Oleh
: Kelik Pramudya
Dewasa ini
penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi) mulai ditinggalkan oleh para
pencari keadilan. Pengadilan di Indonesia mempunyai beberapa tingkatan yang
pada setiap setiap tingkatan memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya.
Pengadilan dimulai pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri) di mana untuk
penyelesaian perkara perdata memerlukan waktu berbulan-bulan, apabila putusan
Pengadilan Negeri ini tidak diterima oleh salah satu pihak maka dapat ditempuh
banding ke Pengadilan Tinggi. Atas putusan Pengadilan Tinggi ini masih dapat
ditempuh kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung yang telah
berkekuatan hukum tetap ini pun masih dapat dilakukan upaya hukum luar biasa
yaitu Peninjauan Kembali. Apabila putusan telah berkekuatan hukum tetap pun
untuk melakukan eksekusi bukanlah hal yang mudah. Bayangkan berapa lama waktu
yang dibutuhkan dan biaya yang dikeluarkan. Ridwan Khairandy menyebutkan
faktor-faktor penyebab mengapa tidak disukainya penyelesaian melalui
pengadilan, antara lain [1]:
- Lamanya
proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;
- Lamanya
penyelesaian sengketa dapat juga disebabkan oleh panjangnya tahapan
penyelesaian sengketa;
- Lama
dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tentunya
membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan;
- Sidang
Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal sisi lain kerahasiaan
adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan bisnis;
- Seringkali
hakim yang menangani perkara kurang memahami substansi sengketa, dengan
kata lain hakim tidak professional;
- Adanya
citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan Indonesia.
HAKIM
(BUKAN WAKIL TUHAN)
Profesi Hakim sering
disebut sebagai “yang mulia”, ini menunjukkan bahwa seorang hakim mempunyai
sebuah kewajiban mulia untuk memberikan keadilan bagi para pihak yang mencari
keadilan di pengadilan. Istilah “yang
mulia” ini seakan member arti bahwa hakim adalah pemberi keadilan bagi mereka
yang ingin mendapat keadilan. Di tangan hakimlah nasib seseorang ditentukan,
oleh karenanya apapun yang diputuskan hakim hendaklah melalui sebuah
pertimbangan yang matang dan memperhatikan aspek keadilan serta kemanfaatannya.
Hakim haruslah cerdas dan pintar, karena kecerdasan itulah yang akan digunakan
dalam menemukan keadilan. Hakim tidak boleh memberi jawaban “tidak mau” hanya
karena tidak ada peraturannya. Prinsip ini dianut pula dalam hukum di Indonesia
atau disebut Judge Made Law dan menjadi sebuah keharusan. Tugas
memberi keadilan ini memang sangatlah berat, dan tidak jarang menimbulkan
pertentangan batin, karena putusan hakim sama dengan judicium dei (putusan Tuhan). Suatu hal yang perlu disadari para
hakim saat mengambil dan menjatuhkan putusan, bahwa putusan itu merupakan
bentuk penyiksaan. Oleh Spencer disebut :”the
judgement was that of God”. Oleh karena itu putusan yang dijatuhkan harus
benar-benar melalui proses pemeriksaan peradilan yang jujur (fair trial) dengan
pertimbangan yang didasarkan pada keadilan berdasarkan moral (moral justice),
dan bukan hanya semata-mata berdasarkan keadilan undang-undanga (legal
justice).[2]
Seorang hakim hendaknya belajar tentang perihal sebagai berikut [3]:
a.
Memikirkan
perkara yang beraneka ragam dengan baik, dan tidak terburu-buru di dalam
mengambil keputusan (perkara), kecuali apabila segala sesuatunya sudah jelas
dan nyata;
b. Menyelidiki perkara dengan benar
dan memutuskan perkara dengan tepat. “Maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil.” (QS. Shad : 26)
c. Menghindar dari bisikan hawa
nafsu saat memutuskan hukum suatu perkara. “Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT” (QS Shad : 26)
d.
Memberikan
kesempatan kepada terdakwa untuk menyampaikan pembelaan dirinya, dan
menjelaskan alasan-alasannya.
Selain belajar
hal-hal di atas, dalam menjalankan tugasnya seorang Hakim dan Penguasa
hendaknya mewujudkan keadilan dalam tiga tingkatan yaitu [4]:
- Mewujudkan
keadian di antara setiap muslim tanpa membedakan antara orang kaya dan
miskin, serta antara orang yang terhormat dan terhina. Allah SWT berfirman
kepada Nabi Muhammad SAW, Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah Allah SWT wahtukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang yang
berkhianat” (QS.An-Nisa : 105)
- Mewujudkan
keadilan antara orang muslim dan selain muslim. Yaitu dengan cara
menjatuhi hukuman kepada muslim yang terbukti salah dan membebaskan orang
kafir dari tuntutan hukum,apabila ia memang terbukti tidak bersalah. “Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat
kepada takwa.”(QS Al Maidah : 8)
- Mewujudkan
keadilan antara hakim dan orang yang sedang berperkara di pengadilan,
yaitu dengan memutuskan hukum secara adil tanpa memihak kepada siapapun
yang bersalah. “wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benrar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT, biarpun
terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapakmu dan kaum kerabatmu, jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah SWT lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menimpang dari kebenaran. “ (QS An
Nisa : 135)
Keadilan dalam
mengangani perkara pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana dalam
hadis di bawah ini :
“Aku pernah
didatangi oleh dua orang yang sedang berperkara, dan salah seorang di antara
keduanya mengungkapkan alasan (tuduhan) yang tidak bernar terhadap yang lain,
maka aku memutuskan hukum bagi keduanya sesuai dengan aoa yang aku dengar.
Apabila aku menghilangkan sesuatu kebenaran pada diri seseorang, maka itu
berate aku memberikan kepada dirinya sepotng api neraka.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Hakim harus
mengedepankan hati nurani dari pada emosi. Itulah sebabnya mengapa hakim harus
senantiasa netral dan memandang semuanya secara benar. Emosi adalah hal yang
harus dihilangkan ketika hakim memutus perkara. Emosi ini akan menutup hati
nurani dan membutakan keadilan. Hal ini sebagaimana dalam hadis sebagai berikut
:
“Janganlah kamu memutuskan hukuman di antara
dua oang dalam keadaan marah” (HR. Bukhari & Muslim)
Walaupun demikian tidak bisa dipungkiri seorang
hakim juga manusia yang tidak lepas dari kelalaian dan kesalahan. Seringkali
putusan seorang hakim menimbulkan ketidakpuasan para pencari keadilan.
Menumpuknya perkara di Mahkamah Agung bermula dari ketidakpuasan para pencari
keadilan yang oleh undang-undang diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum. Segala
putusan yang merupakan produk pengadilan pada akhirnya akan berpuncak di
Mahkamah Agung. Ketidakpusan ini tidak jarang dikarenakan putusan yang tidak
berkualitas (cacat). Yahya Harahap
memperlihatkan bentuk cacat putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan antara lain
sebagai berikut :[5]
a. putusan yang dijatuhkan kacau dan
tidak sistematis yang mengakibatkan putusan itu tidak efektif menyelesaikan
sengketa;
b.
sistem
peradilan yang memeriksa dan menjatuhkan putusan, tidak efisien yang
mengakibatkan penyelesaian sangat lama dan lamban serta membuang waktu,
sehingga keadilan yang terkandung di dalamnya menjadi tidak adil sebagaimana
yang tersirat dalam proposisi yang berbunyi justice
delayed, justice denied;
c. untuk memperoleh putusan harus dibayar dengan
biaya mahal;
d. putusan yang dijatuhkan sering
bersifat abstrak dan tidak konkret yang mengakibatkan putusan itu tidak adil;
e. proses pemeriksaan sering
mengandung perlakuan tidak fair
f. putusan sering membingungkan karena
kesimpulan yang diambil didasarkan pada pertimbangan yang irasional dan non
yuridis.
Oleh karena
putusan yang dijatuhkan oleh hakim semakin jauh dari keadilan, maka tidaklah
pantas bila seorang hakim disebut sebagai “yang mulia”. Artinya produk putusan
yang dihasilkan oleh hakim itu tidak bisa disamakan dengan putusan Tuhan.[6]
Di Indonesia
berdasarkan Pasal 24 ayat (2)UUD Tahun 1945 dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung yang dan badan peraqdilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, ligkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konsitusi.
Melihat dari
berbagai perkara yang masuk dan putusan yang dihasilkan menunjukkan kurang
memuaskan para pencari keadilan. Seringkali pencari keadilan yang benar harus
mengalami kekecewaan hanya karena secara formal ada kecacatan, misalnya gugatan
dinilai kurang jelas.
PERADILAN
SESAT
Bila diperhatikan
penegakan hukum di Indonesia, irama yang dilakukan para penegak hukum tidak
jauh berbeda. Huku masih bisa dipermainkan dan diputarbalikkkan, terlebih bila
menimpa orang-orang kecil yang sama sekali buta akan hukum.[7]
Peradilan sesat ini membuat orang yang tidak bersalah harus dihukum. Begitu
mudah seseorang dihukum tanpa mengetahui apa kesalahannya. Kebutaan akan dunia
hukum dan peradilan membuat para korban peradilan sesat terpaksa harus
menjalani proses peradilan pidana. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari
perilaku penegak hukum di Indonesia yang hanya memahami hukum sebatas pada
peraturan perundang-undangan.
Keabsahan suatu
hukum memang merupakan syarat mutlak (necessary
condition), namun belum merupakan syarat mjutlak mencukupi (sufficient condition) bagi status
keberadaannya. Agar hukum emadai, isi hukum juga harus benar, tetap, dan adil.
Ukuran untuk menentukan suatu hukum apakah memang benar, tepat, adil tidak
selalu dapat menunjuk pada hukum positif lagi. Ini berarti : semua hukum,
undang-undang dan peraturan (seluruh bidang yang mengatur pergaulan hidup dalam
masyarakat) pada akhirnya harus sesuai dengan nilai atau prinsip-prinsip
keadilan yang tidak lagi ditetapkan oleh instansi manusia, artinya tidak
bersifat positif, melainkan mendahuluinya alias bersifat prapositi, hal yang
harus diindahkan oleh hukum bersifat positif manapun. Singkatnya hakikat suatu
hukum tidak ditentukan secara formal, artinya oleh cara atau metode
legitimasinya, melainkan secara material, yakni oleh penyesuaian isinya dengan
apa yang disebut sebagai ide hukum (Rechtsidee),
yakni nilai-nilai pra positif atau nilai moral, khususnya nilai keadilan.[8]
KEADILAN
DAN KEPASTIAN HUKUM
Penegakan hukum
tidak terlepas dari keadilan dan kepastian hukum karena keduanya memang
merupakan sebuah tujuan yang hendak dicapai. Memandang keadilan dan kepastian
hukum seperti memandang dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada. Sering
terjadi dalam praktik di mana antara keadilaan dan kepastian hukum ini saling
bertolak belakang. Menjadi pertanyaan dalam keadaan seperti ini mana yang harus
diutamakan. Keadilan yang tidak didukung oleh kepastian hukum akan menjadi
melemah karena tidak ada dasar hukum yang mengaturnya. Sebaliknya kepastian
hukum yang tidak menjamin rasa keadilan akan menciderai masyarakat. Sebagai
ilustrasi dicontohkan misalnya seorang pelaku tindak pidana pencurian yang
nilai barang yang dicurinya sangatlah kecil, namun ia dihukum dengan ancaman
hukuman maksimal dalam KUHP yaitu 5 tahun. Hukuman ini sama dengan orang yang
mencuri barang dengan nilai tinggi. Atau misalnya seseorang yang didakwa
melakukan korupsi puluhan juta dihukum sama dengan koruptor yang nilai
korupsinya milyaran. Penjatuhan hukuman seperti ini memang sudah sesuai dengan
Undang-Undang sehingga menjamin kepastian hukum. Namun, menjadi pertanyaan di
sini ialah apa keadilan sudah didapatkan sehingga tujuan hukum sudah tercapai ?
Oleh karena itu tugas pembuatan peraturan perundang-undangan harus dijiwai oleh
rasa keadilan.
Sesuatu yang sudah
ditetapkan dalam hukum itu belum tentu memberikan keadilan. Sebaliknya apabila
keadilan saja yang dipenuhi tanpa memperhatikan kepastian hukum juga dapat
menghancurkan nilai keadilan itu sendiri. Hakim dapat menyatakan bahwa
putusannya adil, namun apakah putusan itu diambil tanpa dasar hukum yang pasti,
apakah hal itu dapat diterima, sehingga apa yang diputuskan sungguh-sungguh
dapat dipertanggungjawabkan ? apa adil, jika tidak berdasarkan pada suatu
kepastian hukum, pada akhirnya juga tidak bernilai adil.[9]
Keadilan menjadi concern utama ilmu hukum, misalnya merupakan sesuatu yang
bersifat emosional dan menjadi kebutuhan intrinsic semua manusia. Kemunculan
paradigm posmodernisme dan paradigma Islam untuk melandasi pemikiran hukum
dengan keadilan menjadi semacam indikasi adanya spirit baru untuk merekontruksi
dan merevisi pandangan hukum modern yang positivis dan pragmatis. Hal ini juga
menjadi indikasi bahwa hukum sudah mulai dilihat sebagai bagian integral dan
keutuhan etis manusia di dunia. Hukum bukan lagi sekedar karya ahli hukum yang
bersifat rasional dan didasarkan pada manfaat praktis.[10]
Kepastian hukum
merupakan persoalan legalitas. Hal ini diperlukan guna menjamin hukum dapat
berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Namun, pada kenyataannya
beberapa persoalan di seputar legalitas terkait dengan substansi hukum yang
belum jelas, perbedaan penafsiran yang didasari oleh kepentingan masing-masing
pelaku hukum, penegakan hukum yang lemah tak dipungkiri dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum. Ketertiban hukum pada umumnya lebih berakar pada
ketidakpahaman atas substansi dan kultur hukum di masyarakat. Kesalahan akibat
penerapan dan pengembanan hukum yang disebabkan oleh ketidakpahaman
berkontribusi terhadap pembentukan kultur hukum baru yang akan mendekatkan
kepada kacaunya prosedur hukum sehingga terjadilah ketidakpastian hukum.[11]
Gustav Radbruch
menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan. Persoalan keadilan
bukan merupakan persolan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang
seiring dengan peradaban mesyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan
dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia
dan hidup bermasyarakat.[12]
Dalam berhukum
tentunya harus selalu dikedepankan aspek keadilan. Keadilan itu sendiri tidak
lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan masyarakat karena keadilan itu
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat entah bagaimana bentuknya.
Tidak seharusnya keadila itu bergantung pada hukum tertulis. Keadilan itu
terlalu sempit bila dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis. Untuk mencapai
suatu keadilan dibutuhkan hati nurani yang mampu melihat dan menggali keadilan
itu. Maka dari itu sungguh disayangkan apabila penegakan keadilan terhambat
oleh peraturan tertulis yang merupakan produk politik manusia. Suatu peraturan
tertulis saja bisa ditafsirkan bermacam-macam. Tentunya hati nurani yang adil
lah yang mampu menafsirkan hukum yang berkeadilan.
MENUJU CARA
BERHUKUM YANG FLEKSIBEL
Kehidupan masyarakat
tentu tidak terlepas dari hukum. Hukum merupakan sarana untuk mengatur segala
aspek kehidupan manusia untuk menuju keteraturan. Maka tidak heran dalam hukum
itu dibuat sedemikian ketat agar tidak ada celah untuk menerobosnya. Namun,
hukum buatan manusia dan produk politik itu tidak terlepas dari
ketidaksempurnaan. Gambaran yang terjadi di masyarakat ialah semakin dibuat
ketatnya hukum maka semakin besar pula keinginan untuk menerobosnya. Menjadi
pertanyaan di sini ialah apa yang salah dari pembuatan hukum itu. Sebenarnya
bagaimana pula hukum yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Pandangan masyarakat
bahwa hukum itu menakutkan dan menjadi penghalang kegiatan masyarakat seudah
melekat dalam benak kita. Oleh karena itu, tidak mudah bagim kita untuk
menemukan bentuk hukum yang sesuai dengan cirri kebribadian bangsa. Walau
bagaimana pun hukum itu untuk manusia.
Hukum modern yang dipakai oleh bangsa kita dikembangkan tidak dari dalam
masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar (immposed from outside). Hukum modern adalah produk sosial, ekonomi
dan kultural barat, khususnya Eropa. Maka sebetulnya cerita tentang sejarah
kelahiran hukum modern adalah cerita tentang sejarah sosial Eropa.[13]
Hukum modern memiliki tipe Liberal. Dalam tipe liberal, tidak hanya hukum
substantif yang penting, melainkan juga prosedur. Prosedur menjadi penting dan
memiliki arti tersendiri, oleh karena dibutuhkan untuk menjaga dan mengamankan
kebebasan individu.
Bangsa kita
mewarisi tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law), kita cenderung
menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hukum (law
making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap
kegiatan penegakan hukum (law enforcing). Bahkan, kitapun dengan
begitu saja menganut paradigma dan doktrin berpikir yang lazim dalam sistem civil
law, yaitu berlakunya teori fiktie yang beranggapan bahwa begitu
suatu norma hukum ditetapkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu
hukum. Ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan orang itu
dari tuntutan hukum. Teori ini diberi pembenaran pula oleh prinsip yang juga diakui
universal, yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law).[14]
Seharusnya memahami hukum secara komprehensif sebagai suatu sistem yang
terintegrasi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Strategi pembangunan hukum
ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara Hukum (Rechtsstaat
atau The Rule of Law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi
membuat hukum saja.[15]
Salah satu dari
pengaruh tradisi hukum eropa continental tersebut di antaranya
penegakan hukum di Indonesia cenderung normatif, atau sesuai dengan peraturan tertulis.
Kecenderungan seperti ini sering disebut sebagai positivisme[16]
di mana penegakan hukum harus berdasarkan pada hukum positif. Penegakan hukum
berdasarkan hukum positif ini berhubungan erat asas legalitas. Artinya Tiada
suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut
undang-undang yang telah diadakan lebih dulu. Lalu bagaimana jika suatu
perbuatan itu belum ada peraturan yang melarangnya, padahal jelas-jelas itu
mendatangkan kerugian bagi orang lain, atau perbuatan itu dalam etika
bermasyarakat tidak bisa diterima, tentu orang yang melakukanya bisa mengatakan
bahwa tidak ada Undang-Undang yang melarang perbuatan saya ini. Penegakan hukum
tentunya tidak bisa lepas dari para penegak hukum, seperti Polisi, jaksa,
hakim, advokat. Lalu bisakah dibayangkan bila semua penegak hukum itu
berpedoman pada hukum positif. Menjadi pertanyaan memang, tentang bagaimana
seharusnya cara berhukum itu, menegakkan keadilannya atau hukumnya, dicari
peraturannya dulu atau diutamakan hati nurani. Selama ini memang para penegak
hukum di Indonesia masih terikat pada paham positivistik, baik dalam hukum
formil maupun materiilnya. Dari sini tugas yang terberat adalah di pundak
seorang hakim, karena apapun perkara di hadapannya harus diputus, baik itu ada
aturannya atau tidak. Dalam kondisi seperti ini bolehkah hakim membuat hukum
sendiri ?
Di sini saya
mengutip pendapat dari Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI.
Menurutnya, hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu
undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan
keadilan subtantif. Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum
negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia. Sebenarnya
perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi
undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari
ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis
antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong
undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai
pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap
sebagai kebutuhan yang saling melengkapi. Pada irah-irah tiap putusan juga
selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa,” dan bukan “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang.” Ini
semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan
keadilan meski-jika terpaksa- melanggar ketentuan formal undang-undang yang
menghambat tegaknya keadilan.Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan
karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan
bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan,
keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus
justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan
terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu
bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam
membuat vonis.Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya
melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah
mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada
undang-undang.Yang ingin ditekankan di sini hanyalah prinsip bahwa berdasarkan
sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan
yang keluar dari udang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari
keyakinan untuk menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu tempat mencari dan
menegakkan keadilan .[17]
Dalam pelaksanaannya kita sering mengalami banyak kegagalan dalam menghukum
para pelaku kejahatan karena hambatan dalam setelan-setelan liberal tersebut.
Pilihan sekarang apakah kita tetap akan membiarkan “praktik liberal”
berjalan terus, ataukah beralih ke sesuatu yang lain. Pada waktu publik di
Amerika banyak terpukul oleh pembebasan O.J. Simpson dari dakwaan pembunuhan
mantan isterinya (1993), seorang pengamat hanya mengangkat pundak dengan
mengatakan, “ ya, apa boleh buat, itulah ongkos yang harus kita keluarkan
karena sepakat untuk memakai sistem yang liberal.”.[18]
Kita tidak bisa menyalahkan para penegak hukum, oleh karena setelan-setelan
pikiran mereka memang liberal dan hal tersebut sudah ditanamkan sejak mereka
duduk di bangku kuliah umumnya fakultas hukum. Maka apabila ingin ditempuh cara
baru dalam pemberantasan tindak kejahatan termasuk korupsi, maka perlu dilacak
sampai ke dunia pendidikan hukum.[19]
Dalam sosiologi hukum dijelaskan bahwa hukum itu adalah instrument yang
bisa dipakai dan dipakai oleh pihak yang menggunakannya untuk kepentingan
mereka sendiri. Sebagai contoh geng bandit besar Al Capone di tahun 1930-an
pun mempunyai bagian hukum sendiri. Hal ini berarti bahwa kejahatan pun ingin
dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambu hukum, atau “melakukan kejahatan
dengan dipandu oleh hukum”. Sejak kita memutuskan menggunakan hukum modern,
kita tak dapat menghindar dari praktik penggunaan hukum seperti itu. Yang kita
dapat lakukan adalah bersikap lebih waspada dalam bernegara hukum ini, oleh
karena ternyata bahwa hukum itu tidak hanya dapat dipakai sebagai sarana untuk
keadilan, tetapi dapat juga untuk tujuan dan kepentingan lain.[20]
Asas legalitas
konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya kepastian
hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka
ketentuan asas legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal
Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas legalitas terdapat dalam
hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa berlakunya
undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat
pada pasal 1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan
diubah setelah waktu terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka
digunakan ketentuan yang paling menguntungkan baginya.[21]
Pada dasarnya
setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan kerugian bagi
orang lain maka mewajibkan orang tersebut bertanggung jawab atas perbuatannya.
Begitu pula dalam hukum pidana, seseorang yang melakukan suatu tindak pidana
memang harus dihukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam rangka
penegakan hukum. Namun, harus dipahami pula aspek sosiologis dari penegakan hukum
pidana itu. Jangan sampai penegakan hukum justru malah memperburuk harmonisasi
sosial dalam masyarakat. Tujuan dari penegakan hukum itu sendiri tidak terlepas
dari terciptanya kembali disharmonisasi sosial dalam masyarakat yang sempat
hilang akibat suatu perbuatan. Apabila penyelesaian masalah sudah terdapat
jalan keluar terbaik, maka tidak perlu penegakan hukum yang pelaksanaannya
memperburuk kehidupan masyarakat. Penegakan hukum yang seperti ini memang tidak
tersurat dalam hukum positif. Tetapi merupakan improvisasi hati nurani manusia
dalam menegakkan keadilan.
Aturan yang sudah
ada yang diaplikasikan pengadilan dalam putusan adalah bukan ramalan yang akan
sesungguhnya yang dilakukan pengadilan. Aturan yang diaplikasikan hakim dalam
suatu kasus konkret tidak memberitahu hakim bagaimana dia dalam kenyataannnya
akan memutuskan, tetapi bagaimana dia harus memutuskan. Makna subyektif suatu
aturan yang diharapkan individu akan menyesuaikan perbuatannya, yang dia
rasakan diwajibkan untuk melaksanakan atau mematuhi, hanya dapat berupa suatu
keharusan ought, bukan sesuatu yang nyata is. Hal ini bisa
dibandingkan dengan pernyataan hukum alam (law of nature) Jika
suatu benda dipanaskan maka mengembang tidak dapat dilaksanakan atau
dipatuhi. Hanya preskripsi yang dapat dilaksanakan atau dipatuhi yaitu jika
kamu ingin mengembangkan suatu benda, kamu harus memanaskannya.[22]
Hukum yang diaplikasikan oleh pengadilan bukan persetujuan ilmiah yang
menggambarkan dan menjelaskan fakta aktual. Hukum bukan suatu sistem theorem
yang merupakan produk pengetahuan ilmiah, tetapi seperangkat preskripsi yang
mengatur perilaku subyek dan organ komunitas hukum, suatu sistem norma produk
dari tindakan keinginan.[23]
Kita sudah
seharusnya memahami bagaimana cara berhukum untuk mewujudkan keadilan. Atau
yang terlebih bagaimana penyelesaian permasalahan dengan hukum yang menjamin
rasa keadilan bersama untuk mewujudkan kembali tatanan hidup bermasyarakat yang
baik. Suatu sistem peradilan yang diharapkan adalah penyelesaian yang cepat,
mudah,murah yang adil. Lalu bagaimana untuk mewujudkan itu semua ? Adalah
dimungkinkannya penerobosan terhadap Undang-Undang untuk mencapai keadilan.
Bila semua orang termasuk para penegak hukum bisa fleksibel dalam menegakkan
keadilan, maka tentu hasil penyelesaian masalah hukum yang dibuat itu akan
memuaskan para pihak. Namun, perlu ditekankan bahwa hukum positif tetaplah
hukum yang dijadikan pedoman. Di sini hanya pelaksanaannya saja yang harus
fleksibel menyesuaikan keadaan. Bagaimanapun hukum harus berkembang mengikuti
perkembangan zaman dan teknologi. Bila hukum tak dapat mengikutinya maka hukum
itu dengan sendirinya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hukum yang berlaku
di Indonesia bisa dikatakan menjadi tidak fleksibel, karena tidak memberikan
banyak pilihan dalam penyelesaian. Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap
terdakwa dibatasi oleh hukuman maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
[1]
Lihat Ridwan Khairandy,
et.al.1999.Pengantar Hukum Dagang Indonesia.Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII bekerja sama Gama Media. hlm. 274
[2]
M.Yahya Harahap.2010.Hukum Acara Perdata (cet. ke 10).Jakarta
: Sinar Grafika. Hal. 871
[3]
Muhammad Basam Rusydi Az-Zain.2008.Teladan Cinta Para Kekasih Allah.Diterjemahkan
dari Buku Madrasatul Anbiya’;’Ibar wal
Adhwa’. Yogyakarta : Pustaka Marwa. hlm.500
[4]
Basam Rusydi Az-Zain. Op. Cit. hlm. 500-501
[5] M. Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 872
[6]
Lihat. Ibid. Kemampuan hakim bersifat generalis artinya pengetahuan yang
mereka miliki pada umumnya sangat terbatas. Hal ini menguatkan bahwa putusan
hakim bukanlah judicium dei.
Kemampuan dan kecakapan hakim semakin margin dan generalis sebagai akibat
kultur sistem pengembangan karir hakim.
[7]
Lihat Kompas.2010.Elegi Penegakan Hukum.Jakarta : Kompas. Hlm vii. Dalam buku tersebut
kompas mengumpulkan kisah-kisah gelap penegakan hukum di Indonesia. Ternyata
sangatlah banyak, tidak hanya satu atau dua saja. Misalnya kasus Sum Kuning,
Prita, hingga janda Pahlawan. Ada 11
(sebelas) kasus peradilan sesat yang ditampilkan dalam buku tersebut, yang
semuanya diberitakan oleh harian Kompas.
[8]
Lihat Simon – Petrus L Tjahjadi dalam
Kata Pengantar E. Fernando M.
Manulang.2007.Menggapai Hukum
Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai. Jakarta ; Kompas. hlm.xviii
[9]
E. Fernando M. Manulang . Op. Cit. hlm. 102-103
[10]
Muhammad.2007.Aspek Hukum dalam Muamalat.Yogyakarta : Graha Ilmu. hlm. 55
[11]
Suharto. 2009.Membedah Konflik Yayasan Menuju Konstruksi Hukum Bermartabat.
Yogyakarta : Cakrawala Media. hlm. 3
[12]
Peter Mahmud Marzuki.2008.Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana. hlm. 23
[13]
Satjipto Rahardjo.2009.Hukum
Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta Publishing,
hlm.138
[14]
Jimly Asshiddiqie. Pembangunan Hukum dan Penegakan
Hukum di Indonesia. Makalah Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal
Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada. 17 Februari 2006
[15]
Ibid
[16]
Positivisme adalah salah satu aliran
dalam filsafat (teori) hukum yang beranggapan, bahwa teori hukum itu hanya bersangkut
paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif
itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya hukum dalam
masyarakat. Lihat Achmad Roestandi,1992.Responsi
Filsafat Hukum. Bandung : Armico. hlm. 80
[17]
Mahfud MD. Penegakan
Keadilan di Pengadilan. http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26
(diakses 2 Juli 2012)
[18]
Satjipto Rahardjo.Op. Cit. hlm. 140 -141
[20] Satjipto Rahardjo.2009. Sisi-sisi
Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : Kompas hlm.170-171
[21]
Lilik Mulyadi.Asas Legalitas
dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Kajian Perbandingan Hukum.
http://pn-kepanjen.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=114
(diakses 3 Juli 2012)
[22]
Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa’at. 2006.Teori
Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. hlm 149-150
[23]
Ibid
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment