POLEMIK SEPUTAR HUKUM “BOLEH”

Bookmark and Share


Kita semua mengetahui bahwasanya kehidupan manusia memerlukan peraturan yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalakan kehidupan secara berdampingan dengan sesama manusia, dengan Tuhan maupun dengan alam sekitar. Tujuan dari semua itu tidak lain adalah agar kehidupan manusia dalam masyarakat tercapai ketertiban. Aturan hidup dalam masyarakat yang dijadikan pedoman dinamakan hukum. Menurut Jean Jacques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social, hukum diperlukan untuk menyatukan hak dan kewajiban, serta mengarahkan keadilan kepada tujuannya. Dalam situasi bermasyarakat semua hak diatur oleh hukum dan persoalnnya menjadi berbeda dari persoalan yang timbul dalam situasi alamiah termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri susunan hukum harus memperhatikan sudut pandang dari hukum agama dan hukum adat, sehingga hukum yang dibuat tetap berlaku bijak.

Beberapa bulan terakhir timbul polemik di masyarakat Indonesia, tentang adanya perkawinan siri terhadap perempuan yang masih berada di bawah umur oleh Pujiyono Cahyo Widianto (Syech Puji). Hal ini berkaitan erat dengan hukum khususnya perkawinan yang berada di Indonesia. Kasus ini masih dalam proses pemeriksaan dan belum sampai ke Pengadilan sewaktu saya menulis artikel ini. Syeh Puji secara bijak sebenarnya sudah mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada publik, jadi sebaiknya untuk proses selanjutnya kita serahkan saja kepada pihak yang berwajib. Lalu, mengapa saya menulis artikel ini, bukankah hal ini sudah basi ? itu mungkin yang anda pikirkan. Saya menulis artikel ini karena menurut saya masih kurangnya pemahaman sebagian orang tentang hukum, tentunya tentang pemberlakukan hal yang “boleh”. Pada Harian Sore Wawasan tanggal 6 April 2009 saya membaca bahwasanya Raja Dangdut Rhoma Irama dalam kampanyenya menyebutkan bahwa kasus Syekh Puji tidak adil. Dia mengatakan bahwa perkawinan itu jelas-jelas sah menurut hukum Islam. Saya hanya mengomentari pernyataan Rhoma Irama dan para tokoh yang masih mempermasalahkan kasus itu, kenapa saya tidak mau mengomentari syekh Puji? karena Syekh Puji telah mengakui kesalahan secara bijak dan saya anggap itu sudah selesai serta tidak perlu dikomentari.

Umat muslim di Indonesia memang termasuk golongan terbesar, akan tetapi tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Artinya hal yang mungkin dilakukan ialah menjadikan negara Indonesia menjadi negara kesatuan yang Islami dimana seluruh Umat Islam menjalankan syariat Islam tanpa harus melanggar Hukum Positif. Dari kasus di atas, baik Rhoma Irama maupun tokoh yang lain sependapat bahwa perkawinan itu sah dan “boleh”. Implikasinya perkawinan dengan perempuan di bawah umur adalah “boleh” menurut hukum Islam. Ini yang sejak awal dijadikan dasar alasan, karena memang dalam hukum perkawinan Islam tidak mempermasahkan batas usia dalam perkawinan. Perkawinan sudah sah jika dilakukan berdasarkan Rukun dan syarat Perkawinan. Di Indonesia hukum yang berlaku bukanlah hukum Islam saja. Hukum perkawinan di Indonesia sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) telah diatur bahwa syarat untuk dapat melakukan perkawinan untuk wanita ialah 16 tahun dan Pria 19 tahun. Itu syarat untuk mendapatkan ijin melangsungkan perkawinan agar dapat dicatat. Namun, Undang-undang juga memberikan kelonggaran berupa dispensasi bila terjadi penyimpangan terhadap batas usia tersebut.

Kawin secara siri sendiri ialah sebagai jalan pintas bila ijin tersebut di atas tidak didapatkan. Perlu diingat bahwasannya perkawinan siri belum menimbulkan akibat hukum, artinya karena belum dicatatkan maka perkawinan itu belum sah, karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah. Lalu bagaimana dengan saksi perkawinan? dalam persidangan alat bukti berupa saksi tidak mengikat hakim, hakim boleh mempertimbangkan kesaksian para saksi ataupun tidak, itu adalah hak hakim. Akan tetapi, akta nikah yang sudah diakui oleh kedua mempelai secara hukum, mengikat hakim. Pencatatan ialah kebijakan pemerintah dalam rangka tertib administrasi, bila perkawinan tidak dicatat tentu banyak timbul masalah terutama kejahatan perkawinan, tau sendiri bagaimana sifat orang ?

Kawin siri memang dibolehkan dalam hukum Islam. Masalah yang harus kita ingat adalah bagaimana hukum “boleh” itu jika disandingkan dengan hukum Positif dan hukum dalam masyarakat kita. Misalnya saya berikan contoh, saya menikahi adik ataupun kakak keponakan perempuan saya menurut hukum Islam. Menurut hukum Islam perkawinan itu sah karena adik ataupun kakak keponakan bukan tergolong wanita yang haram untuk dinikahi. Begitu juga menurut hukum positif, perkawinan itu sah karena pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia juga diilhami dari hukum Islam. Namun, menurut hukum di masyarakat itu tidak lazim dilakukan. Kebanyakan masyarakat Indonesia menganut sistem Eksogami, yang mewajibkan perkawinan harus dengan keluarga luar, kalau bisa jauh dari kekerabatan keluarga sendiri. Walaupun boleh menurut hukum Islam dan Hukum Positif, namun lebih baik tidak dilakukan selama itu belum diterima masyarakat. Contoh lainnya yang saya dapat dari teman saya ialah solat dengan telanjang dada bagi kaum laki-laki. Itu sebenarnya juga sah karena batas aurat laki-laki hanyalah pusar ke bawah. Tapi bisakah hal yang tak lazim itu diterima masyarakat, jangan sampai kita dianggap orang gila. Jika saya balik misalnya, hubungan intim yang dilakukan oleh dua orang yang belum menikah atas dasar suka sama suka, yang keduanya sama-sama bujang, dalam hukum positif bukan merupakan perbuatan pidana, artinya masih boleh dilakukan. Menurut hukum positif belum termasuk kategori zina. Tapi “boleh” di sini belum selesai, harus dilihat hukum lain yang berlaku juga baginya. Dalam hukum Islam itu jelas-jelas haram, tidak boleh dilakukan, karena termasuk dalam zina. Begitu pula hukum dalam masyarakat. Masyarakat tentu juga tidak menerimanya, saya tau betul hukum adat di Indonesia sangat menjaga etika. Dengan demikian perbuatan tersebut lebih baik tidak kita lakukan, kenapa ? biarpun boleh tetapi menurut ada hukum lain yang melarangnya.

Pemberlakuan hukum yang sifatnya “boleh”, tidak serta merta dapat digunakan sebagai dasar begitu saja. Harus dilihat dulu hukum yang lain. Bila satu hukum membolehkan, tetapi hukum yang lain melarang, maka menurut saya yang dipakai ialah hukum yang melarang tersebut. Saya tidak mau ambil resiko dengan, boleh artinya bisa dilakukan atau tidak, bukanlah masalah. Lalu bagaimana dengan hukum yang bertentangan 180 derajat. Misalnya satu mewajibkan sedang yang satu melarang? saya rasa itu tidak terjadi dalam tata hukum kita. Kalau ada itu dulu saat hukum adat begitu kental, dimana ada kebiasaan warga masyarakat yang sifatnya mengharuskan tapi malah bertentangan dalam Islam. Namun, kebiasaan yang sifatnya demikian telah ditinggalkan dan masyarakat bisa menerima hukum Islam. Hubungannya dengan hukum positif saya rasa tidak ada yang bertentangan, karena pada dasarnya dalam membuat undang-undang, pemerintah harus memperhatikan kepentingan umat beragama, jadi jangan khawatir akan ada hukum positif yang melarang hal yang justru diwajibkan dalam agama Islam, atau sebaliknya, dilarang dalam Islam tetapi malah diwajibkan dalam undang-undang.

Sebagai penutup, saya hanya bisa menganjurkan kepada masyarakat untuk menghormati hukum di Indonesia yang sifatnya beragam. Biarpun beragam tetapi kita tetap satu kesatuan dalam payung hukum positif Indonesia. Bagi saya boleh atau tidak bukanlah masalah, selama dapat diterima oleh hukum agama, hukum positif dan masyarakat. Untuk Syekh Puji saya salut atas permintaan maafnya. Semoga tabah menjalani proses hukum selanjutnya dan jangan dengarkan orang-orang yang berusaha menteror dan menambah masalah dengan dalih membela perkawinan anda yang justru sekarang menjerat anda. Terima Kasih.

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }