GRATIFIKASI PENGHULU : PROBLEMATIKA BUDAYA & TUGAS MULIA

Bookmark and Share

Oleh : KELIK PRAMUDYA

Tahun 2013 lalu kualitas pelayanan Kementerian Agama kepada masyarakat khususnya KUA sedang  diuji. Setelah muncul kasus kelangkaan buku nikah yang membuat para calon pengantin merasa cemas, kini muncul masalah baru tentang ketidaksediaan para penghulu menikahkan pengantin di luar hari kerja dan di luar balai nikah. Kasus ini bermula dari terungkapnya gratifikasi yang dilakukan oleh Kepala KUA Kediri, Romli, yang memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000,- untuk pernikahan di luar balai nikah dan Rp 175.000,- untuk pernikahan di kantor KUA. Ini dianggap sebagai pungutan liar (pungli) karena biaya pencatatan nikah sebagaimana diatur dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 Tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama ditetapkan sebesar Rp 30.000,-. Kasus Romli ini kemudian memunculkan aksi sesama penghulu seJawa Timur dan daerah lain untuk menolak permohonan pernikahan di luar KUA. Aksi penghulu ini dikarenakan memang tidak ada anggaran baginyauntuk melaksanakan tugas di luar KUA.
Penolakan KUA terhadap pernikahan di luar kantor  ini menimbulkan polemik di masyarakat karena tidak selaras dengan kebiasaan selama ini. Masyarakat cenderung menginginkan pernikahan dilakukan di luar balai nikah pada hari libur. Kebiasaan ini terjadi karena calon pengantin menginginkan pernikahannya dapat disaksikan oleh keluarga besar, teman dan masyarakat sekitar. Pernikahan merupakan hal yang sakral yang diinginkan hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh karena itu wajar apabila calon pengantin dan keluarga lebih senang menggelar pernikahan pada hari libur dan di luar KUA. Konsekuensinya penghulu sekaligus pegawai pencatat nikah harus melayani permintaan masyarakat tersebut. Masyarakat tentunya membutuhkan pelayanan penghulu guna memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam hubungannnya dengan pernikahan maka pada dasarnya tugas penghulu ini sangatlah sakral karena pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut agama. Kebiasaan di masyarakat, penghulu bukan hanya sekedar mencatat pernikahan saja, melainkan juga menikahkan calon pengantin. Adanya sikap penghulu yang menolak menikahkan pengantin di luar hari kerja dan di luar KUA sangatlah ironis dengan tugas mulia yang diembannya. Harus ditanamkan sejak dini bahwa penghulu bukan sekedar Pegawai Negeri Sipil yang dibatasi jam kerjanya, tetapi tugas seseorang yang membantu pengantin menjalankan perintah agama dan hak asasinya. Tugas dan peran penghulu yang mulia ini hendaknya diberikan hak dan fasilitasnya agar tugas yang dilakukan bisa berjalan lancar sesuai dengan harapan masyarakat. Apabila penolakan ini terjadi terus menerus akan timbul masalah baru, yaitu masyarakat “terpaksa” menggelar pernikahan pada hari kerja. Akibatnya akan semakin banyak orang yang ijin atau membolos untuk tidak masuk kerja karena harus menghadiri acara akad nikah, termasuk para PNS. Bisa dibayangkan bila situasi tersebut terjadi, peraturan yang seharusnya membantu masyarakat sekarang justru menyulitkan masyarakat sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 menetapkan biaya pencatatan nikah sebesar Rp 30.000,-. Dilihat dari namanya, maka biaya tersebut hanya sebatas biaya pencatatan, tidak ada penetapan besaran biaya transportasi. Oleh karena itu budaya di masyarakat memberikan uang transportasi sebagai ucapan terima kasih kepada penghulu yang bersedia menikahkan pengantin di luar KUA. Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 menentukan bahwa akad nikah dilakukan di KUA. Akan tetapi ayat (2) memungkinkan dilaksanakannya akad nikah di luar KUA atas permintaan calon pengantin dan persetujuan PPN. Selama ini memang belum ada ketentuan yang mengatur biaya pernikahan yang dilaksanakan di luar KUA, sehingga terjadi kesepakatan atau pungutan di luar biaya pencatatan. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana apabila calon pengantin meminta dinikahkan di luar KUA, siapa  yang menanggung biaya transportasi , padahal tidak ada anggaran untuk itu. Hal ini menunjukkan substansi hukum di Indonesia tidak sejalan dan tak mampu mengikuti budaya hukum masyrakat
Gratis Biaya Bukan Solusi
Budaya masyarakat memberikan biaya tambahan kepada penghulu telah tertanam sejak lama, hal ini didasari atas rasa syukur dan ucapan terima kasih atas bantuan dan pelayanan penghulu sehingga pernikahan sejalan lancar. Mengubah budaya seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena telah tertanam dan tumbuh di masyarakat. Akan tetapi bukan berarti budaya itu dijadikan sebagai sarana bagi KUA untuk memungut biaya tidak resmi. Sebuah solusi diwacanakan oleh Kementerian Agama untuk menekan pungli di KUA yaitu menggratiskan biaya nikah. Namun, apakah ini menjadi solusi yang efektif, atau bahkan menimbulkan masalah baru ? Melihat budaya masyarakat yang sering memberikan uang tambahan kepada penghulu menunjukkan bahwa sebenarnya yang diinginkan masyarakat bukanlah digratiskannya biaya nikah, melainkan  kelancaran akad nikah pada hari yang ditentukan. Masyrakat kita terbukti mampu dan tidak keberatan membiayai sebuah pernikahan. Terlebih biaya pencatatan pernikahan tidak seberapa jika dibandingkan dengan besarnya biaya untuk menggelar pesta atau sekedar syukuran kecil. Penggratisan ini juga tidak menjamin terciptanya keadilan sosial, karena menyamaratakan si kaya dan si miskin, padahal kemampuan ekonomi mereka berbeda. Penggratisan ini akan memicu gratifikasi yang lebih besar nilainya. Secara logika saat ini diberikan biaya resmi Rp 30.000,- saja masih ada pungli, bagaimana kalau tidak ada sama sekali. Bukankah pengratisan biaya nikah nantinya akan membuka pintu bagi pelaku pungli ?  Artinya ketika terjadi persaingan untuk mendapat pelayanan yang lebih dari KUA, seseorang akan rela mengeluarkan berapapun biayanya dan ini biasanya yang akan dimanfaatkan oleh pelaku pungli.
Perbaikan Sistem Penetapan Biaya
Larangan menikah pada hari libur dan di luar KUA harus segera diselesaikan secepatnya oleh Kementerian Agama yang secara struktur membawahi KUA karena apabila berlarut-larut akan menganggu warga Negara dalam menjalankan hak asasinya. Bila dilihat dari kronologi sebenarnya hal bermula dari ketidakberdayaan sistem hukum di Indonesia dalam menghadapi budaya di masyarakat. Ketakutan para penghulu akan jeratan gratifikasi memang wajar, karena tidak seorang pun menginginkan masuk penjara. Kementerian Agama seharusnya bertindak cepat dengan mengeluarkan peraturan tentang penetapan biaya pencatatan pernikahan. Perbaikan sistem biaya ini dapat dilakukan sebagai berikut :
1.      Sebagaimana yang telah diuraikan di atas tadi, hal yang diinginkan masyrakat ialah kelancaran, bukan penggratisan. Pencatatan penikahan tentu membutuhkan biaya, antara lain untuk administrasi dan transportasi bagi penghulu bila menikahkan di luar KUA. Namun, jangan sampai biaya-biaya itu membebani APBN kita. Oleh karena itu harus ditetapkan biaya pernikahan menjadi satu paket yang terdiri atas biaya administrasi dan transportasi. Besarnya ditentukan dengan sistem radius (jarak). Namun, radius ini tetap dibagi maksimal dua jenis yaitu radius II dan radius II. Besarnya biaya ini mungkin berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Dengan sistem ini tetap dimungkinkan terselenggaranya akad nikah di luar KUA dan di hari libur karena ada anggaran yang bersumber dari masyarakat.
2.      Besarnya biaya disesuaikan dengan kebutuhan yang sebenarnya, artinya jangan sampai terlalu tinggi sehingga memberatkan masyarakat. Dengan pembayaran biaya tersebut masyarakat tidak lagi dibebani dengan biaya lain-lain, karena semua telah menjadi satu paket dan jelas rinciannya. Melalui sistem ini diharapkan asas keterbukaan dapat terlaksana dengan baik.
3.      Pembayaran biaya pernikahan sebaiknya dilakukan di bank yang telah ditunjuk oleh Kementerian Agama. Pembayaran di bank ini diharapkan dapat menekan pungli, karena masyarakat hanya membayar biaya resmi yang ditetapkan pemerintah. Di samping itu pembayaran di bank akan memudahkan masyarakat karena bisa dilakukan di mana saja. Sistem ini akan lebih modern dibandingkan pembayaran secara manual di KUA.
4.      Pembebasan biaya pernikahan (gratis) hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang benar-benar tidak mampu, sehingga terdapat jaminan bagi mereka yang tidak mampu membayar. Masyarakat yang tidak mampu akan digratiskan dari biaya pernikahan di KUA dengan dibuktikan menunjukkan surat keterangan tidak mampu. Artinya masyarakat yang tidak mampu tersebut dibiayai Negara.

Di akhir tulisan ini saya menyampaikan bahwa dalam pekerjaannya, seorang penghulu tidak saja menjalankan tugas sebagai PNS melainkan tugas agama. Peran penghulu sangat dibutuhkan di masyarakat, sehingga kualitas pelayanannyapun harus tetap terjaga.

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }