Oleh : KELIK PRAMUDYA
Penolakan KUA terhadap pernikahan di luar kantor ini menimbulkan polemik di masyarakat karena
tidak selaras dengan kebiasaan selama ini. Masyarakat cenderung menginginkan
pernikahan dilakukan di luar balai nikah pada hari libur. Kebiasaan ini terjadi
karena calon pengantin menginginkan pernikahannya dapat disaksikan oleh
keluarga besar, teman dan masyarakat sekitar. Pernikahan merupakan hal yang
sakral yang diinginkan hanya terjadi sekali seumur hidup. Oleh karena itu wajar
apabila calon pengantin dan keluarga lebih senang menggelar pernikahan pada
hari libur dan di luar KUA. Konsekuensinya penghulu sekaligus pegawai pencatat
nikah harus melayani permintaan masyarakat tersebut. Masyarakat tentunya
membutuhkan pelayanan penghulu guna memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam hubungannnya dengan
pernikahan maka pada dasarnya tugas penghulu ini sangatlah sakral karena
pelaksanaan perkawinan dilakukan menurut agama. Kebiasaan di masyarakat,
penghulu bukan hanya sekedar mencatat pernikahan saja, melainkan juga
menikahkan calon pengantin. Adanya sikap penghulu yang menolak menikahkan
pengantin di luar hari kerja dan di luar KUA sangatlah ironis dengan tugas
mulia yang diembannya. Harus ditanamkan sejak dini bahwa penghulu bukan sekedar
Pegawai Negeri Sipil yang dibatasi jam kerjanya, tetapi tugas seseorang yang
membantu pengantin menjalankan perintah agama dan hak asasinya. Tugas dan peran
penghulu yang mulia ini hendaknya diberikan hak dan fasilitasnya agar tugas
yang dilakukan bisa berjalan lancar sesuai dengan harapan masyarakat. Apabila
penolakan ini terjadi terus menerus akan timbul masalah baru, yaitu masyarakat
“terpaksa” menggelar pernikahan pada hari kerja. Akibatnya akan semakin banyak
orang yang ijin atau membolos untuk tidak masuk kerja karena harus menghadiri
acara akad nikah, termasuk para PNS. Bisa dibayangkan bila situasi tersebut
terjadi, peraturan yang seharusnya membantu masyarakat sekarang justru
menyulitkan masyarakat sendiri.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 menetapkan biaya
pencatatan nikah sebesar Rp 30.000,-. Dilihat dari namanya, maka biaya tersebut
hanya sebatas biaya pencatatan, tidak ada penetapan besaran biaya transportasi.
Oleh karena itu budaya di masyarakat memberikan uang transportasi sebagai
ucapan terima kasih kepada penghulu yang bersedia menikahkan pengantin di luar
KUA. Pasal 21 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 menentukan
bahwa akad nikah dilakukan di KUA. Akan tetapi ayat (2) memungkinkan
dilaksanakannya akad nikah di luar KUA atas permintaan calon pengantin dan
persetujuan PPN. Selama ini memang belum ada ketentuan yang mengatur biaya
pernikahan yang dilaksanakan di luar KUA, sehingga terjadi kesepakatan atau pungutan
di luar biaya pencatatan. Selanjutnya akan timbul pertanyaan bagaimana apabila
calon pengantin meminta dinikahkan di luar KUA, siapa yang menanggung biaya transportasi , padahal
tidak ada anggaran untuk itu. Hal ini menunjukkan substansi hukum di Indonesia
tidak sejalan dan tak mampu mengikuti budaya hukum masyrakat
Gratis
Biaya Bukan Solusi
Budaya masyarakat memberikan biaya tambahan kepada
penghulu telah tertanam sejak lama, hal ini didasari atas rasa syukur dan
ucapan terima kasih atas bantuan dan pelayanan penghulu sehingga pernikahan
sejalan lancar. Mengubah budaya seperti ini bukanlah pekerjaan yang mudah,
karena telah tertanam dan tumbuh di masyarakat. Akan tetapi bukan berarti budaya
itu dijadikan sebagai sarana bagi KUA untuk memungut biaya tidak
resmi. Sebuah solusi diwacanakan
oleh Kementerian Agama untuk menekan pungli di KUA yaitu menggratiskan biaya
nikah. Namun, apakah ini menjadi solusi yang efektif, atau bahkan menimbulkan
masalah baru ? Melihat budaya masyarakat yang sering memberikan uang tambahan
kepada penghulu menunjukkan bahwa sebenarnya yang diinginkan masyarakat
bukanlah digratiskannya biaya nikah, melainkan
kelancaran akad nikah pada hari yang ditentukan. Masyrakat kita terbukti
mampu dan tidak keberatan membiayai sebuah pernikahan. Terlebih biaya
pencatatan pernikahan tidak seberapa jika dibandingkan dengan besarnya biaya
untuk menggelar pesta atau sekedar syukuran kecil. Penggratisan ini juga tidak
menjamin terciptanya keadilan sosial, karena menyamaratakan si kaya dan si
miskin, padahal kemampuan ekonomi mereka berbeda. Penggratisan ini akan memicu gratifikasi
yang lebih besar nilainya. Secara logika saat ini diberikan biaya resmi Rp
30.000,- saja masih ada pungli, bagaimana kalau tidak ada sama sekali. Bukankah
pengratisan biaya nikah nantinya akan membuka pintu bagi pelaku pungli ? Artinya ketika terjadi persaingan untuk
mendapat pelayanan yang lebih dari KUA, seseorang akan rela mengeluarkan
berapapun biayanya dan ini biasanya yang akan dimanfaatkan
oleh pelaku pungli.
Perbaikan
Sistem Penetapan Biaya
Larangan menikah pada hari libur dan di luar KUA harus
segera diselesaikan secepatnya oleh Kementerian Agama yang secara struktur
membawahi KUA karena apabila berlarut-larut akan menganggu warga Negara dalam
menjalankan hak asasinya. Bila dilihat dari kronologi sebenarnya hal bermula
dari ketidakberdayaan sistem hukum di Indonesia dalam menghadapi budaya di masyarakat.
Ketakutan para penghulu akan jeratan gratifikasi memang wajar, karena tidak
seorang pun menginginkan masuk penjara. Kementerian Agama seharusnya bertindak
cepat dengan mengeluarkan peraturan tentang penetapan biaya pencatatan
pernikahan. Perbaikan sistem biaya ini dapat dilakukan sebagai berikut :
1.
Sebagaimana
yang telah diuraikan di atas tadi, hal yang diinginkan masyrakat ialah
kelancaran, bukan penggratisan. Pencatatan penikahan tentu membutuhkan biaya,
antara lain untuk administrasi dan transportasi bagi penghulu bila menikahkan
di luar KUA. Namun, jangan sampai biaya-biaya itu membebani APBN kita. Oleh
karena itu harus ditetapkan biaya pernikahan menjadi satu paket yang terdiri
atas biaya administrasi dan transportasi. Besarnya ditentukan dengan sistem
radius (jarak). Namun, radius ini tetap dibagi maksimal dua jenis yaitu radius
II dan radius II. Besarnya biaya ini mungkin berbeda antara daerah satu dengan
yang lain. Dengan sistem ini tetap dimungkinkan terselenggaranya akad nikah di
luar KUA dan di hari libur karena ada anggaran yang bersumber dari masyarakat.
2.
Besarnya
biaya disesuaikan dengan kebutuhan yang sebenarnya, artinya jangan sampai
terlalu tinggi sehingga memberatkan masyarakat. Dengan pembayaran biaya tersebut masyarakat tidak
lagi dibebani dengan biaya lain-lain, karena semua telah menjadi satu paket dan
jelas rinciannya. Melalui sistem ini diharapkan asas keterbukaan dapat
terlaksana dengan baik.
3.
Pembayaran
biaya pernikahan sebaiknya dilakukan di bank yang telah ditunjuk oleh
Kementerian Agama. Pembayaran di bank ini diharapkan dapat menekan pungli,
karena masyarakat hanya membayar biaya resmi yang ditetapkan pemerintah. Di
samping itu pembayaran di bank akan memudahkan masyarakat karena bisa dilakukan di mana saja. Sistem ini akan
lebih modern dibandingkan pembayaran secara manual di KUA.
4.
Pembebasan
biaya pernikahan (gratis) hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang benar-benar
tidak mampu, sehingga terdapat jaminan bagi mereka yang tidak mampu membayar.
Masyarakat yang tidak mampu akan digratiskan dari biaya pernikahan di KUA
dengan dibuktikan menunjukkan surat keterangan tidak mampu. Artinya masyarakat
yang tidak mampu tersebut dibiayai Negara.
Di akhir tulisan ini saya menyampaikan bahwa dalam
pekerjaannya, seorang penghulu tidak saja menjalankan tugas sebagai PNS
melainkan tugas agama. Peran penghulu sangat dibutuhkan di masyarakat, sehingga
kualitas pelayanannyapun harus tetap terjaga.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment