MEWUJUDKAN SISTEM PENYELESAIAN HASIL PEMILUKADA YANG EFEKTIF DAN BERKEADILAN

Bookmark and Share
Oleh :Kelik Pramudya
(Dimuat Jurnal Rectsvinding Volume 4 Nomor 1 Tahun 2015)


Abstrak
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah sering menimbulkan sengketa mengenai penetapan hasil perolehan suara. Upaya yang dilakukan oleh calon yang tidak puas atas penetapan ini ialah mengajukan pembatalan ke lembaga peradilan. Pembaharuan mengenai sistem penyelesaian hasil pemilihan dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini antara lain : bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa sebelum dikeluarkan peraturan tersebut, apa pembaruan yang terdapat dalam peraturan tersebut dan bagaimana mewujudkan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan yang efektif dan berkeadilan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangn dan analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembaharuan mendasar terletak pada lembaga yang berwenang menangani yaitu dari Mahkamah Konstitusi beralih ke Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Penulis merekomendasikan bahwa pembaharuan tersebut harus didukung oleh peraturan teknis untuk menjamin kefektifan dan memenuhi rasa keadilan.
Kata kunci: Pemilukada, Sengketa, Pemerintah Daerah      


A.     PENDAHULUAN
Penyelenggaraan pemerintahah daerah di Indonesia dilaksanakan menurut prinsip demokrasi sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Dalam pasal tersebut diatur bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Pengatuan mekanisme jabatan kepala daerah dalam konstitusi pasca amandemen menunjukkan bahwa pengisian kepala daerah dalam lingkup pemenrintahan daerah menjadi bagian penting dalam demokratisasi di Indonesia. Ketentuan tersebut kemudian dipertegas dalam Undang-Undang  Nomor  32  Tahun  2004  tentang Pemerintahan  Daerah,  di mana pemilihan  kepala  daerah  dan  wakil kepala  daerah  yang  dipilih  secara  langsung  oleh  rakyat  yang  diajukan  oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sebelumnya gubernur, bupati dan walikota dipilih oleh sekelompok orang tertentu yakni para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) sesuai dengan tingkatannya masing-masing, maka dengan diberlakukannya Undang-Undang tersebut mereka harus dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat yang memiliki hak pilih di masing-masing daerah. Pemilihan kepala daerah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Sistem pemilihan secara langsung ini telah membuka keterlibatan seluas-luasnya bagi segenap rakyat dalam proses pemilihan pemimpin pemerintahan daerah mereka. Selain merupakan implikasi dari posisi pemerintahan daerah yang menjadi lebih otonom dari pemerintah pusat, keinginan untuk memberikan pendidikan politik dalam proses berdemokrasi tampaknya juga melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah.[1] Menurut Mahfud MD ada dua alasan mengapa pemilihan langsung dianggap perlu. Pertama, pemilihan langsung lebih membuka peluang tampilnya calon pemimpin yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan oleh parlemen.[2] Pemilihan kepala daerah secara langsung jelas memberikan kesempatan kepada rakyat untuk aktif berpartisipasi dalam membangun daerahnya melalui pemimpin yang mereka pilih. Sistem pilkada seperti ini didasarkan pada prinsip demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.  Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.[3]Dalam konsep otonomi daerah kepala daerah memiliki peran penting yang menentukan dalam pemerintahan daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah akan menentukan pembangunan dan kesejahteraan daerahnya, atau dengan kata lain kerhasilan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah ditentukan oleh kepala daerah. Oleh karena itu diperlukan kepemimpinan kepala daerah yang berkualitas. Melalui pemilihan langsung ini akan memperbesar harapan untuk mendapatkan figur pemimpin aspiratif, kompeten dan mempunyai legitimasi tinggi di hadapan rakyat.[4]
Namun  di sisi  lain,  pemilihan  Kepala  Daerah  (Gubernur,  Bupati/  Walikota)  yang berlangsung  di  berbagai  daerah   sekarang  ini  juga  memiliki  banyak  catatan  tentang kecurangan dan diabaikannya  kesejahteraan masyarakat pasca pemilukada langsung. Pelaksanaan demokrasi di daerah ini tidak jarang hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan dan pertaruhan kepentingan sejumlah kalangan.[5] Praktek  money  politic,  black  campaign,  membeli  suara,  dan  kecurangan  dalam penghitungan  suara  menjadi  awal  wajah  pemilukada  langsung  yang  tidak dapat dielakkan[6]. Banyaknya pelanggaran yang terjadi tersebut berujung pada sengketa hasil pilkada di mana calon yang kalah akan mengajukan gugatan di lembaga peradilan. Berbagai permasalahan yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan Pemilukada di Indonesia menunjukkan bahwa masih belum adanya perangkat penegakan hukum yang efektif dan memenuhi rasa keadilan. Oleh karena itu dengan pertimbangan mengurangi sengketa yang terjadi dan menghemat anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyusun Undang-Undang baru tentang Pemilihan Kepala Daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 di mana diatur pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Menurut Arif Maulana, pengembalian sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD memang tidak melanggar konstitusi, hanya saja hal ini merupakan suatu bentuk kemunduran proses demokrasi dan bukan jaminan akan memperbaiki keadaan. Pemilihan secara langsung sebaiknya tetap dipertahakan dengan catatan harus dilakukan perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang ada dengan mengupayakan efektifitas penyelenggaraan pemilukada dan tetap menjaga tetap tegaknya prinsip-prinsip demokrasi dengan tujuan demokratisasi mampu memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat.[7]
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tersebut mendapat penolakan keras termasuk dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut disahkan  DPR melalui sidang paripurna di mana semua fraksi menyetujui. Perppu ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Dalam Perppu tersebut masih dikehendaki bahwa Pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat. Beberapa materi penting dalam Perppu tersebut salah satunya tentang pembaharuan penyelesaian sengketa hasil Pemilukada. Namun, mekanisme tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Membahas mengenai penyelesaian sengketa sangatlah menarik karena dari sini dapat diuji apakah keadilan dan kepastian hukum dapat diwujudkan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut :
1.      Bagaimana penyelesaian perselisihan hasil pemilukada sebelum dikeluarkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ?
2.      Apa pembaharuan yang muncul dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada setelah dikelurkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ?
3.      Bagaimana penyelesaian perselisihan hasil pemilukada yang efektif dan berkeadilan?

B.      METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.[8] Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approache) dan pendekatan analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder. Data ini tidak diperoleh langsung di lapangan, tetapi diperoleh dari bahan pustaka. Untuk memperoleh bahan-bahan hukum yang diperlukan, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan dan pengkajian bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, karya-karya ilmiah serta dokumen-dokumen tertulis lainnya.

C.      PEMBAHASAN
1.      Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada Sebelum Perppu Nomor 1 Tahun 2014
Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu pembaharuan dalam sistem demokrasi di Indonesia dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat secara penuh. Pemilihan kepala daerah ini didasari Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 pasca amandemen yang berbunyi : “Gubernur, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi , kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah maka telah tercipta suasana baru dalam proses pemilihan kepala daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten dan kota. Pemilukada merupakan suatu aktifitas dari proses demokrasi yang tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu karena Pemilukada mempunyai output yakni pejabat politik (elected official) bukan memilih pejabat administratif (appointed official)[9]. Pemilukada langsung diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif daerah yang kuat dan berkualitas. Dengan demikian, kepala daerah akan lebih akuntabel pada rakyat dan bukan pada golongan tertentu yang pada akhirnya pengambilan kebijakan publik selalu berorientasi pada kepentingan rakyat, dan jauh dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN)[10]. Namun, pelaksanaan Pemilukada menimbulkan masalah baru dengan adanya pelanggaran yang merusak sistem dan tatanan demokrasi. Beberapa pelanggaran yang terjadi di Pemilukada misalnya : pelanggaran administratif, money politic[11], intimidasi, dan penganiayaan. Oleh sebab itu, pengaturan Pemilukada memang seharusnya ditinjau ulang mengingat sering terjadi pelanggaran pada setiap penyelenggaraannya, salah satunya mengenai penyelesaian perselisihan hasil pemilihan Pemilukada.
Sengketa hasil pemilukada sejak tahun 2008 diselesaikan melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 setelah sebelumnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung.[12] Menurut Undang-Undang Nomor  12 Tahun 2008 setiap perselisihan hasil Pemilukada di Indonesia menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini sebagaimanan pengaturan Pasal 236C yang menegaskan bahwa :“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Kewenangan Mahkamah Konstitui sendiri diatur dalam Pasal 24C UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang salah satunya ialah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun, bila diperhatikan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tidak menyebut latar belakang mengapa kewenangan tersebut kemudian beralih ke Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa Pemilukada tidak hanya membedah permohonan dengan melihat perolehan hasil suara, melainkan juga meneliti secara mendalam adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif yang mempengaruhi hasil perolehan suara tersebut.[13] Pada dasarnya pelanggaran Pemilukada  yang  bersifat sistematis, terstruktur, dan masif ini adalah pelanggaran Pemilu biasa, tetapi karena memiliki unsur sistematis, terstruktur dan masif, sehingga pelanggaran ini dapat membatalkan hasil Pemilukada. Istilah sistematis, terstruktur, dan masif adalah sebagai berikut :[14]
a.      Pelanggaran  itu  bersifat  sistematis,  artinya  pelanggaran  ini  benar-benar  direncanakan secara matang (by design);
b.      Pelanggaran  itu  bersifat  terstruktur,  artinya  pelanggaran  ini  dilakukan  oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat  penyelenggara  Pemilukada  secara kolektif bukan aksi individual;
c.       Pelanggaran itu bersifat masif, artinya dampak pelanggaran ini sangat luas dan bukan sporadis.
Dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan makna hukum dan keadilan dalam penanganan permohonan baik Pengujian Undang-Undang maupun sengketa Pemilu atau Pemilukada.
Peralihan kewenangan Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan banyaknya perkara sengketa hasil pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi karena hampir setiap pelaksanaan Pilkada selalu menimbulkan masalah mengenai penetapan hasil. Akibatnya penyelesaian sengketa hasil Pemilukada dirasakan tidak berjalan efektif. Banyaknya perkara pemilukada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi menimbulkan tekanan beban kerja  yang cukup besar terhadap sembilan hakim konstitusi. Tekanan ini terjadi akibat banyaknya perkara yang masuk dan singkatnya waktu  penyelesaian yang  menurut  undang-undang  hanya  14  hari  kerja. Bertambahnya kewenangan mengadili sengketa Pemilukada yang begitu banyak cenderung menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai  Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah  perkara  sengketa  pemilu  yang  ditangani  lebih  banyak  volumenya  dibandingkan pengujian  undang-undang (Judicial  Review) yang  merupakan  kewenangan  utama. Namun  demikian,  tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  dalam  kenyataannya  Mahkamah Konstitusi  berperan penting  dalam  penyelesaian  sengketa  hasil  pemilukada.  Mahkamah Konstitusi   mampu  memfasilitasi  konflik politik  yang  merupakan  hasil  pemilukada  dengan  membawanya  dari  konflik  yang  terjadi, yang bisa memicu konflik horizontal antar pendukung ke gedung Mahkamah Konstitusi. Di tingkat tertentu Mahkamah Konstitusi telah  memiliki  prestasi  dalam  mendorong  pelaksanaan  pemilukada  yang  demokratis. Akan tetapi, dalam titik tertentu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki masalah yang mengganggu perannya sehingga tidak berjalan secara efektif.[15]
Ketidakefektifan penyelesaian sengketa Pemilukada di Mahkamah Konstitusi ini diperparah lagi dengan kasus yang menimpa Akil Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena kasus suap berkenaan dengan perkara Pilkada yang ditanganinya. Kasus korupsi Akil merupakan salah satu skandal terbesar sepanjang sejarah peradilan di  Indonesia karena belum pernah terjadi seorang hakim yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi dikenakan hukuman penjara karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Hal ini akan sangat mungkin menciptakan mafia peradilan[16] baru di Mahkamah Konstitusi yang selama ini dikenal sebagai lembaga peradilan yang bersih. Mafia peradilan sudah dapat dipastikan akan merusak sistem sosial di masyarakat dan menghasilkan putusan yang tidak menjamin keadilan.
Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi menghapus kewenangannya dalam menangani sengketa Pemilukada sebagaimana dalam Putusan Putusan  No.  97/PUUXI/2013. Dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi berpendapat, dalam memahami kewenangan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, harus kembali melihat makna teks, original  intent, makna gramatika yang komprehensif terhadap UUD NRI 1945. Oleh karena itu, pemilihan umum menurut Pasal 22E UUD NRI 1945 harus dimaknai secara limitatif,  yaitu pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD dan dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Berdasarkan putusan tersebut, yang dimaksud pemilihan umum setiap lima tahun sekali pada Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD serta  Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan setiap lima tahun sekali. Dengan demikian penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pemilukada dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 adalah inkonstitusional.[17] Di samping itu latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi disebabkan oleh adanya kebutuhan untuk melakukan pengujian atas Undang-Undang walaupun dalam perkembangannya kemudian Mahkamah Konstitusi juga diberikan kewenangan lain dalam rangka mengawal konstitusi dan penyelenggaraan Negara berdasarkan prinsip konstitusionalisme. Dalam rangka fungsi dan wewenangnya itulah UUD NRI 1945 mendesain Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah ketatanegaraan dengan kewenanganya yang spesifik pula, yaitu mengadili perkara-perkara konstitusional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.  

2.      Pembaruan Sistem Peradilan Pemilukada Menurut Perppu Nomor 1 Tahun 2014
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 kembali mengamanatkan bahwa pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan prinsip-prinsip demokrasi.  Perppu ini sekaligus mementahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 yang mana pemilukada cukup dilaksanakan melalui DPRD di masing-masing provinsi, kabupaten/kota. Dinamika penyelenggaraan Pemilukada ini menarik untuk dikaji terutama sistem peradilan perselisihan hasil penghitungan suara.  Banyaknya perkara Pilkada yang masuk ke Mahkamah Konstitusi menimbulkan problematika baru dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatur sistem penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada secara epat dan efisien.  Perppu ini dikeluarkan dalam  rangka  menegakkan  supremasi  hukum  dalam  konteks  kesatuan hukum  nasional  yang di dalamnya mengatur  penyelesaian  baik penyelesaian  untuk  perselisihan  hasil Pemilihan  Gubernur  maupun  perselisihan  hasil  Pemilihan  Bupati dan Walikota.
Penyelesaian sengketa hasil pemilukada diatur secara rinci dalam Pasal 156 sampai dengan Pasal 159 Perppu Nomor 1 Tahun 2014. Dalam Pasal 156 ayat (1) perselisihan hasil pemilihan diartikan sebagai perselisihan antara KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dan peserta Pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilihan. Penetapan perolehan yang dimaksud ialah perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon untuk maju ke putaran berikutnya atau penetapan calon terpilih.  Apabila terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan  pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung dalam waktu paling lama 3x24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Hal ini berarti penyelesaian sengketa hasil Pemilukada dikembalikan lagi menjadi kewenangan Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi. Mahkamah Agung dalam hal ini menetapkan empat Pengadilan Tinggi yang secara khusus berwenang menangani sengketa hasil Pemilukada. Penanganan di Pengadilan Tinggi inipun dilakukan oleh hakim adhoc yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
Pengajuan permohonan dilengkapi dengan alat bukti dan surat keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi perhitungan suara pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x24 jam sejak diterimanya permohonan oleh Pengadilan Tinggi. Pemberian waktu untuk memperbaiki permohonan ini untuk meminimalisir kesalahan yang menyebabkan permohonan tidak dapat diterima. Penyelesaian di Pengadilan Tinggi tersebut dibatasi waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan. Pembatasan waktu tersebut sebelumnya juga diterapkan ketika masih menjadi kewenagan Mahkamah Konstitusi. Apabila ternyata ada pihak  yang tidak menerima Putusan Pengadilan Tinggi dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung paling lama tiga hari sejak putusan Pengadilan Tinggi dibacakan. Mahkamah Agung memutuskan permohonan keberatan paling  lama  empat belas hari sejak diterimanya permohonan. Putusan Mahkamah Agung  tersebut bersifat final dan mengikat sehingga KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti. Prosedur penanganan perselisihan hasil Pemilukada di atas kurang lebih dapat penulis gambarkan sebagai berikut :
Bagan 1. Prosedur penyelesaian hasil pemilukada menurut Perppu Nomor 1 Tahun 2014
 










                                                                              

Perbedaan paling mendasar dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada di atas ialah kewenangan mengadili yang sebelumnya ada di Mahkamah Konstitusi. Di samping itu dalam Perppu nomor 1 Tahun 2014 ini terdapat dua tingkatan peradilan yaitu di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada peraturan sebelumnya penyelesaian sengketa hasil Pemilukada hanya terdapat satu tingkatan peradilan yang putusannya bersifat final yaitu di Mahkamah Konstitusi. Sistem penyelesaian tersebut diatur agar sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Penyelesaian di empat Pengadilan Tinggi yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung ini diharapkan efektif karena beban kerja yang dibagi. Sebelumnya semua perkara Pemilukada bertumpuk di Mahkamah Konstitusi sedangkan menurut Perppu di atas dibagi ke dalam empat Pengadilan Tinggi yang di dalamnya beranggotakan hakim adhoc. Dengan demikian penambahan tugas Pengadilan Tinggi yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung di atas tidak menganggu tugas utama yaitu memeriksa perkara di tingkat banding.
Namun, dalam perkembangannya mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut kemudian mengalami perubahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa  dan diadili oleh badan peradilan khusus. Namun, Undang-Undang sendiri tidak menjelaskan secara rinci maksud dari badan peradilan khusus tersebut. Undang-Undang hanya menjelaskan bahwa badan peradilan khusus bertugas menyelesaian sengketa hasil pemilukada da dibentuk sebelum pelaksanaan pemilukada serentak. Sebelum terbentuknya badan peradilan khusus ini maka penyelesaian sengketa hasil pemilukada kembali ditanganai oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian tugas Mahkamah Konstitusi yang sebelumnya menyatakan tidak berwenang menangani perkara pemilukada menjadi panjang. Dibentuknya badan peradilan khusus tersebut merupakan bentuk kemunduran dan ketidakrampingan sistem hukum di Indonesia.
  
3.      Penyelesaian Pemilukada yang Efektif dan Berkeadilan
Dalam gagasan demokrasi modern, hukum menempati posisi yang sangat sentral. Demokrsi yang diidealkan haruslah diletakkan dalam koridor hukum. Tanpa hukum demorasi justru dapat berkembang ke arah yang keliru karena hukum dapat ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi.[18]Pengaturan hukum Pemilukada diperlukan guna menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati,dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Indikator demokratis  dalam penyelenggaraan  Pemilukada  dapat  diukur dari  ketaatan penyelenggara Pemilukadaterhadap  asas  langsung,  umum,  bebas,  rahasia,  jujur,  dan  adil. Ukuran  demokratis  lain  dalam  penyelenggaraan Pemilukada  dapat  diukur  dari  kemandirian  dan  integritas  penyelenggara Pemilukada, yang mempengaruhi proses penyelenggaraan dan hasil Pemilukada itu sendiri.[19]
Selama ini peraturan Pemilukada masih dirasa belum dapat berfungsi sebagai aturan main guna membatasi tingkah laku pemilih, pendukung dan kandidat Pemilukada. Konsekuensinya, ketentuan perundang-undangan berpotensi besar untuk gagal berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum dalam proses penyelenggaraan Pilkada[20]. Munculnya konflik, pelanggaran dan menumpuknya perkara Pemilukada di Mahkamah Konstitusi seakan menjadi bukti bahwa Pemilukada menjadi pemicu konflik. Selain itu kualitas penegak hukum dalam penyelesaian sengketa dikeluhkan oleh masyarakat, salah satu penyebabnya karena masih  minimnya  program  untuk  peningkatan  pemahaman dan kapasitas dalam menangani berbagai pelanggaran Pemilukada.
Perbaikan sistem penyelesaian sengketa dilakukan dalam rangka menegakkan hukum Pemilukada. Dalam hal ini lembaga peradilan memainkan peranan penting karena merupakan satu-satunya institusi formal yang diberi mandat untuk mengelola segala permasalahan hukum guna mendapatkan keadilan. Lembaga ini pula yang menjadi andalan masyarakat dan bahkan menjadi tumpuan harapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan melalui hukum.[21]Namun demikian, penyelesaian sengketa di pengadilan seringkali mendapat kitik tajam baik dari praktisi maupun akademisi. Peran dan fungsi peradilan mempunyai beban kerja yangterlapau padat, lama, biaya mahal serta kurang tanggap terhadap kepentingan umum. Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sebenarnya telah mengatur sebuah konsep penanganan sengketa hasil Pemilukada yang sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Apabila dilihat secara seksama apa yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sebenarnya merupakan perbaikan dari sistem yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun, sistem yang belum terlaksana tersebut telah kembali mengalami perubahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 penanganan penyelesaian sengketa hasil Pemilukada diselesaikan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung Dalam melaksanakan kewenangannya ini dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara  pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Sedangkan dalam Perppu penanganannya diselesaikan di Pengadilan Tinggi yang ditunjuk. Mahkamah Agung hanya berwenang untuk memutus permohonan keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi.
Penyelesaian di Pengadilan Tinggi ini telah jelas yaitu dengan menggunakan hukum acara dengan batasan waktu yang sangat cepat yaitu hanya empat belas hari.  Namun, Mahkamah Agung perlu mengeluarkan peraturan sendiri untuk pelaksanaan secara teknis. Hal yang menarik di sini ialah penyebutan istilah “keberatan” sebagai upaya hukum atas Putusan Pengadilan Tinggi. Sebelumnya dalam Undang-Undang Nomro 32 Tahun 2004 istilah keberatan ke Mahkamah Agung berarti upaya hukum yang diajukan karena tidak menyetujui penetapan hasil Pemilukada, sehingga Mahkamah Agung bertindak sebagai judex factie. Khusus mengenai sengketa hasil Pemilukada di kabupaten/kota, Mahkamah Agung mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi, sehingga Pengadilan Tinggi yang memeriksa dan memberikan putusan final. Perppu tersebut tidak menggunakan istilah kasasi yang berarti Mahkamah Agung hanya bertindak sebagai judex juris sehingga hanya memeriksa penerapan hukumnya. Menurut penulis adanya upaya hukum keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 nantinya akan memperpanjang proses penyelesaian sengketa Pemilukada yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru. Hal ini karena setiap Putusan Pengadilan Tinggi pasti akan diajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. Apabila hal ini terjadi maka dapat dipastikan beban kerja Mahkamah Agung semakin bertambah. Menurut Todung Mulya Lubis, Pengadilan Tinggi hendaknya menjadi puncak dari pencarian keadilan. Apabila Mahkamah Agung tetap diberi tugas menerima permohonan kasasi ataupun keberatan pada semua jenis perkara maka Mahkamah Agung akan menjadi pasar jual beli. Di tengah godaan pasar maka putusan Mahkamah Agung juga akan tergantung pada selera pasar. Di sinilah korupsi, kolusi dan nepotisme berkembang biak.[22] Bahkan sangat mungkin kasus Akil Mochtar akan terulang pada hakim-hakim Agung. Para pencari keadilan  (justiciabellen)  tentu sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan putusanputusan yang tidak saja mengandung aspek kepastian hukum (keadilan prosedural), tetapi juga berdimensikan  legal justicemoral justice dan social justice. Karena keadilan itulah yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan[23].
Oleh sebab itu Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 159 ayat (7) harus mengeluarkan Peraturan tersendiri mengenai teknis penyelesaian sengketa. Menurut penulis Peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ini paling tidak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a.      Penyederhanaan hukum acara yang dipakai dalam persidangan di Pengadilan Tinggi. Selama ini proses beracara di pengadilan baik perdata maupun pidana dianggap terlalu lama karena dianggap terlalu formalistik. Penyederhaan ini akan membantu hakim dalam penyelesaian sengketa yang menurut peraturan dibatasi hanya empat belas hari. Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan murah harus benar-benar diterapkan dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilukada di Pengadilan Tinggi agar proses peradilan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip tersebut berkaitan dengan upaya mewujudkan salah satu unsur Negara hukum, yaitu equality before the law. Apabila proses peradilan berjalan rumit, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di pengadilan[24];
b.      Dalam hal pembuktian Mahkamah Agung perlu mengatur macam-macam alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan untuk memudahkan pemohon dalam mempersiapkannya. Selain itu dalam agenda pemeriksaan saksi harus dimungkinkan dilakukannya persidangan jarak jauh (video conference) sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;
c.       Adanya pengaturan yang tegas mengenai sifat pelanggaran yang dapat membatalkan hasil Pemilukada, misalnya pelanggaran yang bersifat sistematis,  terstruktur, dan masif. Pelanggaran tersebut pun harus dapat dibuktikan di persidangan. Ketentuan ini diperlukan agar hakim berhati-hati dalam menjatuhkan putusan;
d.      Adanya batasan yang bersifat limitatif untuk pengajuan upaya hukum keberatan ke Mahkamah Agung sehingga tidak semua perkara sengketa Pemilukada yang sudah diputus Pengadilan Tinggi dapat diajukan keberatan ke Mahkamah Agung.  Pengaturan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi menumpuknya perkara di Mahkamah Agung;
e.      Pemeriksaan keberatan oleh Mahkamah Agung terhadap Putusan Pengadilan Tinggi hanya mengenai penerapan hukumnya, sehingga Mahkamah Agung di sini jangan sampai berperan sebagai peradilan ulang. Mahkamah Agung harus tetap berperan sebagai judex juris, sehingga tidak perlu memeriksa lagi fakta-fakta yuridis karena hal itu sudah dilakukan oleh Pengadilan Tinggi.
Sistem penyelesaian sengketa pemilukada yang sebelumnya telah diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tersebut pada dasarnya sudah memenuhi prinsip penyelesaian sengketa yang efektif dan berkeadilan akan tetapi perlu dilakukan penambahan sebagaimana telah penulis uraian di atas. Setiap sengketa yang terjadi pasti menuntut penyelesaian yang tepat. Mahkamah Agung dalam hal ini memainkan peranan penting apakah penyelesaian sengketa Pemilukada dapat berjalan efektif atau tidak. Keefektifan sistem penyelesaian sengketa Pemilukada yang baru ini tergantung dari kualitas dan profesionalitas Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung harus  menggali  keadilan  dengan  menilai  dan  mengadili  hasil penghitungan  yang  diperselisihkan. Pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil penghitungan suara harus pula dinilai untuk menegakkan keadilan. Dalam memeriksa dan mengadili sengketa hasil Pemilukada Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung harus memperhatikan keadilan substansial (substantial justice) sebagaimana yang dilakukan Mahkamah Konstitusi. Selama ini putusan  Mahkamah Konstitusi  lebih  mendasarkan  dan  menggunakan  pendekatan substantial  justice dengan  mempersoalkan electoral  process.  Mahkamah  Konstitusi secara  tegas menjustifikasi  bahwa  dirinya  mempunyai  kewenangan  untuk  mempersoalkan judicial process untuk memastikan kualitas bukan sekedar kuantitas pemilu dengan menyatakan secara materiil  telah terjadi  pelanggaran  ketentuan Pemilukada  yang  berpengaruh  pada perolehan suara.[25] Langkah tersebut merupakan suatu terobosan  hukum  yang  perlu dilakukan  untuk memajukan  demokrasi  dan  melepaskan  diri  dari  kebiasaan  praktik  peradilan yang terlalu prosedural. Aspek keadilan dalam peradilan sangatlah penting dan harus dikedepankan karena menurut ketentuan  Pasal  24  ayat  (1)  UUD  NRI 1945  menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

D.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.      Penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada sebelum dikeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 di mana merupakan perluasan makna pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 22E UUD NRI 1945. Kewenangan ini kemudian oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional sehingga harus dihapus, namun demikian Mahkamah Konstitusi tetap berwenang mengadili sengketa hasil Pemilukada sampai ditetapkan lembaga yang berwenang.
b.      Pembaharuan yang muncul berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 ialah kewenangan mengadili sengketa hasil Pemilukada menjadi kewenangan Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi tersebut terdiri dari hakim adhoc dan wajib menyelesaikan perkara dalam waktu empat belas hari. Upaya hukum atas putusan Pengadilan Tinggi hanyalah upaya keberatan ke Mahkamah Agung yang putusannya bersifat final dan harus dilaksanakan.  
c.       Penyelesaian sengketa hasil Pemilukada yang efektif dan berkeadilan dapat dilakukan dengan melakukan penyederhanaan hukum acara. Mahkamah Agung berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung serta Surat Edaran yang memuat pelaksanaan persidangan dan upaya hukum pembuktian pada sengketa hasil pemilukada. Sejauh mana efektifitas sistem peradilan sengketa Pemilukada tersebut tergantung pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.

2.      Saran
a.      Sistem penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang telah diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2014 sebenarnya telah memenuhi prinsip penyelesaian yang efektif dan berkeadilan, namun perlu dilakukan perubahan khususnya mengenai penyederhanaan hukum acara;
b.      Berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2015 Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung guna menangani perselisihan hasil pemilukada hendaknya mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Pembagian kompetensi relatif empat Pengadilan Tinggi harus dilakukan secara merata meliputi wilayah Indonesia Barat, Tengah, dan Timur. Dengan demikian tidak menyulitkan pemohon selama proses persidangan. Selain itu perlu disediakan sarana penunjang agar persidangan berjalan lancar misalnya fasilitas persidangan jarak jauh sebagaimana sebelumnya telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi;
c.       Hakim yang dipilih untuk menangani sengketa pemilukada harus profesional dan mengerti hukum Pemilukada. Pertimbangan ini penting agar jangan sampai hakim adhoc diisi oleh orang yang tidak memahami hukum Pemilukada. Proses rekrutmen hakim dilakukan secara cermat dengan memperhatikan rekam jejak serta terlepas dari kepentingan partai politik maupun golongan;
d.      Mahkamah Agung perlu memberikan pelatihan yang intensif terhadap hakim serta pegawai Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh meningkatkan kompetensi, sehingga penyelesaian sengketa Pemilukada dilakukan secara profesional guna memenuhi tuntutan masyarakat;
e.      Peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mengenai penyelesaian sengketa hasil pemilukada agar memperhatikan penyederhaan hukum acara mengingat waktu penyelesaian  yang sangat pendek. Selain pernyederhaan perlu diatur secara limitatif syarat-syarat permohonan keberatan atas Putusan Pengadilan Tinggi agar tidak semua dapat dimintakan keberatan ke Mahkamah Agung. 

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimmly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005)
Edwin, Donni. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance ( Jakarta: Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik, 2004)
Ismawan, Indra. Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu (Yogyakarta : Media Presindo, 1999)
Lubis, Todung Mulya. Catatan Hukum Todung Mulya Lubis Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini ? (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Lutfi, Mustafa, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Gagasan Perluasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi (Yogyakarta: UII Press, 2010)
Madaniy, A Malik, Politik Berpayung Fiqh (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010)
MD, Mahfud,Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2007)
Pradhanawati, Ari. Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal (Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005)
Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)
Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmuji. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2007)
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011)
Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press , 2009)
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010)
Widjojanto, Bambang, Kajian  Putusan  MK  Tentang  Pemilu  &  Pemilukada (Jakarta: Kemitraan, 2009)
Widoyoko, Danang et.al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (Jakarta: ICW ,2002)

Hasil Penelitian
Ali, M. Mahrus et. al. Tafsir Konstitusional Pelanggaran Pemilukada yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, dan Masif (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011)
Maulana Arif, Tinjauan Konstitusional Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Melalui Pemilihan Umum (Tesis). (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012)
Satriawan, Iwan et al. Studi Efektifitas Penyelesaian Hasil Sengketa Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012)

Artikel
Simamora, Janpatar, “Eksistensi Pemilukada Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis,” Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, (2011)
Sultan, Lomba, “Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah,” Al-Fikr Volume 15 Nomor 2 (2011)

Makalah
Asshiddiqie, Jimly, ”Demokrasi dan Hak Asasi Manusia” (Makalah disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005)
Mutiarin, Dyah, Nur Hayati, dan Delina Asriyani :” Analisis Dampak Positif dan Negatif dalam Pemilukada Langsung bagi Kualitas Pelayanan Publik di Daerah” (Paper disajikan dalam Forum Ilmiah Nasional Program Pascasarjana, UMY, 24 Desember 2011)



BIODATA PENULIS

KELIK PRAMUDYA, S.H, lahir di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah pada tanggal 15 Oktober 1986. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pernah sebagai pengajar di SIDEL (Super Intensive Diamond Education of Law) Jakarta. Menjadi pembicara dalam pertemuan ilmiah antara lain tentang Pemberian Bantuan Hukum untuk Menegakkan Keadilan pada bulan Mei 2014 di STAIN Salatiga. Karya tulis ilmiah sudah dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain : Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum (2010) dan Panduan Praktis Menjadi Advokat (2011) keduanya diterbitkan Pustaka Yustisia Yogyakarta. Karya tulis lainnya yaitu tentang Penyelesian Perkara Pidana yang Fleksibel : Keseimbangan Antara Pelaku dan Korban dalam Restorative Justice, dipublikasikan di Jurnal RechtsVinding Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013. Penulis dapat dihubungi melalui email : kelik_pramudya@yahoo.co.id.  






[1] A. Malik Madaniy, Politik Berpayung Fiqh (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2010), hlm. 21-22.
[2] Mahfud MD,Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2007), hlm. 133-135
[3] Jimly Asshiddiqie, ”Demokrasi dan Hak Asasi Manusia” (Makalah disampaikan dalam studium general pada acara The 1st National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005) hlm. 3.
[4] Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 39
[5] Janpatar Simamora, “Eksistensi Pemilukada Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis,” Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, (2011) : 231.
[6] Dyah Mutiarin, Nur Hayati, dan Delina Asriyani :” Analisis Dampak Positif dan Negatif dalam Pemilukada Langsung bagi Kualitas Pelayanan Publik di Daerah” (Paper disajikan dalam Forum Ilmiah Nasional Program Pascasarjana, UMY, 24 Desember 2011), hlm. 1
[7] Arif Maulana. Tinjauan Konstitusional Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Melalui Pemilihan Umum (Tesis). (Jakarta: Universitas Indonesia, 2012), hlm. 147
[8] Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 14
[9] Ari Pradhanawati, Pemilukada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal (Surakarta: Pustaka Rumpun Ilalang, 2005), hlm. 144
[10] Lomba Sultan, “Sistem Pemilihan Umum Kepala Daerah,” Al-Fikr Volume 15 Nomor 2 (2011): 160
[11] Menurut Yusril Ihza Mahendra definisi money politic sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Apabila kasus money politic bisa di buktikan, pelakunya dapat dijerat dengan pasal tindak pidana biasa, yakni penyuapan. Lihat Indra Ismawan, Money Politics Pengaruh Uang Dalam Pemilu (Yogyakarta : Media Presindo, 1999), hlm. 4.
[12]Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia, Gagasan Perluasan Konstitusional Mahkamah Konstitusi (Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 151.
[13] Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Mahkamah Konstitusi memutus sengketa berdasarkan kebenaran materiil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.”  
[14] M. Mahrus Ali et. al. Tafsir Konstitusional Pelanggaran Pemilukada yang Bersifat Sistematis, Terstruktur, dan Masif (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011), hlm. 24-25.
[15] Iwan Satriawan et al. Studi Efektifitas Penyelesaian Hasil Sengketa Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi (Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2012), hlm. 2-4
[16]  Mafia peradilan disebut juga dengan istilah korupsi peradilan (judicial corruption) yaitu adanya konspirasi dan penyalahgunaan wewenang di antara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Lihat Danang Widoyoko,et.al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (Jakarta: ICW ,2002), hlm. 24.
[17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 97/PUU-XI/2013
[18] Jimmly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 244.
[19] M. Mahrus Ali et. al.Op. Cit, hlm 1-2
[20] Donni Edwin. Pilkada Langsung Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance ( Jakarta: Partnership dan Pusat Kajian Ilmu Politik, 2004), hlm.  79
[21] Satjipto Rahardjo. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hlm. 209
[22] Todung Mulya Lubis. Catatan Hukum Todung Mulya Lubis Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini ? (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm. 83.
[23] Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti Dan Berkeadilan (Yogyakarta: UII Press , 2009), hlm. 2.
[24] Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (Jakarta: Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010), hlm. 21.
[25] Bambang Widjojanto, Kajian  Putusan  MK  Tentang  Pemilu  &  Pemilukada (Jakarta: Kemitraan,
2009), hlm. 6-7

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }