Oleh : KELIK PRAMUDYA
Menjadi pemimpin pada dasarnya
merupakan sebuah amanah untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya menuju pada
jalan kebenaran. Oleh karena itu setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Keragu-raguan seorang pemimpin
dalam membuat keputusan menjadikan ketidakpercayaan rakyat padanya.
Kepemimpinan timbul dari sebuah kepercayaan, di mana sekelompok orang
mempercayakan sepenuhnya kepada seseorang untuk membawanya ke arah kemakmuran.
Kebanyakan pemimpin sekarang lahir dari sebuah ambisi, di antaranya ambisi
untuk terkenal, dihormati, berkuasa, dan sebagainya. Kepemimpinan yang lahir
dari sebuah ambisi ini biasanya tidak akan bertahan lama. Pada suatu saat akan
timbul rasa tidak percaya serta kebosanan.
Ambisi dalam pemerintahan akan
menjadikan pemimpin serta pengikutnya menjadi rakus. Dalam ambisi cara apapun
akan dilakukan untuk bisa mencapainya. Keadaan seperti ini meruntuhkan pula
tembok halal dan haram dalam diri seseorang. Namun, segala kerakusan, ambisi
pemimpn itu pula nantinya akan menjadi penyesalan kemudian, sebagaimana
disebutkan dalam hadist sebagai berikut :
“Dari Abu
Hurairah r.a., dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, Seseungguhnya kalian akan
rakus dan sangat engharapkan duduk di kursi pemerintahan, tetapi di hari Kiamat
hal itu akan menjadi penyesalan. Sebaik-baik pemerintahan adalah wanita yang
menyusui (berkorban untuk rakyatnya) dan sejelk-jeleknya pemerintah adalah yang
berhenti menyusui (tidak mementingkan rakyatnya” (HR. Bukhari)
Banyak orang berharap diri mereka
menjadi pemimpin. Namun, mereka sering kali tak menyadari bahwa sebenarnya
mereka adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Setiap orang menjadi pemimpin di
lingkungan masing-masing, terlepas dari besar kecilnya jumlah orang dalam
kelompok tersebut.[1]
Sebagaimana dalam Sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut :
“Kamu semua
adalah pemimpin dan kamu semua akan bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
pimpin. Seorang pemerintah adalah pemimpin manusia dan dia akan bertanggung
jawab terhadap rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan dia
akan bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin rumah
tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggung jawab terhadap mereka.
Seorang hamba adalah penjaga harta tuannya dan dia juga akan bertanggung jawab
terhadap jagaannya. Ingatlah, kamu semua adalah pemimpin dan akan bertanggung
jawab terhadap apa yang kamu pimpin” (HR. Bukhari & Muslim)
Setiap tatanan masyarakat terdapat
sebuah hukum universal yang menyatakan bahwa keadilan merupakan sifat yang
harus selalu melekat pada setiap pemerintahan jika ingin kelangsungan
kekuasaannya terus berlanjut. Oleh karena itu setiap pemerintahan harus mampu
menerapkan sistem pengaturan masyarakat yang menganut prinsip keadilan. [2]
Menurut ‘Abd al-Wahhab Khallaf terdapat tiga prinsip pokok yang menurutnya
merupakan penyangga tegaknya setiap pemerintahan yang adil, yaitu [3]:
- Prinsip
permusyawaratan
- Prinsip
pertanggungjawaban pemerintahan
- Prinsip
diperbolehnya kekuasaan tertinggi pemerintahan melalui bai’at umu rakyat.
Kelemahan kepemimpinan berdampak pada
fundamental karena akan melemahkan banyak sisi dalam kehidupan. Pemimpim adalah
simbol dan panutan, apabila pemimpin memiliki sejumlah kelemahan yang serius,
apalagi penyimpangan dan kedzaliman, maka berbagai potensi positif masyarakat
tidak akan muncul.[4]Kepemimpinan
buruk yang lahir dari sebuah ambisi pada nantinya menimbulkan perilaku
koruptif. Ambisi tersebut merupakan sebuah sistem yang didukung oleh
orang-orang di belakang calon pemimpin. Orang-orang yang telah membantu
mewujudkan ambisi sang pemimpin akan menuntut “hadiah” baik itu berupa jabatan,
harta, ataupun pekerjaan yang strategis yang menghasilkan uang. Inilah yang
selanjutnya menimbulkan perilaku koruptif di pemerintahan.
Tanpa disadari korupsi muncul dari
kebiasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat, misalnya member
hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya sebagai imbal jasa sebuah
palayanan. Kebiasaan tersebut dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari
budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif ini lama-lama akan menjadi bibit kurupsi
yang nyata.[5]
Hal tersebut juga terjadi dalam pemilihan para pemimpin di negeri ini.
Kebiasaan berlaku korupsi akan melahirkan sebuah budaya yang nantinya merusak
tatanan bangsa. Kepribadian bangsa yang ikhlas bekerja, ramah dalam pelayanan
mulai luntur seiring dengan kebiasaan korupsi. Memang untuk menjadi pemimpin
diperlukan rasa ikhlas dari dalam diri pemimpin tersebut. Ikhlas untuk
mengorbankan waktu, ikhlas mengorbankan tenaga bahkan biaya untuk kesejahteraan
rakyat yang dipimpinnya. Hal mana juga berlaku bagi Pegawai Negara yang bekerja
untuk rakyat. Mereka merupakan bagian dari sebuah sistem kepemimpinan.
MEWUJUDKAN KEADILAN DALAM PEMERINTAHAN
Kata
keadilan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata adil yang mendapat imbuhan
awalan dan akhiran berasal dari bahasa Arab, yakni:Adl’ yang bermakna: istiqamah, seimbang,
harmonis, lurus, tegak, kembali, berpaling, dan lain-lain. Adil dapat pula
diartikan dengan memberikan sesuatu kepada seseorang yang menjadi haknya, oleh
Ibrahim Mustafa menyebutkan dalam kitab mu.jamnya “mengambil dari mereka
sesuatu yang menjadi kewajibannya”.[6]
Kata adil dalam Alquran berulang 28 kali dengan bermacam-macam bentuk, tidak satupun
yang dinisbatkan kepada Allah swt. menjadi sifat-Nya, dari semua kata adil
tersebut, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa paling tidak ada empat makna
keadilan yang dikemukakan oleh pakar agama, yaitu: 1). Adil dalam arti sama, 2)
Adil dalam arti seimbang, 3). Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak
individu, dan 4). Adil yang dinisbatkan kepada ilahi.[7]
Dalam Pancasila, keadilan disebutkan
pada Sila Kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Ini artinya setiap pemimpin Indonesia harus menjiwai nilai-nilai keadilan dalam
Pancasila.
[1] Ary Ginanjar Agustian.2001.Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual, ESQ Jilid 1. Edisi Revisi. Jakarta : Arga Tilanta. hlm. 137
[2] Lihat A. Malik Madaniy. 2010.Politik
Berpayung Fiqh. Yogyakarta : Pustaka Pesantren. hlm 33-34. Dijelaskan pula
bahwa tanpa keadilan kemakmuran yang dicita-citakan suatu bangsa bisa
dipastikan akan semakin jauh dari pencapaian. Bahkan, kemakmuran yang sudah
mulai terbina akan segera hancur berantakan, atau kalaupun tercipta kemakmuran
itu hanya terpusat pada segelintir orang saja.
[3] Ketiga Prinsip ini pada hakikatnya menegaskan bahwa urusan rakyat
berada sepenuhnya di tangan rakyat sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang
mereka kehendaki, dan sesungguhnya rakyat pula yang merupakan sumber kekuasaan
besar. Lihat ‘Abd Al-Wahhab Khallaf.1977.as-Siyasah
asy-Syar’iyyah. Cairo:Mathba’ah at-Taqaddum. hlm. 29. Lihat pula ibid. hlm. 34-35
[4] Yuceu Ekajaya, dkk. 2005.Di
Bawah Naungan Cahaya Ilahi. Surakarta : Nurulhuda Press. hlm. 124-125
[5] Kebiasaan korupsi yang terus berlangsung di kalangan masyarakat
salah satunya disebabkan masih sangat kurannya pemahaman terhadap pengertian
korupsi. Selama ini kosa kata korupsi sudah popular di Indonesia. Hampir semua
orang pernah mendengar kata korupsi. Namun, jika ditanyakan kepada mereka apa
itu korupsi, jenis perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi, hamper dipastikan sangat sedikit yang dapat menjawab secara
benar tentang bentuk/jenis korupsi sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang.
Oleh karenanya masyarakat harus tahu unsur-unsur dan jenis-jenis tindak pidana
korupsi tersebut. Lihat. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006.Memahami untuk Membasmi : Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Cetakan Kedua. Jakarta : Komisi
Pemberantasan Korupsi. hlm.1
[7] Quraish Shihab.1998.Wawasan
Al-Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan. hlm.
114-116
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment