HARAPAN BARU KEADILAN SUBSTANSIAL

Bookmark and Share


Pada tahun 2015 lalu, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Perma tersebut dikeluarkan guna mengikuti perkembangan hukum di masyarakat khususnya keperdataan yang membutuhkan prosedur penyelesaian sengketa lebih sederhana, cepat dan biaya ringan di samping sebagai wujud reformasi sistem hukum perdata yang mudah dan cepat. Selama ini penyelesaian perkara perdata di Pengadilan yang berpedoman pada HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dipandang terlalu lama, tidak praktis dan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim belum bisa memberikan keadilan bagi para pihak. Sehingga atas putusan tersebut pasti diajukan upaya hukum baik upaya hukum biasa (banding dan kasasi) maupun upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali). Akibatnya terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Penyelesaian yang panjang tersebut tentu tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan oleh pencari keadilan apabila nilai gugatannya kecil. Maka dari itu sudah selayaknya disusun sebuah sistem penyelesaian perkara yang praktis, efektif dan berkeadilan.

Terdapat beberapa baru yang diatur dalam Perma yang terdiri atas 33 Pasal tersebut antara lain : Pertama, dalam Perma tersebut dikenal istilah gugatan sederhana. Gugatan sederhana ini ialah gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) baik itu perkara wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Istilah tersebut merupakan pengkhususan bagi perkara perdata yang menurut Mahkamah Agung termasuk small claim court sehingga dapat diselesaikan secara sederhana tanpa harus diterapkan seluruh prosedur persidangan dalam hukum acara perdata. Sifat sederhana lainnya ialah para pihak dalam gugatan hanya terdiri dari satu penggugat dan satu tergugat yang berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama. Namun, apabila Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka tidak dapat diajukan gugatan sederhana. Kedua, Perma Nomor 1 Tahun 2015 mengatur tentang penyederhanaan hukum acara perdata yang selama ini dianggap terlalu panjang. Penyederhanaan hukum acara perdata tersebut antara lain, pemeriksaan gugatan dilakukan oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan. Hakim terlebih dahulu akan melakukan pemeriksaan pendahuluan untuk menilai apakah gugatan yang diajukan tersebut masuk dalam kategori gugatan sederhana atau tidak. Pemeriksaan gugatan sederhana ini tidak dimungkinkan adanya tuntutan provisi, eksepsi, rekonvensi, intervensi, replik, duplik dan kesimpulan yang biasanya ada dalam pemeriksaan perkara perdata biasa. Dengan penyederhaaan ini diharapkan pemeriksaan perkara dapat dilakukan secara cepat. Dalam Perma ini terdapat batasan waktu penyelesaian gugatan yaitu paling lama 25 (dua puluh) lima hari sejak sidang pertama. Mediasi pun juga dilaksanakan secara sederhana pada sidang pertama dengan mengesampingkan ketentuan yang ada dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008.

Ketiga, Perma Nomor 1 Tahun 2015 memberikan kemudahan bagi pencari keadilan untuk mengajukan gugatan yaitu cukup mendaftarkan gugatannya dengan mengisi blangko gugatan yang telah disediakan di kepaniteraan. Selama ini pengajuan gugatan harus secara tertulis dengan memenuhi syarat formil sebuah sebuah gugatan. Tentu hal ini sangat menyulitkan apabila Penggugat buta akan hukum acara. Ditambah lagi apabila gugatan yang telah diajukan tersebut tidak memenuhi syarat sahnya gugatan, maka konsekuensinya gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard / NO), tentu hal ini sangat merugikan Penggugat. Oleh karena itu Perma Nomor 1 Tahun 2015 memberikan kemudahan bagi siapa saja yang akan mengajukan gugatan sederhana. Di sini Penggugat dan Tergugat wajib hadir secara langsung pada setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum. Dari kalimat tersebut bisa dipahami bahwa peran kuasa hukum dalam persidangan hanya untuk mendampingi para pihak. Berbeda dengan perkara perdata biasa di mana kuasa hukum selain mendampingi bisa mewakili para pihak dalam persidangan. Dalam persidangan perkara perdata sederhana ini Hakim harus berperan aktif dalam memberikan penjelasan mengenai acara gugatan termasuk dalam pembuktian, mengupayakan perdamaian serta menjelaskan upaya hukum yang dapat ditempuh pera pihak. Keempat, penyelesaian gugatan sederhana hanya ada satu upaya hukum yang bisa ditempuh yaitu keberatan, sehingga tidak dimungkinkan adanya banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Keberatan diajukan kepada Ketua Pengadilan paling lambat tujuh hari setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan, berkas gugatan, memori keberatan dan kontra memori keberatan. Dalam pemeriksaan keberatan ini tidak lagi dilakukan pemeriksaan tambahan dan putusan yang dikeluarkan merupakan putusan akhir yang bersifat final.

Melihat ketentuan-ketentuan khusus di atas, maka diharapkan hasil dari penyelesaian perkara perdata sederhana dapat memenuhi keadilan yang lebih bersifat substansial. Keadilan substansial ini berkaitan dengan hukum materiil atau dalam hal ini lebih mengedepankan substansi dari sebuah gugatan. Berbeda dengan keadilan prosedural yang lebih mengedepankan hukum formil atau hukum acara yaitu bagaimana menjalankan hukum materiil itu.  Namun demikian, bukan berarti keadilan prosedural harus dihilangkan sama sekali. Hal ini sejalan dengan pokok substansi dari Perma Nomor 1 Tahun 2015 di atas di mana tidak semua prosedur dalam hukum acara perdata harus dilalui, misalnya tidak ada replik, duplik, dan kesimpulan. Penyederhanaan ini tentu akan mempermudah para pihak dan lebih memberikan kepastian hukum. Selain itu asas persidangan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat terwujud.  Harapan ke depan, Perma Nomor 2 Tahun 2015 ini menjadi langkah pembaruan bagi sistem hukum acara perdata yang efektif dan berkeadilan substansial. 

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }