Oleh : KELIK PRAMUDYA
Negara
Indonesia didirikan melalui sebuah perjuangan panjang. Dengan tumpahan darah dan
kerja keras para pahlawan kita akhirnya berdirilah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 merupakan awal dimulainya sejarah perkembangan
ketatanegaraan Negara Republik Indonesia. Pada tahun itulah berdiri Negara
Republik Indonesia sebagai suatu kumpulan besar manusia yang telah terlepas
dari penjajahan yang berhak menentukan nasibnya sendiri. Jadi dapat dikatakan
Proklamasi kemerdekaan ini sebagai garis pemisah antara ketatanegaraan kolonial dengan ketatanegaraan
Republik Indonesia.
Aristoteles
dalam buku Politica sebagaimana dikutip oleh Soehino, mengatakan bahwa Negara
itu merupakan suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu. Cara berpikir
yang bersifat analytis dalam bukunya Ethica dilanjutkan dalam buku Politica
untuk dapat menerangkan asal mula dan perkembangan Negara.[1]
Tujuan Negara oleh Epicurus dikatakan bahwa selain menyelenggarakan ketertiban
dan keamanan, yang penting adalah menyelenggarakan kepentingan perseorangan.
Jadi berarti menyelenggarakan keenakan pribadi. Tetapi dijelaskan oleh Epicurus
bahwa yang dimaksud dengan keenakan pribadi itu bukanlah keenakan yang bersifat
materialistis, meskipun ini kadang-kadang harus diusahakan juga, melainkan yang
penting adalah keenakan yang bersifat kejiwaan atau kerokhanian. Oleh karena
keenakan ini sifatnya lebih langgeng atau abadi bila dibandingkan dengan
keenakan yang bersifat materialistis.[2]
Di
Indonesia Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah
mengamanatkan tujuan Negara Indonesia yaitu : melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Harapan
para pendiri bangsa ini telah terwujud dengan tetap tegaknya NKRI dengan dasar
Negara Pancasila. Pembangunan demi
pembangunan telah mengisi kemerdekaan Negara ini yang sudah berdiri lebih dari
setengah abad.
Masa
reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, ditandai dengan turunnya presiden
Soeharto yang mengundurkan diri setelah berkuasa selama 32 tahun. Ini merupakan
sejarah bangsa yang tak terlupakan. Harapan reformasi tak lain ialah melepaskan
bangsa Indonesia dari keterpurukan sebagai akibat dari budaya KKN (Korupsi
Kolusi dan Nepotisme). Budaya KKN tersebut menjadikan ketidakadilan bagi rakyat
Indonesia sehingga mendorong gerakan reformasi. Dari hal tersebut harusnya
dapat dimaknai tujuan reformasi.
Saya
menulis ini didorong atas rasa keprihatinan terhadap Negara yang sangat kita
cintai ini. Meskipun belum lama berkecimpung di dunia hukum, namun saya
merasakan banyak hal-hal yang selalu mengusik hati nurani Saya merasakan negara ini sedang tersesat.Bagaimana
tidak, Negara yang sudah lebih dari setengah abad ini tiba-tiba menjadi tidak
beraturan. Kemakmuran yang diidam-idamkan bukan bagaikan sebuah mimpi. Saya
rasa sistem dari Negara saat ini justru membawa pada kehancuran bangsa
Indonesia sendiri. Berhari-hari berita di surat kabar, televisi, internet
maupun berita dari mulut ke mulut selalu membawa kabar yang buruk. Tingginya
angka kejahatan, melambungnya harga, hingga terus bertambahnya kasus korupsi
selalu kita dengar.
Negara
kita tak kunjung bisa memperbaiki sistem yang baik seperti yang diharapkan dan
dicita-citakan selama lebih dari setengah abad. Sebuah pekerjaan rumah yang tak
mudah untuk mereka para pemimpin. Hal tersebut dikarenakan kita sudah terlanjur
masuk ke dalam suatu sistem yang buruk, baik itu peraturannya ataupun
birokrasinya. Tak bisa dipungkiri bahwa
reformasi yang semula diharapkan dapat merubah situasi pemerintahan yang bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) justru sebaliknya. Reformasi
melahirkan “gaya bebas” yang lepas dari kekangan. Gaya bebas ini
mengindikasikan suatu kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melakukan aksinya
dengan berbagai cara. Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi seperti
sekarang ini kejahatan terasa sangat mudah dilakukan. Penjahat papan atas
maupun bawah kini meraja lela. Tindakan-tindakan amoral dan perbuatan dosa
semakin beragam dan dianggap kebiasaan. Pernahkah kita berpikir bahwa apa yang
kita lakukan itu suatu perbuatan dosa yang nantinya akan ada
pertanggungjawabannya. Kebebasan memang perlu, akan tetapi harus dilakukan
secara bertanggung jawab dan tidak berbuat kerusakan terhadap masyarakat lainnya.
Perilaku korupsi pejabat Negara sering mengisi berita di berbagai media.
Kericuhan yang terjadi di masyarakat adalah pemandangan yang buruk bila
dikaitkan dengan budaya bangsa yang dulu terkenal rukun dan ramah.
Sistem yang Haram
Pemerintahan
Negara saya kira tak mampu memberikan hak warga negaranya sebagaimana amanat
Undang-Undang Dasar. Saya mencontohkan misalnya, tidak adanya jaminan keamanan
bagi warga Negara dalam melakukan pekerjaannya. Kalau ada mengapa muncul yang
dan dinamakan uang keamanan, uang pelicin, prasyarat dan sebagainya. Situasi
semacam itu kini menjadi kebiasaan bahkan keharusan di Negara kita. Mengapa
muncul seperti ini, bukankah sangat memalukan di hadapan Tuhan ? Sampai kapan
keadaan ini akan didiamkan saja oleh pemerintahnya. Ini menjadi suatu bentuk
Negara yang sesat kalau dosa-dosa justru menjadi keharusan bagi warga
negaranya, pemerintahnya, dan para pemimpinnya sendiri. Akhirnya rakyat biasalah yang harus
menanggung akibatnya. Kalau pemerintahnya saja mengharuskan suatu perbuatan
dosa, secara otomatis rakyat harus mengikutinya.
Kesesatan
dalam bernegara semakin terlihat pada perlakuan sistem hukum di Indonesia, di
mana hukum ini sekarang tidak mencita-citakan sebuah keadilan. Penegakan hukum
di lembaga peradilan saat ini tak lebih dari sekedar formalitas untuk
menjalankan hukum secara formil. Dalam menjalankan hukum, aparat penegak hukum
kita sering mengabaikan makna dari hukum dan keadilan itu sendiri. Cara
berpikir dan bertindak dengan memisahkan hukum dari keadilan tentu tak bisa
ditolerir oleh sebuah Negara hukum. Memisahkan keadilan dari hukum sama saja
dengan memisahkan tubuh manusia dari rohnya. Keadilan bisa dikatakan sebagai
sebuah sifat yang harus melekat dalam diri pemerintahan. Artinya pemerintahan
harus mampu menerapkan sebuah sistem dengan menganut prinsip keadilan. Situasi
pemerintahan yang tidak mencerminkan keadilan bagi warga negaranya akan
menyebabkan kekacauan dalam sebuah Negara. Pada akhirnya kemakmuran yang
dicita-citakan sulit digapai.
Untuk
menjadi pemimpin Negara ini sangat dibutuhkan perenungan dan tindakan bagaimana
membangun sistem kehidupan yang baik bagi warga negaranya. Orang-orang yang berambisi menjadi pemimpin sering
lupa bahwa yang dibutuhkan Negara ini bukan saja kesejahteraan, melainkan
ketenteraman hidup berbangsa dan bernegara. Apa gunanya suatu kesejahteraan
bila diperoleh melalui sistem yang tidak halal. Kesejahteraan yang dibangun
melalui sistem yang tidak halal tak akan menjamin ketenteraman warga negaranya.
Sistem ini akan membesarkan para koruptor dan penjahat . Orang yang baik pun akan menjadi jahat bila
berada dalam sistem yang buruk, karena mau tidak mau mereka harus mengikutinya.
Pembentukan moral selama bertahun-tahun seakan tak berarti ketika dikandaskan
oleh sistem yang haram. Sebaliknya dalam sistem yang baik, maka para orang
jahat akan dipaksa menjadi baik mengikuti sistemnya. Pemimpin yang semula baik
pun juga akan menjadi buruk bila ia tak punya keberanian membinasakan dosa-dosa
dari pemerintahan terdahulu, karena ia hanya melanjutkan pemerintahan yang
buruk warisan dari pemimpin sebelumnya.
Cara-cara
yang haram sudah terlanjur masuk ke dalam sistem Negara kita, akibatnya
cara-cara haram seperti, korupsi, kolusi, dan “koneksi” dll menjadi sebuah
keharusan yang dilaksanakan. Uang dan harta kekayaan menjadi tujuan utama
mereka. Kini rakyat dan pemerintah
sama-sama mendewakan uang padahal arti dari kesejahteraan itu bukan hanya
berupa uang. Sungguh mustahil di Negara yang berkeTuhanan Yang Maha Esa justru
mewajibkan perbuatan haram rakyatnya. Namun, itulah yang terjadi di Indonesia
saat ini. Pemerintah Negara ini telah membiarkan rakyatnya menjadi penjahat,
penyuap, dan koruptor demi sebuah kesejahteraan dalam arti sempit.
Kesejahteraanteraan itu terlalu sempit bila hanya dinilai dengan uang.
Kesejahteraan itu meliputi segalanya yang bisa membuat tenteram jiwa dan
pikiran.
Membangun
sebuah sistem dalam bernegara dapat dimulai melalui penciptaan keamanan bagi
rakyatnya tentunya dengan pemerintahan yang berprinsip keadilan. Keamanan
tersebut berlandaskan moral dan kesadaran jiwa rakyat bersama pemimpinya.
Dibutuhkan pemimpin yang tegas, cekatan, serta berani mengambil langkah berbeda
walau kritik dan celaan mengikutinya. Memaksa penjahat berbuat baik tidaklah
sulit bila sistem yang halal telah ditanamkan dalam diri tiap-tiap rakyatnya.
Tentu kita sangat merindukan suasana seperti itu. Dalam penegakan hukum,
tentunya harus dihindari terjadinya judicial corruption. Apapun cara dan
alasannya fenomena judicial corruption adalah matinya sebuah hukum dalam suatu
Negara. Artinya bila aparatnya saja adalah penjahat, lalu bagaimana bisa
penjahat menegakkan sebuah keadilan.
Kita berharap semoga pemimpin Negara ini dapat
mewujudkan sebuah sistem bernegara yang baik guna membangun dan melindungi
warga negaranya. Sistem ini meliputi segala aspek baik itu perekonomian, hukum,
sosial, politik, dsb. Selain itu harapan juga kita tujukan kepada kesadaran warga
Negara agar berubah dan menjalani kehidupan bernegara secara baik dan halal.
Bila kita sudah terbiasa pada kewajiban melakukan perbuatan halal dan menolak
segala keharaman maka sistem yang kita cita-citakan di atas tidaklah mustahil
untuk terwujud, karena landasan kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment