliknya korban
memafkan pelaku dan tidak meneruskan perkara sampai ke pengadilan. Konsep
penyelesaian seperti ini disebut dengan restorative
justice. Konsep restorative justice, menempatkan
kejahatan sebagai bagian dari gejala yang menjadi bagian tindakan sosial,
sehingga penyelesaiannya tentu harus mengutamakan kearifan lokal yang sesuai
dengan kaidah di masyarakat setempat. Sebenarnya bentuk penyelesaian
seperti ini sudah ada sejak lama. Namun, seringkali masyarakat dan penegak
hukum enggan melakukannya dengan alasan hukum harus tetap ditegakkan walaupun
lama waktunya.
Dalam Handbook on Restorative Justice
Programmes
yang diterbitksan oleh PBB disebutkan bahwa : “Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various
forms, involves the victim, the offender, their social networks, justice
agencies and the community.”[7]
Hubungan dengan penegakan hukum pidana, maka restorative justice merupakan suatu pendekatan dalam memecahkan
masalah pidana yang melibatkan korban, pelaku, serta elemen-elemen masyarakat
demi terciptanya suatu keadilan.
Menurut Bagir Manan, substansi restorative justice mengandung prinsip yang dapat membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Selain itu juga
menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang
dipandang adil bagi semua pihak (win-win
solutions).[8]Prinsip restorative
justice
menurut Bagir Manan ini sangat memungkinkan peran serta masyarakat dalam
menentukan hukum yang seimbang dan adil.
Konsep restorative
justice pada
dasarnya sejalan dengan teori hukum progresif yang disampaikan
oleh Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto Rahardjo inti dari hukum progresif
terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari
belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks
hukum, melainkan untuk kebahagiaan manusia. [9] Oleh
karena itu cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks
undang-undang. Tujuan yang henadak dicapai dalam penyelesaian tersebut ialah
kembalinya harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan
masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk
adanya upaya memulihkan/mengembalikan
kerugian atau akibat
yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, dan pelaku
dalam hal ini diberi kesempatan
untuk dilibatkan dalam upaya pemulihan
tersebut, semua itu dalam
rangka memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara
perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip tersebut mengandung
unsur-unsur sebagai berikut : pertama,
justice requires that we work to restore those who have been injured; kedua,
those most directly involved and affecttted by crime should have the.[10]
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan
yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol,
sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah
dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam
membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat
komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati
dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial
berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative
justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan
pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.[11]
Selain itu restorative justice mengembalikan
konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh
korban, pelaku dan “kepentingan
komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative
justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk
mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana
untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative
justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of
control.[12]
Melalui restorative
justice tidak semua perkara pidana harus selesai di meja hijau, namun dapat
diakhiri antara sendiri antara pelaku dan korban. Cara penyelesaian yang ditempuh melalui
restorative justice sesuai dengan budaya dan ideologi bangsa
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila. Hasil penyelesaian dapat
dipertanggungjawabkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penyelesaian memperhatikan
nilai kemanusiaan yang adil dan beradap bagi kedua belah pihak, dan tentunya
dapat tercipta kembali kondisi sosial sebagaimana sebelum terjadi tindak
pidana.
II.
PERMASALAHAN
Penyelesaian melalui restorative justice ke depannya akan
menuju kepada penyelesaian secara fleksibel tanpa harus terpaku pada
undang-undang dan penegak hukum. Akan tetapi harus dilihat terlebih dahulu
bagaimana selama restorative justice telah
diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini antara lain : Pertama,
sejauh mana restorative justice dapat
diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia untuk mencapai keadilan ? Kedua, Bagaimana
mewujudkan keseimbangan antara pelaku dan korban tindak pidana guna menuju cara
berhukum yang fleksibel ?
III.
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam
penelitian hukum empiris (socio legal)
yang melihat hukum sebagai sebuah tatanan normatif yang dioperasionalisasikan
dalam kehidupan sosial tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji
efektivitas hukum yang meliputi pengetahuan masyarakat, kesadaran masyarakat,
dan penerapan hukum dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu
menggambarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pendekatan yang
digunakan penulis di sini meliputi pendekatan perundang-undangan, dan
pendekatan kasus. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data
primer diperoleh langsung penulis dari lapangan melalui wawancara dan
observasi. Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen, kepustakaan, putusan
hakim, buku-buku, serta jurnal mengenai hasil penelitian. Data sekunder yang
diperoleh penulis kemudian dianalisis bersamaan dengan data primer.
Interprestasi dilakukan setelah mendapatkan data yang valid di lapangan
kemudian dilakukan verifikasi. Kemudian penulis melakukan interprestasi
terhadap data yang telah dianalisis.
IV.
PEMBAHASAN
A.
Pendekatan
Restorative Justice dalam Penyelesaian
Perkara Pidana di Indonesia
Bangsa Indonesia mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental
(civil law), biasanya
cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law making), tetapi
kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan
hukum (law enforcing).
Bahkan, masyarakat pun dengan begitu saja menganut paradigma dan doktrin
berpikir yang lazim dalam sistem civil
law, yaitu berlakunya teori
fiktie yang beranggapan bahwa begitu suatu norma hukum ditetapkan,
maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum. Ketidaktahuan seseorang
akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu dari tuntutan hukum. Teori ini
diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui universal, yaitu
persamaan di hadapan hukum (equality
before the law).[13]
Seharusnya memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang
terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum
ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) juga
tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hukum saja.[14] Salah
satu dari pengaruh tradisi hukum eropa
continental tersebut di antaranya penegakan hukum di Indonesia
cenderung normatif, atau sesuai dengan peraturan tertulis. Kecenderungan
seperti ini sering disebut sebagai positivisme[15]
di mana penegakan hukum harus berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum
berdasarkan hukum positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya Tiada
suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika suatu
perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal jelas-jelas itu
mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu dalam etika
bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang melakukanya bisa mengatakan
bahwa tidak ada Undang-Undang yang melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum
tentunya tidak bisa lepas dari para penegak hukum, seperti Polisi, jaksa,
hakim, advokat. Lalu bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu
berpedoman pada hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana
seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya, dicari
peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang para penegak
hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik, baik dalam hukum
formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang terberat adalah di pundak
seorang hakim, karena apapun perkara di hadapannya harus diputus, baik itu ada
aturannya atau tidak. Dalam kondisi seperti ini menjadi pertanyaan bolehkah aparat
penegak hukum membuat hukum sendiri demi mencapai keadilan.
Penulis mengambil contoh dengan melakukan penelitian
terhadap tindak pidana percobaan pencurian dengan pemberatan di wilayah hukum
Polsek Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Tindak pidana ini dilakukan oleh dua
orang yang masih berstatus sebagai pelajar, yaitu Luthfi Widayanto (18 tahun) dan
Cahyo Wijanarko (15 tahun) pada tanggal 22 Maret 2013. Barang yang akan dicuri
oleh pelaku berupa dagangan korban yang bernilai sekitar Rp 500.000,- (lima
ratus ribu rupiah). Korban yang merasa dirugikan akhirnya melaporkan kedua
pelaku ke Polsek Jaten Karangnyar sebagaimana dalam Laporan Polisi No.Pol : LP/12/III/2013/Sek.
Jaten. Pelaku oleh penyidik dikenakan Pasal 53 KUHP dan/atau Pasal 363 ayat
(11) ke 3e,4e,5e KUHP dan ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu penyidik juga
melakukan penahanan terhadap kedua tersangka.[16]
Pihak keluarga, dalam hal ini orang tuanya setelah
mengetahui Tersangka ditahan kemudian berusaha menemui korban dan mengusahakan
agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Polsek
Jaten pun menganjurkan demikian, namun selama belum tercapai perdamaian antara
keluarga tersangka dan korban maka Polsek akan tetap menahan kedua Tersangka.
Pihak korban pada awalnya sudah tidak keberatan untuk menyelesaikan secara
musyawarah, namun agar hasil perdamaian ini bisa diterima oleh masyarakat di
sekitar korban, maka akan dilakukan musyawarah secara kekeluargaan dengan
melibatkan tokoh masyarakat.[17] Penanganan
perkara pidana dalam kasus ini sangat memperhatikan kepentingan korban dan
pelaku tindak pidana. Selain itu penyelesaian dilakukan dengan melibatkan
masyarakat tempat terjadinya tindak pidana. Adanya peran dari masyarakat di
sini menunjukkan bahwa hasil penyelesaian perkara pidana harus dapat
dipertanggungjawabkan dan diterima masyarakat. Penyelesaian ini sejalan dengan restorative justice. Menurut penulis
dalam perkara serupa restorative justice
dapat ditempuh untuk menyelesaikan tindak pidana.
Contoh lain penerapan restorative
justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia pernah dilakukan oleh
Mahkamah Agung sebagaimana dalam putusan perkara pidana Nomor 1600 K/Pid/2009
tertanggal 24 November 2009. Perkara ini bermula dari pengaduan korban bernama
Erniwati tentang tindak pidana penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh
Ismayawati. Pada persidangan di Pengadilan Negeri Yogyakarta pengadu mengajukan
permohonan pencabutan pengaduan kepada Majelis Hakim. Adapun alasan pencabutan
tersebut dikarenakan sebagai berikut [18]:
a.
terdakwa
merupakan menantu dari pengadu
b.
terdakwa
mempunyai dua orang anak yang masih kecil
c.
pengadu
telah memaafkan terdakwa
d.
pengadu
telah mengikhlaskan kerugian yang ia derita
Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Yogyakarta akhirnya membacakan putusan yang amarnya menyatakan tuntutan dalam
perkara ini tidak dapat diterima. Namun, putusan ini dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi Yogyakarta dengan pertimbangan pencabutan tersebut sudah melewati batas
waktu yang ditentukan dalam KUHP. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan yang sangat memperhatikan prinsip keadilan restoratif. Mahkamah
Agung dengan tegas menilai bahwa Pengadilan Tinggi Yogyakarta bersifat kaku dan
terlalu formalistik oleh karena itu harus dibatalkan. Di Indonesia sangatlah
jarang ditemui pertimbangan hukum seperti ini. Pertimbangan hukum biasanya hanya
dilihat dari aspek normatifnya saja. Dalam perkara ini Mahkamah Agung
menegaskan bahwa tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang
terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun ini adalah perkara pidana, namun perdamaian
yang terjadi
antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga
bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan. Ajaran keadilan Restoratif mengajarkan
bahwa konflik yang disebut
kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan
umum tetapi konflik juga
merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih induvidu di
dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang
memuaskan untuk para pihak yang
berselisih.
Mahkamah Agung sebelumnya juga pernah mengeluarkan putusan yang
mempertimbangkan restorative justice
dalam perkara tindak pidana pembunuhan Nomor : 107 PK/Pid/2006 tanggal 21
November 2007 atas nama Terdakwa Adiguna Sutowo. Orang tua korban telah membuat
surat pernyataan yang intinya telah memaafkan terdakwa namun oleh judex factie tidak dipertimbangkan.
Perdamaian ini menurut Mahkamah Agung seharusnya dapat di jadikan alasan untuk
pertimbangan yang lebih meringankan pidana yang dijatuhkan khususnya yang
berkaitan dengan dakwaan primair, apabila judex
facti /judex iuris telah mengetahui adanya putusan yang bersifat memenuhi
keadilan sosiologis (restorative justice) tersebut pada waktu persidangan
berlangsung.[19]
Dalam putusan Nomor 107
PK/Pid/2006 ini Mahkamah Agung mendefinisikan bahwa restoratif justice adalah suatu proses melalui mana para pelaku
kejahatan yang menyesal menerima tanggung jawab atas kesalahan mereka kepada
mereka yang dirugikan dan kepada masyarakat yang sebagai balasannya,
mengizinkan bergabungnya kembali pelaku kejahatan yang bersangkutan ke dalam
masyarakat. Tujuan pemidanaan di sini lebih bersifat edukatif dan korektif
dengan tetap memperhatikan tujuan pemidanaan yang bersifat preventif. atas
dasar itulah Mahkamah Agung meringankan vonis terhadap terdakwa dari tujuh
tahun menjadi empat tahun penjara.
Pada dasarnya setiap orang yang melakukan suatu perbuatan
yang mendatangkan kerugian bagi orang lain maka mewajibkan orang tersebut
bertanggung jawab atas perbuatannya. Begitu pula dalam hukum pidana, seseorang
yang melakukan suatu tindak pidana memang harus dihukum untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka penegakan hukum. Namun, harus
dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan hukum pidana itu. Jangan sampai
penegakan hukum justru malah memperburuk harmonisasi sosial dalam masyarakat.
Tujuan dari penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas dari terciptanya kembali
disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat hilang akibat suatu
perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat jalan keluar terbaik,
maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya memperburuk kehidupan
masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini memang tidak tersurat dalam hukum
positif. Tetapi merupakan improvisasi hati nurani manusia dalam menegakkan
keadilan.
Restorative
justice merupakan sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana
dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang
dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana
yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu
kerangka berfikir baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana
bagi penegak hukum. Penyelesaian seperti di atas sama halnya dengan konsep yang
dicantumkan PBB dalam Handbook on Restorative
Justice Programmes. Adanya peran masyarakat dalam penyelesaian perkara menunjukkan bahwa
hukum pidana ini bersifat publik, oleh karenanya publik
pun harus terlibat dan memantau pelaksanaanya. Selama ini penyelesaian perkara
pidana hanya dilakukan aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa dan hakim.
Masyarakat tidak dimungkinkan untuk ikut berpartisipasi karena setelah perkara
diambil alih aparat penegak hukum di situ kewenangan diberikan oleh Negara
tanpa ada yang boleh ikut campur sedikitpun.
Dimungkinkannya
penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan diperkuat dengan munculnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang
ini menurut penulis merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini
karena terdapat penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan dengan sistem
peradilan formal yang selama ini diterapkan. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif.[20] Undang-Undang
ini juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan melalui diversi. Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara
dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Diversi ini bertujuan
sebagai berikut [21]:
a.
mencapai
perdamaian antara korban dan anak
b.
menyelesaikan
perkara Anak di luar proses peradilan
c.
menghindarkan
Anak dari perampasan kemerdekaan
d.
mendorong
masyarakat untuk berpartisipasi
e.
menanamkan
rasa tanggung jawab kepada Anak
Contoh-contoh kasus di atas
menunjukkan bahwa penerapan restorative
justice dalam penanganan perkara pidana di Indonesia telah dimungkinkan
pelaksanaannya. Dalam berhukum memang
seharusnya para pihak mempunyai hak dan kewenangan untuk ikut serta
penyelesaian, sehingga tidak hanya menjadi monopoli aparat penegak hukum. Namun, hambatan yang muncul seringkali
terbentur dengan tidak adanya pengaturan dalam hukum tertulis. Dasar hukum
penyelesaian perkara pidana dengan diversi saat ini hanya terbatas pada sistem peradilan
anak, sedangkan untuk orang dewasa masih berpedoman pada KUHAP.
B.
Menuju Cara Berhukum yang Fleksibel
Pada setiap
masyarakat terdapat sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang
harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan kekuasaan
terus berlanjut. Setiap pemerintahan akan selalu mendapatkan tuntutan untuk
mampu menjadi representasi kepentingan segenap rakyatnya. Oleh karena itu
setiap pemerintahan harus mampu menerapkan system pengaturan masyarakat yang
menganut prinsip keadilan. Jika suatu pemerintahan justru menjalankan suatu
orde yang membuat mayoritas rakyatnya merasa diposisikan secara tidak adil,
maka bisa dipastikan orde pemerintahan tersebut tidak akan berlangsung lama.
Tanpa keadilan maka kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa juga bisa
dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan kemakmuran yang sudah
mulai terbina akan segera hancur berantakan. Atau kalaupun tercipta kemakmuran
itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.[22]
Hasil
penyelesaian perkara pidana harus dapat mencapai keadilan bagi masing-masing
pihak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hukuman yang dijatuhkan
hendaknya pula berkemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan ini dapat
diwujudkan dalam keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Keseimbangan
yang adil akan mampu mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum tindak pidana
terjadi. Pelaku akan lebih bertanggungjawab pada perbuatan yang ia lakukan,
sehingga timbul hati nurani untuk meminta maaf dan berusaha tidak mengulangi
tindak pidana lagi. Korban pun juga dapat merasakan keseimbangan yang adil
bilamana kerugian yang ia derita akibat tindak pidana dapat tergantikan. Dalam
hukum pidana yang diatur di KUHP, memang tidak dikenal kewajiban ganti kerugian
yang dibebankan terhadap pelaku. Hal inilah yang kemudian menimbulkan rasa
ketidakpuasan bagi korban di mana setelah perkara ditangani oleh aparat penegak
hukum, maka tertutuplah bagi korban untuk menuntut kerugiannya. KUHAP engatur
kewenangan menuntut di muka persidangan hanya ada pada jaksa yang bertindak
mewakili Negara. Memang masalah ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dapat
ditempuh secara perdata dengan mengajukan gugatan di pengadilan, namun itu
memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar. Oleh karena itu diperlukan
penyelesaian perkara pidana secara cepat tepat sesuai keinginan korban dan
kemampuan pelaku. Di sinilah keseimbangan yang adil dapat diwujudkan.
Gustav
Radbruch menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan
keadilan bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang
berkembang seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk
keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan
manusia dan hidup bermasyarakat.[23] Oleh
karena itu dalam berhukum tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan.
Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan
masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
masyarakat entah bagaimana bentuknya. Tidak seharusnya keadilan bergantung pada
hukum tertulis. Keadilan itu terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk
peraturan tertulis. Untuk mencapai suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang
mampu melihat dan menggali keadilan itu. Maka dari itu sungguh disayangkan
apabila penegakan keadilan terhambat oleh peraturan tertulis yang merupakan
produk politik manusia. Suatu peraturan tertulis saja bisa ditafsirkan
bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil lah yang mampu menafsirkan hukum
yang berkeadilan.
Pendapat
Mahfud MD menyatakan bahwa hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari
belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna
menegakkan keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi
hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia. Sebenarnya
perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi
undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari
ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis
antara tradisi civil law
yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang
menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar
undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada
irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bukan “Demi Kepastian Hukum
Berdasarkan Undang-Undang.” Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim
membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa melanggar
ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan. Ada yang
mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk
menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti.
Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih
dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter
masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang
dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan
untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis. Meski demikian,
tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos
ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti
dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dalam
sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan
yang keluar dari undang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari
keyakinan untuk menegakkan keadilan.[24]
Pendapat Mahfud MD ini menurut penulis sejalan dengan pertimbangan hakim agung
yang mengadili perkara nomor Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007
dan Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009. Pada kedua putusan ini
hakim agung lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan restoratif dari pada
kepastian hukum.
Berdasarkan
contoh-contoh kasus yang penulis kaji di atas, maka penerapan restorative justice dalam perkara pidana
mempunyai persyaratan sebagai berikut :Pertama,
harus terdapat niatan atau itikad dari para pihak termasuk masyarakat. Itikad
ini muncul dari hati nurani untuk memaafkan pelaku tindak pidana. Tanpa ada
niatan dari semua pihak maka restorative
justice mustahil untuk diwujudkan. Kedua,
pelaku tindak pidana benar-benar menyesal dan berjanji tidak mengulangi
perbuatannya. Pelaku dalam hal ini harus meminta maaf kepada korban dan
keluarganya. Ketiga, bentuk
perdamaian berjalan secara seimbang yang membuat korban atau keluarganya tidak
akan menuntut lagi terhadap pelaku. Keempat,
bentuk penyelesaian antara pelaku dan korban atau keluarganya dapat diterima
oleh masyarakat. Walaupun masyarakat tidak terkena secara langsung tindak
pidana, namun pada dasarnya suatu tindak pidana merupakan peristiwa yang
meresahkan masyarakat. Hal ini berkaitan pula dengan tujuan restorative justice. Jika masyarakat
menerimanya maka pelaku pun dapat diterima kembali. Apabila keempatnya telah
terpenuhi maka tidak seharusnya aparat penegak hukum yang menangani membuat
keputusan yang bersifat kaku. Misalnya saja apabila perkara sudah terlanjur
dilimpahkan ke pengadilan, tidak harus menjatuhkan hukuman maksimal kepada
pelaku, vonis hendaknya mempertimbangkan perdamaian yang telah dibuat antara
pelaku dan korban atau keluarganya.
Penulis
berpendapat bahwa pihak yang dirugikan atas suatu tindak pidana harus diberikan
kewenangan untuk menyelesaikan tindak pidana yang menimpanya. Kewenangan di
sini terbatas pada niatan untuk menyelesaikan perkara secara cepat melalui
jalan damai. Jadi, sini ada dua pilihan bagi korban. Pertama, apabila pihak
korban mempunyai niatan untuk berdamai dan memaafkan pelaku, maka restorative justice diterapkan serta
korban dapat berperan secara aktif. Kedua, apabila tidak ada niatan damai dari
korban atau kekuarganya, maka perkara pidana tersebut menjadi wewenang penuh
aparat penegak hukum dengan tetap memperhatikan kerugian yang diderita korban.
Dengan demikian keseimbangan antara pelaku dan korban dapat terwujud di
tengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum tidak harus kaku, tujuan hukum tidak
terlapas dari keadilan sehingga bila keadilan telah terwujud tidak perlu
diperpanjang lagi dengan proses peradilan pidana. Pemberian maaf dan atau ganti
kerugian terbukti telah dapat mewujudkan keseimbangan, walaupun dalam peraturan
perundang-undangan tidak diatur. Dalam hukum Islam, pemberian maaf justru
berada dalam rangkaian penyelesaian perkara pidana berupa kejahatan terhadap
jiwa manusia. Hal ini dikarenakan masalah kejahatan terhadap jiwa manusia
selain menyangkut masalah publik juga mengandung adanya masalah perdata. Adanya
unsur keperdataan ini membawa konsekuensi bahwa pengenaan hukumannya diserahkan
kepada ahli waris (keluarga korban). Dengan demikian terhadap kejahatan
terhadap jiwa manusia, keluarga korban dapat memilih bentuk hukuman apakah
dengan qisas ataukah diyat, yakni mengganti kerugian kepada
keluarga korban, atau famili memaafkan dengan tidak menuntut balas terhadap
pelaku tindak pidana.[25] Bentuk penanganan
seperti inilah yang menjadikan penyelesaian perkara pidana menjadi
fleksibel.Keterlibatan pihak korban diperlukan karena dari sinilah dapat
diketahui bentuk keseimbangan. Cara penyelesaian seperti ini sangat baik untuk
dikembangkan agar penanganan perkara pidana tidak berjalan kaku.
V.
PENUTUP
1. Simpulan
a.
Penyelesaian
perkara pidana merupakan masalah
penting yang dihadapai masyarakat. Tidak ada satu orang pun ingin berhadapan
dengan hukum, oleh karena itu masyarakat membutuhkan penanganan yang cepat untuk
menghadapai perkara pidana secara adil dan seimbang. Pendekatan restorative justice di Indonesia sejauh
ini dapat diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana untuk mencapai keadilan.
Keadilan yang dimaksud merupakan keseimbangan antara pelaku dan korban atau
keluarganya. Hasil akhir dari restorative
justice yang diterapkan terbukti mampu mengembalikan harmonisasi sosial
sebagaimana sebelum tindak pidana terjadi.
b.
Pelaksanaan
restorative justice dalam
penyelesaian perkara pidana mampu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat,
karena pelaku dan korban sama-sama aktif dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan
demikian hasil kesepakatan antara pihak pelaku dan korban tindak pidana
merupakan murni kehendak yang seimbang masing-masing pihak. Restorative justice tidak harus
meninggalkan hukum positif, namun mampu membuat pelaksanaan hukum positif itu
berjalan lebih fleksibel (tidak kaku).
2. Saran
Menyelesaikan perkara pidana secara
cepat dan efektif merupakan harapan bagi masyarakat. Kesadaran budaya berhukum
berdasar nilai-nilai Pancasila harus dikembangkan baik itu oleh masyarakat
maupun aparat penegak hukum. Masyarakat harus sadar bahwa hukum pidana adalah ultimum remidium, sedangkan aparat
penegak hukum mengutamakan keadilan dalam penanganan perkara pidana, agar tidak
bersifat kaku. Oleh karena itu penulis menyarankan agar dalam penanganan
perkara pidana masing-masing aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim)
mempunyai standar operasional, ini akan menjadi pedoman bilamana dimungkinkan
dapat diselesaikan dengan restorative
justice. Misalnya saja apabila telah dicapai perdamaian antara pelaku dan
korban dan keluarganya maka perkara dihentikan. Namun, apabila telah
dilimpahkan ke pengadilan, adanya perdamaian menjadikan dasar pertimbangan
hakim untuk meringankan vonis terhadap terdakwa. Masing-masing aparat penegak
hukum harus aktif falam mengusahakan restorative
justice dalam perkara apapun. Dengan demikian pelaksanaan hukum acara
pidana tidak bersifat kaku.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008)
Karter, E.Y. dan
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHM- PTHM, 1982)
Madaniy,
A. Malik,Politik Berpayung
Fiqh (Yogyakarta :Pustaka Pesantren, 2010)
Manan, Bagir, Retorative Justice (Suatu
Perkenalan),dalam Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta:
Perum Percetakan Negara RI ,2008)
Marzuki,
Peter Mahmud,Penelitian
Hukum (Jakarta: Kencana, 2008)
Nations, United, Handbook on Restorative Justice
Programmes, (New York : United
Nations Publikation, 2006)
Rahardjo, Satjipto.
Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia
(Jakarta: Kompas,2003)
-----------------------.Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta : Genta Publishing, 2009)
Roestandi, Achmad,Responsi
Filsafat Hukum (Bandung : Armico,1992)
Syah, Ismail
Muhammad, et al, Filsafat Hukum Islam
(Jakarta : Bumi Aksara & Departemen Agama RI, 1998)
Utrecht,
E. Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta:
Balai Buku Ichtiar, 1962)
Jurnal
Prayitno, Kuat
Puji,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In
Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012
Makalah
Asshiddiqie, Jimly, ”Pembangunan Hukum dan Penegakan
Hukum di Indonesia” (makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal
Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada. 17 Februari 2006)
Rahardjo, Satjipto,
“Rekonstruksi Pemikiran
Hukum di Era Reformasi” (makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH,
UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000)
---------------------. “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”. (Makalah dalam Seminar
Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007)
Utomo,
Setyo,”Sistem Pemidanaan dalam Hukum
Pidana yang Berbasis Restorative Justie” (makalah disampaikan dalam
kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA
DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional /BPHN Departement
Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)
Internet
MD, Mahfud.“Penegakan
Keadilan di Pengadilan” http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26 (diakses 20 Mei 2013)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009
[1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 124
[2] Satjipto Rahardjo.Hukum Progresif Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia (Yogyakarta
: Genta Publishing, 2009), hlm.138
[3] Satjipto Raharjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era
Reformasi” (makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH,
UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000), hlm.4
[4] Satjipto Rahardjo. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Kompas,2003),
hlm.170
[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM,
1982), hlm. 16
[6] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar,
1962), hlm. 230
[7] United
Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York : United Nations
Publication, 2006), hlm. 6
[8] Bagir Manan, Retorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian
Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara
RI ,2008), hlm. 7
[9] Satjipto Rahardjo. “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”. (Makalah dalam Seminar
Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007)
[10] Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk
Peradilan di Indonesia (Perspektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika
Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012. hlm. 411
[11] Setyo Utomo,”Sistem Pemidanaan dalam Hukum
Pidana yang Berbasis Restorative Justie” (makalah disampaikan dalam kegiatan
Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional /BPHN Departement Hukum dan HAM,
di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)
[12] Ibid
[13] Jimly Asshiddiqie.” Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia” (makalah
Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka
Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006)
[14] Ibid
[15] Positivisme
adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa
teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum
tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula
membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi,Responsi Filsafat Hukum
(Bandung : Armico,1992) hlm. 80
[16] Studi dokumen penulis terhadap berkas
perkara. Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Nomor :
SP.Han/53/III/2013/Reskrim tanggal 23 Maret 2013 dengan pertimbangan telah
diperoleh bukti yang cukup. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan Barang Bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
[17] Wawancara penulis dengan Ida Widaningsih (Ibu
Luthfi Widayanto) dan Ari Santoso (kuasa hukum pelaku). Pada tanggal 27 Maret
2013 keluarga tersangka dan korban mengadakan mediasi di Polsek Jaten. Mediasi
ini pula diikuti oleh tokoh masyarakat, kepala dusun, dan kepala desa setempat.
Musyawarah ini akhirnya menghasilkan perdamaian yang isinya pihak keluarga
tersangka dan korban sepakat menyelesaikan perkara pidana ini secara damai.
Pihak tersangka bersedia meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi. Pihak keluarga tersangka juga memberikan ganti kerugian kepada korban yang bersarnya
sekitar Rp 700.000,- (Tujuh ratus ribu rupiah). Kesepakatan ini dituangkan
dalam perjanjian perdamaian yang dibuat secara tertulis disaksikan oleh kepala
dusun, dan ditandatangani pula oleh Kepala Desa Jaten. Atas dasar surat
perjanjian perdamaian itu korban mencabut laporan atas kedua tersangka. Akhirnya
tersangka dibebaskan dan perkara selesai
[18] Lihat
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009
[19] Lihat
Putusan Mahkamah Agung Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007
[20] Keadilan
restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Anak diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Lihat Pasal 1 huruf 6.
[21] Pasal
6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
[22] A. Malik Madaniy,Politik Berpayung Fiqh (Yogyakarta :Pustaka
Pesantren, 2010) hlm. 33-34
[23] Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum (Jakarta:
Kencana, 2008) hlm. 23
[24] Mahfud
MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan” http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26 (diakses 20 Mei 2013)
[25] Ismail
Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum
Islam (Jakarta : Bumi Aksara & Departemen Agama RI, 1998), hlm. 227
[1] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2008), hlm. 124
[2] Satjipto Rahardjo.Hukum Progresif Sebuah Sintesa
Hukum Indonesia (Yogyakarta
: Genta Publishing, 2009), hlm.138
[3] Satjipto Raharjo, “Rekonstruksi Pemikiran Hukum di Era
Reformasi” (makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional Menggugat Pemikiran Positivisme di Era Reformasi, ODIH,
UNDIP. Semarang, 22 Juli 2000), hlm.4
[4] Satjipto Rahardjo. Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Kompas,2003),
hlm.170
[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM- PTHM,
1982), hlm. 16
[6] E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar,
1962), hlm. 230
[7] United
Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York : United Nations
Publication, 2006), hlm. 6
[9] Satjipto Rahardjo. “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”. (Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007)
[10] Kuat Puji Prayitno,”Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012. hlm. 411
[11] Setyo Utomo,”Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative Justie” (makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional /BPHN Departement Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010)
[12] Ibid
[13] Jimly Asshiddiqie.” Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia” (makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006)
[14] Ibid
[15] Positivisme adalah salah satu aliran dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam masyarakat. Lihat Achmad Roestandi,Responsi Filsafat Hukum (Bandung : Armico,1992) hlm. 80
[16] Studi dokumen penulis terhadap berkas perkara. Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP.Han/53/III/2013/Reskrim tanggal 23 Maret 2013 dengan pertimbangan telah diperoleh bukti yang cukup. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan Barang Bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
[17] Wawancara penulis dengan Ida Widaningsih (Ibu Luthfi Widayanto) dan Ari Santoso (kuasa hukum pelaku). Pada tanggal 27 Maret 2013 keluarga tersangka dan korban mengadakan mediasi di Polsek Jaten. Mediasi ini pula diikuti oleh tokoh masyarakat, kepala dusun, dan kepala desa setempat. Musyawarah ini akhirnya menghasilkan perdamaian yang isinya pihak keluarga tersangka dan korban sepakat menyelesaikan perkara pidana ini secara damai. Pihak tersangka bersedia meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Pihak keluarga tersangka juga memberikan ganti kerugian kepada korban yang bersarnya sekitar Rp 700.000,- (Tujuh ratus ribu rupiah). Kesepakatan ini dituangkan dalam perjanjian perdamaian yang dibuat secara tertulis disaksikan oleh kepala dusun, dan ditandatangani pula oleh Kepala Desa Jaten. Atas dasar surat perjanjian perdamaian itu korban mencabut laporan atas kedua tersangka. Akhirnya tersangka dibebaskan dan perkara selesai
[18] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/Pid/2009 tertanggal 24 November 2009
[19] Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 107 PK/Pid/2006 tertanggal 21 November 2007
[20] Keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak diartikan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Lihat Pasal 1 huruf 6.
[21] Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
[22] A. Malik Madaniy,Politik Berpayung Fiqh (Yogyakarta :Pustaka Pesantren, 2010) hlm. 33-34
[23] Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 23
[24] Mahfud MD. “Penegakan Keadilan di Pengadilan” http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26 (diakses 20 Mei 2013)
[25] Ismail Muhammad Syah, et al, Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Bumi Aksara & Departemen Agama RI, 1998), hlm. 227
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment